Opini

IKN 2028: Ujian Legitimasi dan Panggung Politik

Kaltim Today
25 September 2025 13:44
IKN 2028: Ujian Legitimasi dan Panggung Politik

Oleh: Eko Ernada, Ketua RCE East Kalimantan & Direktur Sejahtera Initiatives

Sebelum dunia tersihir oleh euforia pidato performatif Prabowo di PBB, sebuah langkah penting telah diambil: Presiden menandatangani Perpres Nomor 79 Tahun 2025, yang menetapkan Ibu Kota Nusantara (IKN) sebagai ibu kota politik Indonesia mulai 2028. Namun, perhatian publik justru tersedot ke panggung internasional, sementara isu IKN yang tak kalah pentingnya tenggelam di antara sorotan media.

Perpres ini bukan sekadar formalitas administratif. Menetapkan IKN sebagai ibu kota politik pada 2028 membawa makna strategis dan politis. Tahun itu bukan sembarang angka: satu tahun sebelum Pilpres 2029. Pemindahan ibu kota bukan hanya soal fisik—kantor pemerintahan, jalan, fasilitas publik—tetapi juga soal legitimasi politik. Keberhasilan IKN dapat menjadi “bonus elektoral” yang cerdik: bukti nyata bahwa pemerintah mampu menuntaskan proyek besar tanpa menunggu sekadar janji retoris.

Langkah ini juga merupakan kelanjutan dari pembangunan Presiden Joko Widodo. Infrastruktur yang ditinggalkan—jalan tol, jembatan, sarana publik—memberi pijakan awal. Magnet elektoral Jokowi, yang tercatat tinggi dalam survei Indikator terkait kepuasan publik terhadap kinerjanya, memberikan nilai tambah.

Prabowo tidak meniru Jokowi secara eksplisit; ia memilih jalur “kesinambungan,” menegaskan kapasitasnya sebagai pemimpin baru. Dengan kata lain, IKN menjadi proyek strategis yang menggabungkan simbolik dan prestasi: menyelesaikan pembangunan sekaligus menyiapkan panggung politik.

Namun, tantangan nyata tidak sedikit. Infrastruktur IKN harus rampung tepat waktu; birokrasi harus bergerak cepat dan sinkron; koordinasi antara kementerian, lembaga, dan otorita IKN tidak boleh tergelincir. Tanpa itu, kota megah ini bisa menjadi “kota hantu”—simbol ambisi yang gagal diimplementasikan.

Sejarah kota baru dunia memberi pelajaran. Brasília lahir sebagai simbol distribusi pembangunan; Naypyidaw menjadi kota hantu karena simbol tanpa substansi; Putrajaya berhasil karena perencanaan matang dan koordinasi birokrasi yang kuat. IKN harus belajar dari semua itu: simbol tanpa substansi nyata tidak cukup. Prestasi fisik, keberhasilan birokrasi, dan koordinasi yang efektif menjadi penentu apakah kota ini akan dikenang sebagai prestasi atau sekadar proyek megah yang dilupakan.

Sebagaimana diingatkan oleh Max Weber, kekuasaan baru hanya benar-benar berjalan jika diterima oleh masyarakat. Dalam konteks IKN, artinya bukan cukup membangun gedung megah dan infrastruktur canggih; proyek ini akan dinilai berhasil ketika publik melihatnya sebagai bukti kepemimpinan yang sah dan dapat dipercaya.

Walt Rostow dalam teori Stages of Economic Growth menekankan bahwa pembangunan ekonomi terjadi bertahap. Dalam konteks IKN, pembangunan infrastruktur dan pusat administrasi baru bisa dilihat sebagai take-off stage, di mana kota ini menjadi motor pertumbuhan ekonomi dan distribusi pembangunan secara merata.

Sementara itu, David Easton mengingatkan bahwa politik adalah sistem yang merespons masukan masyarakat. Pemindahan ibu kota adalah keluaran strategis dari sistem ini, tetapi efektivitasnya bergantung pada sejauh mana publik menilai dan memberi masukan terhadap kebijakan tersebut.

Perpres 79 Tahun 2025 menjadi tanda bahwa pemerintah melihat IKN bukan sekadar proyek fisik, tetapi juga instrumen politik dan legitimasi kepemimpinan. Tahun 2028 adalah target ambisius, tetapi strategis: satu tahun sebelum pemilu, kota ini harus mampu menunjukkan kemajuan yang dapat dilihat, dirasakan, dan disentuh publik. Jalan, gedung, dan fasilitas yang berfungsi menjadi bukti nyata. Tanpa itu, skeptisisme akan lebih mudah tumbuh daripada apresiasi.

IKN 2028 bukan sekadar ibu kota administratif. Ia adalah panggung politik, ujian birokrasi, dan laboratorium sosial sekaligus. Beban dan peluang bercampur, simbol dan substansi menari bersama, ambisi dan kapasitas diuji bersamaan. Jika semua unsur berjalan selaras, IKN bisa menjadi bukti legitimasi kepemimpinan dan modal politik yang solid. Jika gagal, kota ini akan menjadi simbol ambisi yang tenggelam di euforia pidato performatif dunia internasional.

Meski perhatian publik tersedot pada panggung politik nasional dan internasional, keberadaan IKN di Kaltim tetap menjadi kenyataan yang tak terelakkan. Warga lokal akan menjadi saksi bagaimana simbol dan substansi berpadu; bagaimana ambisi pemerintah diukur dari hasil nyata, bukan sekadar janji retoris.

Pada akhirnya, IKN adalah espresso: pahit jika gagal, pekat dan nikmat jika berhasil. Dan yang merasakan rasa itu bukan hanya elite, tetapi juga masyarakat yang hidup bersama kota baru ini.(*)


*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co

Simak berita dan artikel Kaltim Today lainnya di Google News, dan ikuti terus berita terhangat kami via Whatsapp 



Berita Lainnya