Nasional

Disebut Bahlil Lahadalia Saat Munas Golkar, Ini Sejarah Singkat Raja Jawa Asli, Leluhur Sri Sultan Hamengku Buwono

Suara Network — Kaltim Today 23 Agustus 2024 18:25
Disebut Bahlil Lahadalia Saat Munas Golkar, Ini Sejarah Singkat Raja Jawa Asli, Leluhur Sri Sultan Hamengku Buwono
Bahlil Lahadalia. (Dok. Suara.com)

Kaltimtoday.co - Baru-baru ini, Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, mencuri perhatian dengan komentarnya tentang "Raja Jawa" saat membahas kelanjutan pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin. Dalam pidatonya di Musyawarah Nasional (Munas) XI Partai Golkar pada Rabu (21/8/2024), Bahlil mengaitkan pemerintahan Prabowo-Gibran sebagai lanjutan dari pemerintahan Jokowi.

"Soalnya Raja Jawa ini kalau kita main-main celaka kita. Saya mau kasih tahu aja, jangan coba-coba main di barang ini, waduh ngeri-ngeri sedap barang ini saya kasih tahu," ucap Bahlil.

Meski Bahlil tidak menyebut siapa sosok "Raja Jawa" yang dimaksud, spekulasi pun muncul di kalangan warganet.

Sejarah dan Makna Raja Jawa

Secara historis, sebutan "Raja Jawa" merujuk pada penguasa di wilayah Jawa, dan istilah ini kurang tepat jika dikaitkan dengan seorang presiden yang memimpin seluruh Indonesia. Dalam sejarah, Pulau Jawa memiliki banyak raja, yang kekuasaannya terbagi menurut wilayahnya masing-masing. Salah satu kerajaan yang masih diakui hingga kini adalah keturunan Kerajaan Mataram Islam.

Kerajaan Mataram Islam merupakan salah satu kerajaan terbesar dalam sejarah Indonesia, berdiri di Jawa pada abad ke-16 hingga abad ke-18. Kerajaan ini memainkan peran penting dalam penyebaran agama Islam dan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda.

Awal Mula dan Kepemimpinan Kerajaan Mataram Islam 

Pada tahun 1575, Sultan Hadiwijaya, Raja Pajang, menghadiahkan hutan Mentaok kepada Ki Ageng Pamanahan atas jasanya mengalahkan Arya Penangsang dari Jipang. Ki Ageng Pamanahan kemudian membangun wilayah tersebut, yang berkembang menjadi pusat kekuasaan baru.

Panembahan Senopati, putra Ki Ageng Pamanahan, menjadi raja pertama Mataram Islam. Di bawah kepemimpinannya, Mataram Islam mencapai kejayaannya, dengan berbagai modernisasi dan reformasi, termasuk dalam sektor ekonomi, militer, dan administrasi.

Sultan Agung Hanyakrakusuma, yang memerintah setelah Panembahan Senopati, memperluas wilayah kekuasaan Mataram hingga Madura dan melancarkan serangan terhadap VOC di Batavia. Namun, setelah wafatnya, kerajaan ini mulai mengalami kemunduran.

Keruntuhan Kerajaan Mataram Islam

Setelah Sultan Agung wafat, putranya, Amangkurat I, naik takhta. Namun, di bawah kepemimpinannya, Mataram mengalami kemerosotan yang ditandai dengan serangan Trunojoyo, yang melemahkan pertahanan kerajaan. Tekanan dari VOC dan kerajaan lainnya semakin memperburuk situasi, hingga akhirnya terjadi Perjanjian Giyanti pada 1755, yang membagi Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

Saat ini, Kasunanan Surakarta dipimpin oleh Pakubuwono, sementara Kasultanan Yogyakarta dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono.

Refleksi Kepemimpinan Amangkurat I

Kisah Amangkurat I mengingatkan bahwa tidak semua orang mampu memimpin dengan baik, meski telah diberi mandat. Meskipun ia menggantikan ayahnya sebagai Raja Jawa, Amangkurat I justru merusak kerajaan yang telah dibangun dengan susah payah oleh pendahulunya. Keputusan membangun istana baru di Keraton Plered dan meninggalkan istana lama di Keraton Karta dianggap sebagai salah satu penyebab kemunduran Mataram, yang akhirnya terpecah menjadi dua: Yogyakarta dan Surakarta.

Sindiran Bahlil Lahadalia tentang "Raja Jawa" mungkin mengacu pada kekuatan dan pengaruh yang dimiliki oleh beberapa pihak di Indonesia, yang kini tengah menjadi perbincangan hangat.

[RWT]

Simak berita dan artikel Kaltim Today lainnya di Google News, dan ikuti terus berita terhangat kami via Whatsapp



Berita Lainnya