Kaltim

Walhi Sebut Bencana Banjir Samarinda karena Pemkot Salah Urus

Kaltim Today
10 Juni 2019 11:50
Walhi Sebut Bencana Banjir Samarinda karena Pemkot Salah Urus

Banjir di Perumahan Bengkuring. Ketinggian air sudah mencapai lutut orang dewasa. Sementara air belum menunjukan tanda-tanda bakal surut. ISTIMEWA
Banjir di Perumahan Bengkuring. Ketinggian air sudah mencapai lutut orang dewasa. Sementara air belum menunjukan tanda-tanda bakal surut. ISTIMEWA

Kaltimtoday.co - Banjir kembali menggenangi Samarinda, Minggu (9/6/2019) hingga saat ini. Lagi-lagi hujan dengan intensitas sedang hingga tinggi berlangsung lebih dari 12 jam jadi penyebab. Pantauan di lapangan, Kecamatan Samarinda Utara menjadi kawasan terluas yang terdampak banjir, sebagian Kecamatan Sungai Pinang dan Samarinda Ulu juga terendam dengan ketinggian air paling dalam sepinggang orang dewasa dari permukaan jalan raya.

Genangan air hampir menyapu bersih seluruh badan jalan utama Kota Samarinda, alhasil akses utama jalan utama tak dapat dilewati, bahkan jalur menuju Bandara APT Pranoto juga sempat terputus. Banjir memang bukan hal yang baru di Samarinda, semestinya itu wajib jadi atensi serius pemerintah. Jika melihat hal tersebut jelas menunjukkan kondisi darurat bencana lingkungan di Ibu Kota Kaltim saat ini.

Berkaca kondisi lingkungan Samarinda yang sudah dinilai darurat, Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Kaltim, melalui Kepala Departemen Advokasi dan Kampanye, Hafidz Prasetyo meminta agar Pemkot Samarinda bisa serius menyikapi masalah ini. Menurutnya, pertama yang harus dilakukan adalah menyiapkan kembali Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Dimana kajian itu mengacu pada UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

“Banjir bukan lagi hal baru di Samarinda, dengan semakin parahnya banjir yang terjadi, tentu perlu disikapi lebih serius. Termasuk dalam penangannya adalah bagaimanan menyiapkan KLHS, yang merupakan rangkaian analisis partisipatif berkelanjutan untuk berintegrasi dengan berbagai program pemerintah daerah. Sehingga pemerintah daerah bisa melihat sejauh mana kebijakan atau program dengan prinsip pengembangan berkelanjutan dan berpihak pada lingkungan serta masyarakat, ini definisi menurut UU PPLH. Dan ini acuan wajib dalam melihat pengembangan program pada satu daerah,” ujarnya.

Dirinya menilai sejauh ini upaya penanganan banjir di Kota Tepian, hanya berkutat pada perbaikan fisik semata. Itu pun hanya sebagai program yang merupakan solusi jangka pendek. Sehingga program bisa berubah dan tak sesuai dengan kondisi lingkungan lagi.

“Tentu hujan tidak semata penyebab banjir yang terus menerus meneror Kota Tepian ini. Sebab Banjir juga tak menutup kemungkinan akibat pembangunan yang hanya menekankan kepada kepentingan ekonomi atau ketidakadilan dalam kebijakan pembangunan sosial, yang diperburuk dengan perusakan sumberdaya alam dan lingkungan. Kalau daya tampung dan daya dukung lingkungan sudah tidak sesuai lagi. Percuma perbaikan drainase kalau pembukaan lahan terus berlangsung,” tegasnya.

Sejumlah relawan kemanusiaan memberikan bantuan berupa nasi bungkus dan keperluan lainnya kepada para korban banjir di Samarinda Utara, Senin (10/6/2019). ISTIMEWA
Sejumlah relawan kemanusiaan memberikan bantuan berupa nasi bungkus dan keperluan lainnya kepada para korban banjir di Samarinda Utara, Senin (10/6/2019). ISTIMEWA

Hafidz mengatakan, Pemkot Samarinda agar melihat lagi skala prioritas program yang dijalankan. Caranya adalah mereview ulang master plan banjir yang sudah ada beberapa tahun lalu. Meski sudah hal itu pernah dilakukan, namun lagi-lagi pihaknya menilai, itu hanya sekedar mengatur proyek pengendalian banjir agar tidak tumpang tindih. Bukan bagaimana, proses tersebut berjalan dengan kajian menyeluruh mengenai pola dan penyebab banjir tersebut.“Artinya pemkot perlu berhitung ulang terkait upaya penyelamatan lingkungan di Samarinda. Termasuk dengan memperhatikan daya tampung dan daya dukung satu kawasan saat menetapkan pembukaan lahan. Seperti melihat hulu dari permasalahan terkait kemampuan ekologi dari kawasan itu. Misalnya seperti rencana pengembangan satu kawasan, harusnya dilihat dahulu kemampuan daya dukung kawasan. Jika ada bukaan dan alih fungsi lahan yang masif, harusnya ada langkah perbaikan terlebih dulu atas kawasan itu,” sebutnya.Sementara itu, kondisi saat ini erat kaitannya dengan harus adanya penyiapan kembali dokumen KLHS, karena dari KLHS dapat diketahui apakah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kota masih sesuai atau tidak. Dengan begitu juga dapat disesuaikan perencanaannya, penataan mana kawasan yang disiapkan untuk izin pembukaan lahan, kawasan permukiman, dan kawasan usaha juga bisa terpetakan dengan baik.

KLHS juga sebagai acuan mengukur daya dukung dan daya tampung ekologi, sehingga ada jaminan pembangunan yang berkelanjutan.

“Minimal itu dulu yang wajib dikerjakan pemerintah sebagai acuan dalam menanggulangi kerusakan alam yang bisa berdampak datangnya bencana ekologis. Dan perlu diingat pembangunan infrastruktur jangan sampai mengganggu kondisi lingkungan secara signifikan,” ujarnya

 

Bencana banjir sering dianggap sebagai bencana alam dan juga "dikatakan" sebuah takdir Tuhan, padahal fenomena tersebut lebih sering terjadi karena salah urus lingkungan dan aset alam yang terjadi secara akumulatif dan terus menerus. Krisis demi krisis akibat salah urus ini kemudian berujung pada bencana lingkungan yang kian nyata terlihat.

Dalam memilih pemimpin daerah kriteria harus lebih jelas, dalam artian pemimpin yang mampu mengawal kebijakan pembangunan daerah tanpa mengesampingkan pertimbangan lingkungan.

Karena kondisi lingkungan saat ini sudah mengkhawatirkan bahkan sudah bisa dikatakan darurat.

“Menyusun kembali KLHS salah satu upaya penting agar penataan pola ruang dan wilayah diharapkan bisa sesuai daya dukung dan daya tampung daerah,” pungkasnya.

[TOS]



Berita Lainnya