Samarinda

Tim Kuasa Hukum Keluhkan Persidangan Daring FR Tak Maksimal, Bernard Marbun: Berindikasi Rugikan Klien

Kaltim Today
28 Januari 2021 21:21
Tim Kuasa Hukum Keluhkan Persidangan Daring FR Tak Maksimal, Bernard Marbun: Berindikasi Rugikan Klien
Bernard Marbun, kuasa hukum dari Tim Advokasi untuk Demokrasi (kanan) menggelar konferensi pers.

Kaltimtoday.co, Samarinda - Tim Advokasi untuk Demokrasi (TADU) menggelar konferensi pers terkait persidangan salah satu mahasiswa berinisial FR yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Polresta Samarinda. FR dianggap membawa senjata tajam (sajam) saat unjuk rasa berlangsung di depan DPRD Kaltim pada 5 November 2020 silam. Diketahui bahwa sidang perdana FR telah terlaksana kemarin (27/1/2021) di Pengadilan Negeri (PN) Samarinda.

Sidang pokok perkara ini dipimpin oleh Hakim Ketua, Edy Toto Purba dengan Hakim Anggota yakni Agus Raharjo dan Hasrawati Yunus. Termasuk Jaksa Penuntut Umum, Melati Warna Dewi. JPU membacakan surat dakwaan dan menjerat FR dengan pasal 2 ayat 1 Undang-Undanf (UU) Darurat Nomor 22/1991 karena membawa sajam.

Bernard Marbun selaku kuasa hukum yang menangani kasus FR menyebutkan bahwa pihaknya mengajukan eksepsi atau penolakan dakwaan yang bakal digelar pada sidang selanjutnya, Rabu (3/2/2021).

"Begitu sidang dibuka dan sebelum membaca dakwaan, kami sebagai kuasa hukum FR melakukan sebuah protes terhadap persidangan yang dilakukan secara daring. Hal ini kita lakukan karena tidak bisa berkomunikasi dengan FR selama persidangan," ungkap Bernard kepada awak media pada Kamis (28/1/2021).

Dari tingkat kepolisian, kejaksaan, dan pelimpahan di PN Samarinda, Bernard sebagai kuasa hukum tidak pernah bertemu kliennya, FR. Menurutnya, ini sebuah pelanggaran yang harus diperhatikan. Sebab, kuasa hukum memiliki hak untuk berkomunikasi secara leluasa dengan kliennya. Namun aparatur negara tak memberikan hak tersebut. Disebutkan Bernard, sidang yang diikuti FR secara daring pun berindikasi akan merugikan kliennya dan sidang tidak berjalan maksimal.

"Majelis hakim pun bersikeras melaksanakan sidang secara daring dengan alasan protokol kesehatan Covid-19. Begitu pembacaan dakwaan, suara dari JPU yang membaca tidak jelas. Sebab perangkat yang disediakan PN tak maksimal. Bahkan putus-putus," beber Bernard.

FR yang mengikutinya secara daring pun agak kesulitan untuk mendengar suara JPU dengan jelas. Sehingga dia tak begitu memahami dakwaan yang ditujukan padanya. Bernard menilai, hal yang dilakukan JPU itu tidak profesional.

"Seharusnya sebagai terdakwa memiliki hak mengetahui apa saja pasal yang didakwakan. Ini sebuah pelanggaran terhadap hak terdakwa," tambahnya.

Bernard juga keberatan karena sebagai kuasa hukum, dirinya tak diberikan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) turunan dari JPU kepada pihak terdakwa. Lazimnya, BAP mesti diserahkan sebelum sidang pokok perkara berlangsung. Hal ini mengacu pada pasal 143 ayat 4 KUHAP. Padahal, kuasa hukum menilai BAP sangatlah krusial dan sangat diperlukan untuk menyampaikan eksepsi dakwaan pada sidang berikutnya.

Majelis hakim menyarankan kuasa hukum untuk berkomunikasi kepada JPU. Namun, JPU menyebutkan bahwa kuasa hukum harus bersurat terlebih dahulu ke PN Samarinda. Menurut Bernard, ada indikasi bahwa JPU berusaha menghalang-halanginya untuk memperoleh BAP turunan lengkap.

Bernard juga menyampaikan bahwa FR mengeluhkan sakit di bagian kepalanya sejak 5 November 2020 lalu akibat pukulan dari aparat ketika mengamankan FR. Atas dasar itu, tim kuasa hukum pun melayangkan surat permohonan pemeriksaan kesehatan FR kepada Polresta Samarinda pada 9 November 2020 lalu. Namun, hingga kini belum ada respons sama sekali.

Selain itu, kuasa hukum juga meminta hak FR agar difasilitasi untuk menempuh pendidikan. Jumat besok, FR diinfokan akan mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS).

"Makanya kita sedang dalam proses mengamankan BAP tersebut secara lengkap. Apabila memang tidak ada, maka kami akan bersurat ke Dewan Pengawas Kejaksaan. Karena ini bentuk pelanggaran hukum acara pidana," tandasnya.

[YMD | RWT]



Berita Lainnya