Daerah
Belasan Tahun Pembebasan Lahan Tak Dibayar, Kini Diklaim HGU, Warga Ancam Bakal Jebol Bendungan Marangkayu

Kaltimtoday.co, Tenggarong - Sudah lebih dari belasan tahun masyarakat menunggu pembayaran ganti rugi lahan yang digunakan untuk pembangunan Bendungan Marangkayu. Namun hingga kini, hak warga tak kunjung dituntaskan pemerintah. Ironisnya, lahan tersebut justru diklaim sebagai Hak Guna Usaha (HGU) milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIII.
Nestapa itu dialami masyarakat di dua desa di Kecamatan Marangkayu. Lahan pertanian dan tempat berladang mereka telah berubah menjadi bendungan. Kini, mereka bukan hanya kehilangan mata pencaharian, tetapi juga tidak menerima uang ganti rugi.
Aksi demonstrasi menuntut pembayaran sudah berulang kali dilakukan. Tetapi yang mereka terima hanya janji-janji tanpa kepastian. Berkali-kali pemerintah menyampaikan akan melunasi hak masyarakat yang lahannya digunakan, namun janji tersebut tidak pernah benar-benar diwujudkan.
Kesabaran masyarakat pun sudah mencapai batas. Warga dua desa menyatakan sikap tegas, berhenti menyampaikan aspirasi dan berencana menghancurkan Bendungan Marangkayu serta mengambil kembali lahan mereka.
Rencana itu bukan sekadar kata-kata biasa. Dalam forum mediasi dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim) bersama instansi terkait baru-baru ini, warga sudah menyampaikan rencana konkret.
Perwakilan warga, Nina Iskandar, mengatakan saat ini masyarakat sedang menyiapkan peralatan dan menentukan bagian bendungan yang akan dijebol untuk mengosongkan air. Dengan begitu, lahan bisa dikembalikan seperti semula untuk digunakan kembali sebagai tempat berladang.
“Rencana kami pekan depan, karena kita prepare alat dulu, pakai alatnya kan tidak cepat dapatnya,” kata Nina saat dihubungi Kaltimtoday.co, Kamis (21/8/2025).
Nina menegaskan, rencana ini sudah disampaikan kepada Pemprov Kaltim saat mediasi terakhir dengan PUPR, ATR/BPN, dan BWS. Namun hasilnya, pemerintah justru meminta waktu tambahan satu hingga dua minggu. Warga dengan tegas menolak dan hanya memberikan waktu satu pekan.
“Dari (perwakilan) Gubernur waktu kami pertemuan kemarin, mereka minta waktu 1-2 minggu, kita bilang cuma ada waktu 1 minggu,” tegasnya.
Selain ganti rugi yang tak kunjung dibayar, keberadaan bendungan juga menambah masalah sosial. Setiap kali hujan deras, lebih dari seratus rumah warga di Kilometer (KM) 10 terendam banjir karena panel bendungan ditutup.
“Setiap hujan, banjir. Makanya kami mau paksa buka panel bendungan supaya tidak banjir lagi. Karena ada 102 rumah di sana kebanjiran semua,” tutur Nina.
Kronologi
Persoalan bermula pada 2007 ketika perencanaan pembangunan Bendungan Marangkayu ditetapkan sebagai proyek strategis nasional. Pemerintah melakukan verifikasi data, survei lokasi, hingga menyepakati lahan masyarakat yang akan digunakan. Tercatat 614 hektare lebih lahan warga, membentang dari Desa Sebuntal hingga Desa Bunga Putih, masuk dalam kawasan pembangunan.
Menurut Nina, sejak awal memang ada konflik antara masyarakat dan pemerintah, tetapi saat itu bukan terkait klaim HGU, melainkan soal harga pembebasan lahan. Setelah melalui proses panjang, akhirnya dicapai kesepakatan mengenai besaran harga.
Tahun 2007 hingga 2011, pembayaran berjalan meski bertahap. Namun sejak 2011, pembayaran mulai macet.
“Mulai tahun 2011 mulai lah nyendat-nyendat anggaran. Belum ada HGU, tapi anggaran nyendat,” ucap Nina.
Setiap tahun hanya satu atau dua orang saja yang menerima pembayaran, itupun dengan nominal kecil. Sedangkan yang nilainya mencapai miliaran rupiah tidak pernah dibayarkan. Masyarakat kembali melakukan aksi, tetapi hasilnya hanya sebagian kecil warga yang dibayar. Pola itu terus berulang.
Pada 2012 hingga 2017, anggaran dihentikan dengan alasan peralihan kebijakan dari kabupaten ke provinsi. Setelah diambil alih oleh provinsi, mereka menyatakan tidak memiliki anggaran untuk membayar. Kemudian meminta bantuan ke pemerintah pusat, dan kembali berjanji akan melunasi.
Hampir saja penantian panjang warga terjawab pada 2024. Namun harapan itu pupus ketika muncul klaim HGU milik PTPN XIII di kawasan bendungan. Padahal, di lahan tersebut tidak pernah ada usaha perkebunan milik perusahaan, melainkan murni lahan pertanian masyarakat sejak lama.
“Pada 2024 lalu, PU Provinsi mendatangi warga, bilang katanya duitnya sudah ada. Tiba-tiba bulan September 2024 dimunculkan HGU dari PT Perkebunan Nusantara XIII, diklaim lah di situ. Padahal angka, kepastian, appraisal sudah turun, sudah ada hitungan, sudah disepakati warga, sudah tanda tangan. Warga sampai lima kali datang ke Tenggarong, tanda tangan untuk pencairan tapi gagal cair. Ada alasan salah berkas, gagal lagi. Sampai akhirnya muncul HGU,” tegas Nina.
Lebih ironis lagi, warga dipanggil ke Tenggarong untuk sosialisasi pencairan oleh ATR/BPN. Namun ternyata yang dilakukan bukan sosialisasi, melainkan pembuatan berita acara yang berisi konsinyasi atau penitipan uang di pengadilan.
Tidak lama kemudian, Panitra dan hakim turun ke lapangan. Tetapi lokasi yang didatangi bukan lahan yang dipermasalahkan. Mereka lalu mendatangi rumah-rumah warga untuk meminta tanda tangan persetujuan. Ketika warga mencoba membaca isi dokumen, justru ditolak dengan alasan terburu-buru.
“Mereka datang kembali, minta tanda tangan lagi untuk lahan kedua, tapi masyarakat menolak. Akhirnya 33 warga dibawa ke persidangan, digiring pakai pengacara, dipaksa menggugat. Padahal tidak perlu digugat karena PTPN ini tidak punya sertifikat,” jelas Nina.
Ia menyebut masyarakat akan membuat mosi tidak percaya atas proses persidangan dan mengirimkannya ke Mahkamah Agung.
“Warga selalu dikalahkan, dari awal sampai banding pun kalah. Pengacara pun tidak pernah berkoordinasi dengan warga,” tambahnya.
Sementara itu, total lahan yang harus dibebaskan mencapai kurang lebih 613 hektare dengan nilai sekitar Rp135 miliar. Hingga kini, yang sudah dibayarkan baru 12 persen, belum termasuk 32 orang yang baru menerima pembayaran belakangan ini.
“Sebelumnya 12 persen sudah terbayar, tapi kemarin waktu aksi dan mediasi ada yang dibayar 32 orang. Jadi tidak tahu berapa persen persentasenya sekarang,” tandas Nina.
[SUP | RWT]
Related Posts
- Pasca Penangkapan Tersangka MA, TRC PPA Ungkap Dugaan Intimidasi terhadap Keluarga Korban
- Rudy Mas'ud Gratiskan Biaya Administrasi Rumah Subsidi bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah
- Film Animasi Merah Putih One for All Dapat Rating Terburuk 1 Bintang di IMDb
- Kaltim Raih Juara II BBIB Award 2025, Bukti Komitmen Tingkatkan SDM Peternakan
- Puskesmas Tepian Buah Kekurangan Dokter, DPRD Berau Minta Dinkes Lakukan Pemetaan Tenaga Medis