Opini
Evaluasi Sistem Pembinaan Napi Pasca Asimilasi di Tengah Pandemi
Oleh : Aditya Prastian Supriyadi, S.H.,M.H. (Pemerhati Hukum Alumni Pascasarjana FH Universitas Brawijaya)
Dalam rangka mencegah penularan virus Corona di lembaga pemasyarakatan (lapas), Pemerintah mengeluarkaan kebijakan asimilasi secara kolektif bagi narapidana. Melalui asimilasi, narapidana akan dibebaskan dengan pembinaan pembauran di masyarakat. Pemberian asimilasi kepada narapidana di tengah pandemi Corona dilakukan berdasarkan Permenkum HAM No. 10 Tahun 2020 dan Keputusan No.19.PK.01.04 tahun 2020 yang dikeluarkan oleh Menteri Yasonna Laoly. Melalui aturan tersebut setidaknya sampai 26 April 2020 sudah ada 38.822 narapidana yang dibebaskan (Liputan 6: 2020).
Narapidana yang dibebaskan melalui asimilasi ternyata tidak menjamin narapidana berlakukan baik. Beberapa narapidana yang telah bebas melalui asimilasi ternyata tertangkap kembali akibat melakukan kejahatan. Misalnya kasus penusukan pemuda di Padang yang baru-baru ini menghebohkan dimana pelakunya adalah narapidana yang sedang menjalani asimilasi (Tagar.id : 2020). Pelaku akhirnya ditangkap oleh kepolisian setempat akibat perbuatannya.
Saat ini DIVHUMAS POLRI sementara mencatat ada 39 narapidana yang sedang menjalani asimilasi telah tertangkap karena kembali berulah (Kompas: 2020). Selain itu hebohnya isu ini juga banyak diliput oleh media-media di Indonesia tentang narapidana yang kembali ditangkap oleh aparat kepolisian di beberapa daerah Indonesia. Sebabnya karena mereka kembali melakukan perbuatan kejahatan yang membuat resah masyarakat.
Kebijakan asimilasi di tengah pandemi Corona banyak menuai kritik karena banyak narapidana yang kembali berulah setelah dibebaskan. Akibat banyaknya kritik terhadap kebijakan tersebut, Kementerian Hukum dan HAM menghentikan pemberian asimilasi kepada narapidana (Okezone: 2020). Penghentian kebijakan tersebut merupakan keputusan yang tepat. Kebijakan asimilasi butuh evaluasi dan perbaikan. Agar kedepannya narapidana yang bebas melalui asimilasi benar-benar layak untuk membaur di masyarakat tanpa mengulangi kejahatan yang dapat meresahkan lingkungan sekitar.
Harapan dari asimilasi sebenarnya narapidana-narapidana yang telah dibebaskan agar mengkarantina diri di rumah masing-masing guna menghindari penularan Corona. Karantina tersebut dilakukan sampai diintegrasi lewat pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, atau cuti bersyarat. Namun ternyata tidak sesuai prediksi. Bukannya mengkarantina diri di rumah malahan narapidana banyak yang melakukan tindakan kriminal lagi. Sehingga kebijakan asimilasi tidak berjalan dengan baik. Dan tujuan asimilasi pun tak tercapai.
Banyaknya narapidana yang kembali berulah saat dibebaskan melalui asimilasi, perlu ada evaluasi pada sistem pemasyarakatan di Indonesia. Sebelum diberikan asimilasi, narapidana seharusnya dibina terlebih dahulu di lapas. Berdasarkan UU. No. 25 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan bahwa lapas merupakan wadah pembinaan narapidana agar menyadari kesalahannya dan kembali menjadi warga yang baik. Tujuan pembinaan tersebut untuk merubah sifat, pola pikir, dan prilaku narapidana melalui interaksi edukatif. Namun melihat fenomena narapidana yang kembali berulah, kedudukan dan tujuan pembinaan lapas belum berjalan dengan maksimal. Karena ketika pembinaan telah maksimal tentu potensi-potensi narapidana yang telah dibebaskan tidak akan dijerat hukum kembali karena perbuatannya.
Mekanisme pemberian asimilasi juga harus selektif agar bisa menilai kepribadian narapidana yang berhak untuk dibebaskan. Ketika mekanisme pemberian asimilasi dilakukan secara selektif, prosedur kelayakan penilaian perilaku dan kepribadian narapidana akan dilakukan secara ketat. Akan tetapi munculnya pengulangan tindak pidana oleh para narapidana tentu terdapat permasalahan pada mekanisme pemberian asimilasi. Pemberian asimilasi dirasa belum selektif karena telah membebaskan narapidana yang belum layak untuk dibaurkan di masyarakat.
Munculnya problematika narapidana yang kembali melakukan kejahatan tentu pertama kali yang harus dievaluasi adalah sistem pemasyarakatan di Indonesia. Di era modern ini sifat pemidanaan sudah menerapkan prinsip pemidanaan kovergensi. Yaitu pemidanaan gabungan antara prinsip retributif dan relatif. Pemidanaan ini berperan tidak hanya memberikan efek jera saja melalui penjara, tetapi juga memberikan edukasi dengan tujuan narapidana menjadi warga yang baik sehingga kedepannya tidak mengulang perbuataannya kembali.
Proses sistem pemasyarakatan Indonesia perlu tingkatkan kembali melalui pendekatan konsep pemidanaan konvergensi untuk mendidik narapidana yang tepat. Penjara dan pelatihan perlu dielaborasi. Kualitas pelatihan narapidana melalui interaksi edukatif yang intensif sangat diperlukan. Agar secara kolektif tumbuh kesadaran dari para narapidana tentang prilaku yang seharusnya dimiliki dan dilakukan. Pendidikan karakter, budi pekerti dan pancasila perlu digencarkan. Pelatihan wirausaha, keterampilan dan kesenian perlu ditingkatkan. Maka ketika narapidana sudah selesai menjalani hukumannya akan memiliki bekal positif ketika bergabung dengan masyarakat tanpa harus berbuat kriminal.
Pembinaan narapidana yang baik akan menjamin narapidana tidak kembali berbuat kejahatan ketika bebas melalui asimilasi. Namun pemberian asimilasi harus berdasarkan seleksi ketat. Syarat-syarat yang ditentukan oleh Permenkumham harus benar-benar dipenuhi. Tidak hanya telah menjalani hukuman ½ dari masa pidana. Narapidana harus memenuhi syarat dan administratif serta memperoleh persetujuan secara ketat dari tim pengamat pemasyarakatan lapas dan kepala lapas bahwa narapidana telah berkelakuan baik.
Syarat administrasi harus bisa menilai bahwa narapidana telah sadar dan menyesal akan perbuatannya. Perkembangan budi pekerti dan moral positif narapidana juga perlu diperhatikan. Penilaian keberhasilan mengikuti program kegiatan pembinaan juga perlu dipertimbangkan. Ketika petugas ternyata menemukan penilaian yang kurang, maka narapidana tidak boleh dibebaskan melalui asimilasi terlebih dahulu agar bisa berevaluasi. Tujuannya untuk menghindarkan terjadinya pengulangan tindak pidana oleh narapidana melalui seleksi pemberian asimilasi yang ketat.
Pemberian asimilasi kepada narapidana dalam rangka mencegah penularan Corona di Lapas memang tepat tapi perlu dievaluasi dan diperbaiki agar tidak menjadi masalah baru. Seleksi pemberian asimilasi kepada narapidana harus ketat melalui indikator pembinaan dan pelatihan yang berkualitas selama di lapas. Kemudian pengawasan dan sanksi perlu dilakukan kepada narapidana yang menjalani proses asimilasi. Ketika narapidana dinilai belum layak maka asimilasi belum boleh diberikan. Hal tersebut untuk mencegah potensi terjadi pengulangan kejahatan oleh para narapidana yang meresahkan masyarakat ketika diberi asimilasi.(*)
*) Opini penulis ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co