Opini
Hutan Leluhur Pelindung Kota Urban di Kalimantan Timur
Oleh: Ayunita Xiao Wei (Mahasiswa Pascasarjana Tata Kelola Seni-ISI Yogyakarta)
BENAR jika sebagian warga Indonesia yang belum pernah ke Kalimantan menganggap bahwa Pulau Borneo penuh dengan hutan. Di salah satu provinsinya yang sering disingkat dengan Kaltim atau Kalimantan Timur memiliki luas hutan sekitar 8.339.151 hektare pada 2015. Luas tersebut belum termasuk luas hutan yang dibakar pada 1990-an.
Namun sekarang, luas hutan di Kaltim menjadi 6 (enam) jenis hutan seperti hutan lindung, hutan suaka alam dan wisata, hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi, dan hutan pendidikan atau untuk penelitian.
Hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas memiliki luas masing-masing 3.027.099 hektare dan 2.908.256 hektare. Sedangkan daerah kabupaten/kota yang memiliki kawasan hutan terluas adalah Kutai Kertanegara yaitu 2.097.921 hektare. Hutan tersebut adalah Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dibentuk dari program reboisasi dan rehabilitasi lahan hutan.
Saat ini, hutan di Kaltim tidak hanya menjadi objek produksi kertas yang dapat dipakai oleh manusia dalam kesehariannya, tetapi juga sebagai cagar pelindung. Salah satunya Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW) yang berlokasi di Km 15 dari pusat Kota Balikpapan.
Masyarakat yang datang akan merasakan kesegaran jika memasuki kawasan HLSW. Hutan lindung ini memiliki luas 9.782 hektare dan dialiri dengan dua Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu Sungai Wain dan Sungai Bugis yang menjadi sumber air bagi warga Kota Balikpapan.
Dahulu kala, HLSW hanya menjadi hutan lindung bagi peneliti untuk mengobservasi flora dan fauna yang ada di dalamnya. Selain itu juga, HLSW menjadi sumber kehidupan warga Suku Balik untuk mengambil rotan yang diperuntukan sebagai bahan baku rumah tangga. Sering kali Suku Balik memanen hasil hutan untuk dijadikan ritual kebudayaan terhadap leluhurnya. Namun hari ini, hutan tersebut telah dijadikan pusat pendidikan dan ekowisata oleh pengelolanya. Hal tersebut untuk memberikan pengetahuan kepada warga Kota Balikpapan bahwa terdapat mutiara hijau yang harus dilindungi. Meski, tidak jarang area HLSW menjadi incaran bagi pembalak liar untuk endemik yang dilindungi.
HLSW memiliki peran penting yang telah disadari sejak lama. Berbagai upaya terus dilakukan untuk dapat menjaga sumber air baku bagi warga Kota Balikpapan dan sekitarnya. HLSW memiliki peran sebagai pengatur tata air, pencegah erosi, dan menjaga kesuburan tanah berkat tutupan hutannya yang masih baik.
HLSW juga sebagai kawasan resapan air yang memiliki kemampuan tinggi untuk meresap air hujan hingga memastikan ketersediaan air tanah sebagai sumber air dan kelestarian fungsi mata air, danau, waduk, dan sungai. Air tersebut berasal dari waduk di kawasan HLSW yang telah ada sejak lebih dari 50 tahun. Waduk di sekitaran HLSW juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Air yang ada di waduk digunakan untuk proses pengolahan minyak oleh perusahaan minyak di Balikpapan, mulai dari Bataafsche Petroleum Maatschappii/BPM(1974), Shell (1969), dan pertama dari 1972 hingga sekarang.
Sementara itu, terdapat hal yang tidak disadari oleh masyarakat Kota Balikpapan, yaitu manfaat dari HLSW sebagai pengatur keseimbangan unsur-unsur kimia di atmosfer, penetralisir efek rumah kaca, perlindungan terhadap sinar ultraviolet, pengatur suhu dan kelembaban. Maka dari itu, pengelola tersebut mengupayakan pelestarian HLSW dan memberikan pendidikan kepada warga Kota Balikpapan terkait kebermanfaatannya dengan perjalanan ekowisata.
Pada perjalanan susur hutan, para wisatawan dapat memilih rute petualangan yang mendebarkan hingga rute pendek dengan suasana titian kayu. Agar tidak tersesat, para wisatawan akan dipandu oleh tim dari Yayasan Pro Natura sebagai pemandu. Hutan Lindung Sungai Wain memiliki perpaduan antara hutan primer dan sekunder. Hutan sekunder ditanam sebagai pengganti dari hutan yang telah mengalami kebakaran dengan luas 10.000 hektare.
Adapun jenis satwa yang ada di HLSW berjumlah 94 hewan menyusui, 251 burung yang termasuk 9 jenis burung enggang, 23 jenis reptil, 17 jenis amfibi, 17 jenis ikan, dan 126 jenis serangga.
Sedangkan tanaman yang ada di dalamnya meliputi 124 keluarga flora, 451 jenis pohon herba, pohon-pohon tinggi atau kanopi seperti Bangkirai, Ulin, Meranti, dan Gaharu.
Di dalam kerapatan hutan, tersembunyi berbagai jenis hewan langka seperti Macan Dahan, Orang Utan, Beruang Madu, Lutung Merah, Lutung Dahi Putih, Kukang Sunda, Owa Kalawat, Kera Ekor Panjang, Beruk, dan Bekantan yang merupakan hewan endemik Kalimantan.
Tidak hanya satwa-satwa langka, di dalam HLSW terdapat jenis tanaman langka seperti anggrek, kantong semar, jamur hitam, maupun jahe raksasa yang hanya ada di Kota Balikpapan, atau dikenal dengan Jahe Balikpapan.
Kekayaan-kekayaan aneka ragam hayati tersebut yang membuat banyak pihak sadar bahwa HLSW penting untuk dilestarikan. Di sisi lain, terdapat juga ancaman lainnya yang menghantui HLSW seperti ekspansi modal dan pembangunan.
Hal itu sudah terjadi di beberapa kawasan yang dekat dengan HLSW seperti misalnya munculnya industri dan pemukiman. Ancaman tersebut hanya berjarak sekitar 2-3 kilometer dari HLSW. Ancaman lainnya yaitu aktivitas tambang batubara yang menjadi masalah besar untuk kawasan hutan-hutan di Kaltim.
Ancaman-ancaman tersebut menjadikan pengelola untuk membuat strategi yang paten untuk dapat mengajak masyarakat Kota Balikpapan sama-sama melindungi kawasan HLSW. Upaya pengelolaan dan penyelamatan kawasan terus diupayakan melalui berbagai kebijaksanaan pengelola. Seperti mengarahkan tujuan HLSW sebagai penyangga kehidupan, pelestarian keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Cikal bakal HLSW sebagai Hutan Lindung telah ditetapkan sejak 1934 oleh Sultan Kutai melalui SK Pemerintah Kerajaan Kutai No. 48/23-ZB-1934. Selanjutnya SK Menteri Kehutanan No. 416/Kpts-II/1995, luas HLSW ditetapkan menjadi 9.782,80 hektare. Hingga kewenangan diberikan kepada daerah melalui desentralisasi, maka hak pengelolaan hutan lindung diserahkan kepada pemerintah daerah (Peraturan Pemerintah No. 25/2000). Peraturan tersebut sesuai dengan Peraturan Presiden No. 32/1990 dan No. 62/1998 tentang pengelolaan hutan. Peraturan tersebut diikuti dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah Kota Balikpapan No. 11 tahun 2004 mengenai pengelolaan HLSW diberikan kepada Badan Pengelola atau BP-HLSW. Peraturan itu sekaligus pengesahan forum informal pengelola HLSW yang telah terbentuk dan berjalan sejak 2001.
Pengelola hutan dipercaya mampu menjadi alternatif yang lebih baik bagi pelestarian dan konservasi hutan. Kebijaksanaan lokal yang dipelihara dari generasi ke generasi oleh penduduk asli menjadi bukti yang berperan dalam menjaga keberlanjutan hutan. Begitu juga dukungan dari beberapa pihak dalam bentuk forum yang peduli telah memberikan kontribusi berarti.
Latar belakang terbentuknya forum multi-pihak atau BP-HLSW ini didasari oleh bencana kebakaran lingkungan hutan yang melanda Provinsi Kaltim, termasuk HLSW pada awal 1998. Di bawah komando Gabriella Fredriksson, para peneliti bahu membahu bersama penduduk desa mencegah api yang meluas ke dalam hutan.
Aksi kolaborasi tersebut dipandang sebagai awal kolaborasi para pihak untuk melindungi HLSW. Hingga beberapa tahun kemudian, kampanye dari multi-pihak Natural Resources Management (NRM) mendapatkan bantuan dana dari USAID untuk dapat meningkatkan kepedulian masyarakat Kota Balikpapan terhadap aksi konservasi.
Pada 2001, wali kota Balikpapan mengundang sejumlah pemangku kepentingan untuk melakukan perjanjian bersama berupa deklarasi dukungan pengelolaan dan perlindungan HLSW, yang mengarah pada pembentukan BP-HLSW.
Hingga kini, sejumlah penelitian ilmiah telah dilakukan di HLSW dan menjadikan kawasan hutan tropis dunia itu sebagai potensi wisata sekaligus pendidikan. Banyak potensi-potensi baik terus dikembangkan oleh pengelola seperti dibangunnya kawasan pendidikan tentang beruang madu di dalam kebun raya sekitaran HLSW.
Beruang madu merupakan satwa yang diperhatikan secara khusus. Selain menjadi bagian dari endemik, beruang madu juga merupakan maskot dari Kota Balikpapan. Namun, pandemi menjadi masa yang sulit untuk setiap orang berinteraksi satu sama lain. Begitu juga untuk pengelola HLSW. Sangat tidak mudah untuk menerima wisatawan pada masa pandemi hingga vaksin telah diupayakan oleh pemerintah. Tidak jarang para pengelola menolak adanya perjalanan ekowisata di kawasan HLSW. Hingga saat ini, jika ada wisatawan yang ingin menyusuri area hutan maka dengan persyaratan yang ketat dengan menunjukkan surat antigen negatif.
Meski masih di era pandemi, para pengelola HLSW terus melakukan pengamatan kepada hutan di setiap harinya. Hal tersebut dilakukan untuk mengobservasi flora dan fauna yang ada di sekitar jalur ekowisata. Saat ini pula, pihak pengelola mengajukan HLSW agar menjadi bagian dari program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation atau REDD+. Hal tersebut merupakan mekanisme global dengan tujuan memperlambat perubahan iklim yang memberikan kompensasi kepada negara berkembang agar melindungi hutannya.
Berbagai upaya terus dilakukan untuk menjaga dan memperkenalkan kepada dunia bahwa ada kekayaan alam yang perlu dilindungi di area urban Kota Balikpapan. Meski pengelola harus bersiap untuk menghadapi tantangan lainnya seperti rencana pembangunan Ibu Kota Negara Baru oleh pemerintah pusat yang sedikit banyak melintas di area HLSW.
Sebagai upaya menarik perhatian warga sekitar untuk dapat mendukung dan terus menjaga kawasan HLSW, pengelola memiliki strategi dalam menanggulanginya. Ke depannya, pengelola berencana untuk membuka jalur ekowisata yang dapat ditempuh oleh wisatawan tanpa pemandu. Namun sebagai awalan, jalur tersebut hanya diperuntukan bagi fotografer.
Selain itu juga, pengelola akan membuat jalur bagi pengendara sepeda yang ingin menjelajah HLSW. Terdapat tiga jalur yang dibentuk bagi masyarakat yang ingin menjalani ekowisata pada bagian zona depan.
Selain itu, adanya kegiatan susur sungai wain dan menikmati hutan bakau di kanan kiri sungai sepanjang 400 m. Pada jalur pendek, wisatawan akan menempuh jarak 3 km sambil menikmati kantung semar dan aneka tumbuhan lainnya. Sedangkan pada jalur rute yang cukup panjang, wisatawan akan menempuh jarak 8 km dan melihat pohon-pohon besar termasuk rotan.
Bagi wisatawan yang ingin menikmati alam dan suara-suara cantik dari satwa yang ada di tengah hutan, pengelola menawarkan fasilitas menginap di sebuah pondok bernama Kamp Jamaluddin selama 2 hari 3 malam. Di sana, wisatawan akan ditemani oleh pemandu sebagai pawang binatang buas dan kebutuhan pangan. (*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram “Kaltimtoday.co”, caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Related Posts
- BMKG Minta Warga Kaltim Waspada, Akhir Tahun Bakal Menghadapi Cuaca Ekstrem
- Penuhi Kebutuhan Natal dan Tahun Baru 2023, Bank Indonesia Siapkan Uang Tunai Rp 2,85 Triliun di Kaltim
- Polling: Pemilu 2024, Apa Partai Politik Jagoanmu?
- Nomor Urut Partai Politik Peserta Pemilu 2024 dan Ketuanya di Kaltim
- Komunitas HR Sukses Gelar Nonton Bareng Final Piala Dunia 2022 Argentina vs Prancis