Daerah
Celah Regulasi Buat Izin Ritel Modern di Samarinda Terbit Otomatis, DPMPTSP: Perwali 9/2015 Sudah Tak Relevan
Kaltimtoday.co, Samarinda - Keresahan pedagang konvensional di Samarinda terhadap menjamurnya gerai ritel modern, seperti Indomaret dan Alfamart, yang dinilai melanggar aturan jarak dan jam operasional, kini terkuak memiliki akar masalah yang lebih dalam: kekosongan regulasi daerah.
Persatuan Pedagang Sembako dan Minyak (P2SM) sebelumnya mengadu ke DPRD Samarinda terkait pelanggaran ketentuan jarak minimal 500 meter antar gerai dan jam operasional yang melebihi batas pukul 23.00 WITA, bahkan beroperasi 24 jam di beberapa titik.
Menanggapi isu perizinan yang kompleks ini, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Samarinda mengakui bahwa Peraturan Wali Kota (Perwali) Nomor 9 Tahun 2015 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Rakyat, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Swalayan sudah tidak lagi sesuai dengan kondisi saat ini, bahkan hampir 90 persen peraturan di atasnya sudah tidak berlaku lagi.
Pejabat Fungsional Penata Perizinan Ahli Madya DPMPTSP Samarinda, Chairuddin menegaskan bahwa permasalahan ini tidak hanya terbatas pada Indomaret atau Alfamart, melainkan mencakup semua toko swalayan atau retail modern yang terdiri dari minimarket, supermarket, hingga hipermarket.
“Yang jadi aduan masyarakat itu memang minimarket yang buka 24 jam. Di Perwali 9/2015 sebenarnya sudah diatur, tapi peraturan itu sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini. Hampir 90 persen peraturan di atasnya sudah tidak berlaku lagi,” jelas Chairuddin.
Menurut Chairuddin, kekosongan hukum di Samarinda muncul setelah Perwali lama tidak segera disesuaikan dengan aturan yang lebih tinggi, yaitu Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 23 Tahun 2021 beserta perubahannya, Permendag Nomor 18 Tahun 2022.
Kedua aturan itu sebenarnya memberikan mandat kepada pemerintah daerah untuk mengatur zonasi dan jarak antara pasar rakyat dengan pusat perbelanjaan, serta antara toko swalayan dengan toko eceran tradisional.
“Sebetulnya di Permendag tersebut daerah diberi mandat untuk mengatur zonasi terkait toko swalayan. Misalnya, jarak antara pasar rakyat dan pusat perbelanjaan, atau antara toko swalayan dan toko eceran tradisional. Tapi tentu perlu pembahasan antara Dinas Perdagangan dan PUPR, khususnya bidang tata ruang,” tambahnya.
Namun, karena Perwali Samarinda belum diperbarui, pemerintah daerah sedikit kehilangan kendali perizinan sejak diberlakukannya sistem perizinan daring Online Single Submission (OSS) sekitar tahun 2018 hingga 2020.
Chairuddin menjelaskan bahwa saat ini, untuk KBLI 47111 (yang mengatur toko swalayan), terdapat 328 izin yang telah terbit dalam rentang tahun 2021 hingga 2025. Izin ini terbit secara otomatis lantaran toko swalayan diklasifikasikan sebagai usaha berskala UMK dengan risiko rendah.
“Karena dikategorikan risiko rendah dan skala usaha UMK, maka izin terbit otomatis. Sistem OSS punya SLA lima hari — jika perangkat daerah teknis tidak menindaklanjuti dalam waktu itu, maka izin otomatis terbit,” terang Chairuddin.
Fenomena ini menjadi bukti nyata dari apa yang disebut DPMPTSP sebagai celah kekosongan hukum akibat tidak adanya Perwali baru yang mengatur zonasi dan jarak antar gerai.
“Kita di Samarinda memang ada celah kekosongan hukum karena tidak adanya Perwali yang mengatur zonasi tersebut. Padahal, di Perwali lama sebenarnya ada pengaturan jarak antar retail,” lanjutnya.
Ia menambahkan, kondisi berbeda terjadi sebelum terbitnya Permendag baru. Saat itu, pertumbuhan ritel modern di Samarinda masih terkendali karena Perwali 9/2015 masih relevan.
“Dulu, waktu Perwali itu masih up to date, pertumbuhan retail modern terkendali karena ada aturan jarak. Tapi setelah Permendag baru keluar dan Perwali tidak disesuaikan, gerai mulai menjamur, bahkan dalam satu radius bisa ada tiga sampai empat toko,” ungkap Chairuddin.
Ia menegaskan bahwa seharusnya pemerintah daerah segera menyesuaikan aturan lokal begitu Permendag baru diterbitkan. “Seharusnya begitu Permendag ini terbit, kita cepat mengisi dengan Perwali yang baru. Kalau tidak segera dilakukan, masih ada 533 izin lain yang menunggu untuk diterbitkan,” tandasnya.
Adapun dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi II DPRD Samarinda beberapa waktu lalu, Chairuddin telah menyarankan kepada Komisi II DPRD Samarinda agar revisi Perwali segera dibahas bersama Dinas Perdagangan dan Dinas PUPR. Kolaborasi ini penting untuk memastikan penataan zonasi dimasukkan ke dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) daerah, sehingga ke depan pertumbuhan toko swalayan bisa kembali terkendali.
[NKH]
Related Posts
- Prakiraan Cuaca Samarinda dan Sekitarnya Hari Ini, Sabtu, 8 November 2025
- Modus Baru Penipuan Sasar Mahasiswi, Pelaku Minta Foto Ketat Berkedok Tawaran Model Busana Desa Wisata
- YJI Kaltim Dorong Kesadaran Kesehatan Jantung Lewat Senam Sehat di Islamic Center
- AAKBB Kaltim Angkat Suara soal Keterbatasan Guru Agama Non-Muslim di Sekolah Dasar
- Komisi II DPRD Samarinda Sentil Satpol PP, Minta Penegakan Tak Tebang Pilih antara Ritel Modern dan Pedagang Kecil









