Nasional

Tolak UU KUHAP Disahkan, Akademisi: UU Ini ‘Hukum Anti-Kritik’ Ancam Kebebasan Akademik dan Kriminalisasi Peneliti

Kaltim Today
21 November 2025 08:09
Tolak UU KUHAP Disahkan, Akademisi: UU Ini ‘Hukum Anti-Kritik’ Ancam Kebebasan Akademik dan Kriminalisasi Peneliti
Pengesahan RUU KUHAP dilakukan DPR RI. (Istimewa)

JAKARTA, Kaltimtoday.co - Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA) mengeluarkan peringatan darurat atas rencana pengesahan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU KUHAP) dalam Sidang Paripurna DPR, Selasa (18/11/2025). KIKA secara tegas menuntut Presiden dan DPR segera menghentikan proses pengesahan dan menarik kembali draf yang dinilai bermasalah tersebut.

KIKA memandang UU KUHAP terbaru ini sebagai instrumen legislasi yang berpotensi menjadi “Hukum Anti-Kritik”yang akan menghantam kegiatan intelektual dan penelitian kritis. UU ini disebut melegitimasi penyalahgunaan wewenang aparat penegak hukum, sehingga dapat membungkam akademisi, peneliti, dan mahasiswa yang menjalankan fungsi check and balance terhadap kekuasaan.

"Pengesahan UU KUHAP ini tidak hanya akan menjadi ancaman bagi masyarakat sipil secara luas, tetapi juga akan secara langsung menghantam jantung kegiatan intelektual dan penelitian kritis," demikian bunyi pernyataan KIKA, yang turut diwakili oleh akademisi Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah.

KIKA mengkritik keras proses legislasi UU KUHAP yang dilakukan secara tergesa-gesa. Pembahasan di Komisi III DPR bersama Pemerintah, khususnya di tingkat Panitia Kerja (Panja), hanya diselesaikan dalam waktu dua hari, yakni pada 12-13 November 2025.

Menurut KIKA, proses terburu-buru ini secara terang-terangan mengkhianati prinsip partisipasi bermakna(meaningful participation) yang diamanatkan oleh Mahkamah Konstitusi. KIKA menolak alasan yang menyebut pengesahan harus dikebut demi menyesuaikan diri dengan pemberlakuan KUHP Baru pada Januari 2026.

"Mengabaikan pandangan kritis dari pakar hukum acara pidana, kriminologi, dan hak asasi manusia di perguruan tinggi bukan hanya tindakan anti-demokrasi, tetapi juga merupakan bentuk anti-intelektualisme," tegas KIKA.

Potensi Kriminalisasi Akademisi

Ancaman paling serius terhadap kegiatan akademik terletak pada sejumlah pasal yang berpotensi menjadi senjata baru untuk melakukan kriminalisasi terhadap akademisi kritis dan peneliti.

1. Penjebakan dan Pembungkaman (Entrapment): Pasal 16 UU KUHAP dinilai berbahaya karena memperluas kewenangan aparat menggunakan Operasi undercover buy (pembelian terselubung) dan controlled delivery untuk semua jenis tindak pidana bahkan pada tahap penyelidikan (sebelum tindak pidana terkonfirmasi).

Pasal ini membuka ruang lebar bagi praktik penjebakan (entrapment) oleh aparat. Dalam konteks kampus, hal ini dapat digunakan untuk menjebak mahasiswa atau peneliti yang terlibat dalam gerakan sosial atau kajian sensitif, memicu sensor diri (self-censorship) masif.

2. Penahanan Tanpa Pengawasan: Pasal 5, 90, dan 93 memungkinkan aparat melakukan pengamanan, penangkapan, dan penahanan pada tahap penyelidikan hanya berdasarkan interpretasi subjektif aparat. Kewenangan penahanan tanpa pengawasan lembaga peradilan (habeas corpus) yang terlalu lama dinilai sebagai alat koersif yang kuat.

"Bayangkan seorang peneliti yang sedang mengumpulkan data sensitif tentang pelanggaran hak asasi manusia; ia dapat dengan mudah diamankan atau ditahan hanya untuk menghambat proses penelitiannya. Ini ancaman nyata terhadap otonomi keilmuan," papar KIKA.

3. Penyitaan Data Penelitian Tanpa Izin Hakim: Ancaman paling serius terhadap integritas penelitian akademik terletak pada Pasal 105, 112A, 132A, dan 124. Pasal-pasal ini memungkinkan Penggeledahan, Penyitaan, Pemblokiran, hingga Penyadapan dilakukan tanpa izin pengadilan dan hanya dilandaskan pada subjektivitas aparat.

KIKA menegaskan, kebebasan akademik menuntut adanya jaminan kerahasiaan sumber informasi dan data penelitian. Jika aparat dapat menyita perangkat elektronik dan menyadap akademisi tanpa judicial scrutiny, maka integritas data akan hancur dan informan kritis dapat ditempatkan dalam bahaya.

4. Sentralisasi Kekuasaan (Police Superpower): KIKA juga menyoroti Pasal 7 dan Pasal 8 yang menempatkan semua Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Penyidik Khusus di bawah koordinasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Sentralisasi ini dinilai menciptakan lembaga superpower yang melemahkan mekanisme check and balance dan menyulitkan akademisi yang sering mengkritisi kinerja lembaga penegak hukum.

Berdasarkan analisis ancaman tersebut, KIKA mendesak:

  • Hentikan Pengesahan UU KUHAP: Presiden wajib menarik draf RUU KUHAP per 13 November 2025.
    Laksanakan Partisipasi Bermakna: DPR dan Pemerintah wajib memastikan proses pembahasan ulang yang serius dan substantif mengakomodasi masukan kritis dari masyarakat sipil dan komunitas akademik.
  • Perkuat Judicial Scrutiny: Perubahan KUHAP harus didasarkan pada penguatan fungsi pengawasan pengadilan terhadap upaya paksa, bukan melegitimasi penyalahgunaan wewenang aparat.
  • Jamin Perlindungan Akademisi: Seluruh pasal bermasalah yang berpotensi menjadi alat kriminalisasi (khususnya Pasal 5, 16, 105, 112A, 124, 132A) harus dihilangkan atau diubah secara fundamental.

KIKA menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa pemaksaan pengesahan UU KUHAP akan dipandang sebagai kemunduran demokrasi dan pembatasan nyata terhadap tugas mulia perguruan tinggi sebagai kontrol sosial.

[TOS]



Berita Lainnya