Daerah

Revisi UU TNI Dinilai Ancam Demokrasi dan Perbesar Risiko Kekerasan terhadap Jurnalis Perempuan

Kaltim Today
30 April 2025 20:31
Revisi UU TNI Dinilai Ancam Demokrasi dan Perbesar Risiko Kekerasan terhadap Jurnalis Perempuan

Kaltimtoday.co, Samarinda - Pengesahan Revisi Undang-Undang Nomor 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menuai kekhawatiran luas dari berbagai pihak. Salah satu dampak yang disorot adalah potensi melemahnya supremasi sipil dan meningkatnya dominasi militer di ruang-ruang sipil, yang dikhawatirkan menggerus nilai-nilai demokrasi, terutama dalam hal kebebasan pers.

Kondisi ini menjadi perhatian serius Perempuan Mahardhika Samarinda, khususnya dalam konteks perlindungan terhadap jurnalis perempuan yang selama ini telah rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan. Melalui Komite Basis Jurnalis, mereka menggelar diskusi publik bertajuk "Menguatnya Dominasi Militer dan Ancaman Bagi Jurnalis Perempuan" pada Sabtu, 26 Mei 2025, di Aula Kantor PWI Kalimantan Timur, Jalan Biola, Samarinda.

Diskusi yang menghadirkan Titah, Koordinator Komite Basis Jurnalis, serta Noviyatul dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Samarinda, mengupas mendalam persoalan yang dihadapi jurnalis perempuan pasca pengesahan revisi UU TNI.

Titah menyampaikan bahwa bahkan sebelum revisi tersebut disahkan, jurnalis perempuan sudah sering mengalami kekerasan seksual, komentar seksis, hingga intimidasi dari narasumber maupun rekan kerja. Situasi ini makin buruk ketika tekanan politik dan militerisme merembes ke ruang kerja jurnalis.

"Contoh nyata adalah kasus teror kepada jurnalis perempuan Tempo, Cica, yang dikirimi kepala babi dan bangkai tikus. Teror itu ditujukan langsung kepada dirinya karena ia adalah perempuan," jelas Titah. Ia juga menyinggung kasus tragis pembunuhan jurnalis Juwita di Banjarbaru, yang dinilai sebagai bentuk femisida—pembunuhan yang didasari gender korban.

Ancaman serupa juga terjadi di Samarinda. Seorang jurnalis perempuan dilaporkan mengalami intimidasi saat mewawancarai narasumber yang menilai pertanyaannya tidak sesuai dengan agenda acara. Titah menekankan bahwa bentuk-bentuk pelecehan semacam ini tak bisa dianggap sepele.

Sementara itu, Novi dari AJI Samarinda menyebut bahwa kerentanan jurnalis perempuan terhadap kekerasan ibarat fenomena gunung es—banyak yang tidak terungkap. Meski Dewan Pers telah menerbitkan SOP penanganan kekerasan seksual, implementasinya masih sangat terbatas di kalangan media.

“AJI Samarinda sudah memiliki SOP dan Satgas khusus, tapi tantangannya masih besar. Maka dari itu, penting bagi jurnalis untuk berserikat dan mendapatkan pelatihan keamanan holistik, termasuk menghadapi tekanan militer," tegas Novi.

Diskusi ini menggarisbawahi pentingnya persatuan jurnalis perempuan dalam memperjuangkan ruang kerja yang aman dan setara. Dengan membangun kekuatan kolektif melalui organisasi seperti Komite Basis Jurnalis, jurnalis perempuan diharapkan bisa lebih kuat dalam menghadapi sistem yang masih sarat dengan dominasi dan patriarki.

"Satu suara saja tidak cukup untuk melawan sistem kekerasan, tapi jika kita bersatu dan berserikat, maka kita bisa menciptakan perubahan nyata," tutup Titah penuh semangat.

Melalui forum ini, Perempuan Mahardhika Samarinda mendorong semua jurnalis perempuan untuk bergabung dalam gerakan kolektif demi mewujudkan ekosistem jurnalistik yang lebih adil, aman, dan bebas dari kekerasan berbasis gender.

[RWT]



Berita Lainnya