Opini

Dari Orkestra Nasional ke Biola UNU Kaltim

Kaltim Today
27 September 2025 14:08
Dari Orkestra Nasional ke Biola UNU Kaltim

Oleh: Eko Ernada (Ketua Regional Centre of Expertise (RCE) East Kalimantan, dan salah seorang pendiri UNU Kaltim)

Selamat kepada Rektor baru Universitas Nahdlatul Ulama Kalimantan Timur. Jabatan ini datang di tengah gegap gempita arah baru kebijakan pendidikan tinggi yang disampaikan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi: kampus dituntut menjadi lokomotif delapan industri strategis—mulai dari pangan, energi, maritim, kesehatan, hingga digitalisasi—melahirkan creative class dan super-creative core, serta menjelma sebagai “kampus berdampak” yang bisa mengukur prestasinya dengan indikator terukur.

Di atas kertas, visi itu megah. Kita seolah sudah siap memainkan simfoni masa depan, mengiringi langkah menuju Indonesia Emas 2045. Tetapi, realitas di Samarinda menghadirkan nada lain. UNU Kaltim hari ini masih bergulat dengan masalah yang sangat mendasar: jumlah mahasiswa yang stagnan, mekanisme pengelolaan internal masih dalam proses menemukan bentuk terbaiknya, dan keterbatasan daya saing akademik yang belum menampakkan geliat berarti. Singkatnya, di saat nasional berbicara orkestra industri strategis, UNU Kaltim masih sibuk menyetem biola yang senarnya sering kendor.

Paradoks ini mungkin terdengar pahit, tetapi juga jujur. Bagaimana mungkin membicarakan super-creative core yang mencetak start-up teknologi, sementara kampus sendiri masih sibuk merapikan fondasi tata kelola? Bagaimana mungkin berbicara tentang digitalisasi dan big data, sementara menarik mahasiswa baru saja masih menjadi pekerjaan rumah tahunan?

Namun, dari keterbatasan justru lahir peluang. UNU Kaltim tidak harus menjadi penyalin jargon nasional, tetapi bisa menjadi penerjemah cerdas. Jika pusat bicara energi, maka UNU Kaltim dapat memulainya dari isu transisi energi di Kalimantan, dari batu bara ke energi terbarukan. Jika pusat bicara maritim, maka desa-desa pesisir bisa menjadi laboratorium hidup. Jika pusat bicara digitalisasi, kampus bisa mengembangkan aplikasi sederhana yang memberdayakan UMKM atau memperbaiki tata kelola desa. 

Jumlah mahasiswa yang belum banyak bisa dipandang bukan sebagai kelemahan, melainkan kesempatan untuk membangun pendidikan yang lebih personal, berbasis proyek, dan dekat dengan realitas sosial. Dalam ukuran kecil, justru ada fleksibilitas yang sulit dimiliki kampus besar. 

Di sinilah teori pengelolaan perguruan tinggi menjadi relevan. Good University Governance menekankan bahwa universitas tidak bisa berkembang hanya dengan modal fasilitas, tetapi harus didukung oleh tata kelola yang sehat: transparan, akuntabel, dan visioner. Sementara Resource Orchestration Theory mengajarkan bahwa kekuatan organisasi tidak ditentukan semata oleh jumlah sumber daya yang dimiliki, melainkan oleh kemampuan mengorkestrasi yang ada—menyusun, menggabungkan, dan memanfaatkan secara cerdas. UNU Kaltim mungkin kecil, tetapi jika mampu mengorkestrasi dosen, mahasiswa, mitra lokal, bahkan masyarakat sekitar, ia bisa memberi dampak yang jauh melampaui ukurannya.

Lebih jauh, dari perspektif filosofis, pendidikan tinggi bukan sekadar mesin produksi tenaga kerja atau laboratorium riset untuk melayani industri. Dalam pandangan klasik, pendidikan adalah jalan menuju pembebasan dan pencerahan manusia. Plato pernah menyebut pendidikan sebagai “membalikkan jiwa dari bayangan menuju cahaya kebenaran.” Paulo Freire menyebutnya sebagai praxis—sebuah proses refleksi dan aksi yang membebaskan manusia dari belenggu ketidakadilan. Jika visi pendidikan tinggi hanya berhenti pada melahirkan creative class demi pertumbuhan ekonomi, maka kita kehilangan ruh terdalam dari pendidikan: memanusiakan manusia.

Karena itu, UNU Kaltim bisa memilih jalannya sendiri. Ya, ia harus relevan dengan arah kebijakan nasional, tetapi jangan sampai kehilangan misi mulianya: mendidik manusia seutuhnya. Kampus ini bisa menggabungkan peran ganda: di satu sisi mendukung industri strategis melalui riset dan inovasi, di sisi lain tetap menjaga pendidikan sebagai ruang pembebasan, kritik, dan pemuliaan nilai-nilai kemanusiaan.

Tantangan bagi rektor baru bukan sekadar memperbaiki laporan akreditasi atau menggelar wisuda tiap tahun. Tantangannya adalah menjadikan UNU Kaltim sebagai kampus yang berani jujur pada dirinya sendiri: mengakui keterbatasan, menata kembali tata kelola, membangun keunggulan lokal, lalu berkontribusi nyata bagi masyarakat. Dengan begitu, ia tidak hanya sekadar ikut menyanyikan jargon dari pusat, tetapi benar-benar menambahkan nada yang khas dalam orkestra besar pendidikan tinggi Indonesia.

Jika tidak, risiko yang menanti sangat jelas: UNU Kaltim akan terus terpinggirkan, kehilangan daya tarik, dan terjebak dalam rutinitas tanpa arah. Tapi jika berani berbenah, dari biola yang sendu ia bisa ikut mengisi simfoni nasional—mungkin bukan instrumen paling lantang, tetapi cukup untuk memberi warna yang tak tergantikan.

Pada akhirnya, kepemimpinan baru di UNU Kaltim adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa kampus ini tidak hanya hadir sebagai institusi akademik, tetapi juga sebagai ruang transformasi sosial yang berpihak pada masyarakat. Sebuah momentum untuk menunjukkan bahwa dari pinggiran, selalu ada kemungkinan untuk memberi warna pada panggung nasional.


*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co

Simak berita dan artikel Kaltim Today lainnya di Google News, dan ikuti terus berita terhangat kami via Whatsapp 



Berita Lainnya