Advertorial
Makna Festival Cenil Kota Bangun III: Menjelajah Tradisi, Kearifan Lokal, dan Semangat Transmigrasi

Kaltimtoday.co, Tenggarong - Festival Cenil di Desa Kota Bangun III bukan sekadar perayaan biasa. Di balik hidangan kenyal dan berwarna-warni ini, terkandung makna mendalam tentang tradisi, kearifan lokal, dan perjuangan para transmigran.
Setiap tahunnya, menjelang Hari Ulang Tahun (HUT) desa, festival ini selalu menjadi agenda rutin. Beragam kreasi cenil dari bahan dasar singkong dipamerkan dan disajikan secara gratis kepada masyarakat.
Bagi warga Desa Kota Bangun III, cenil bukan sekadar makanan. Cenil adalah simbol kegigihan dan kreativitas para leluhur dalam masa transmigrasi. Saat itu, singkong menjadi satu-satunya tanaman yang mampu bertahan di tanah gersang.
“Kami sedang melestarikan sebuah budaya, kearifan lokal yang pernah ada,” kata Kepala Desa Kota Bangun III, Lilik Hendrawanto, Selasa (14/5/2024).
Di tengah keterbatasan, para transmigran berinovasi mengolah singkong menjadi berbagai hidangan, salah satunya cenil. Tradisi ini kemudian diwariskan turun-temurun, menjadi pengingat perjuangan dan kekompakan para pendahulu.
Festival Cenil tak hanya melestarikan tradisi, tetapi juga menjadi ajang kreativitas dan promosi potensi desa. Berbagai kreasi cenil yang unik dan menarik dipamerkan, menunjukkan kekayaan budaya dan kuliner Desa Kota Bangun III.
"Harapannya, festival ini bisa menjadi daya tarik wisata dan meningkatkan ekonomi desa," ujar Lilik.
Festival Cenil menjadi pengingat bagi generasi muda tentang pentingnya menjaga tradisi dan kearifan lokal. Di tengah gempuran modernisasi, nilai-nilai budaya leluhur harus tetap dilestarikan dan ditanamkan kepada generasi penerus.
Pada transmigrasi dulu, hanya tanaman singkong yang mampu bertahan di tanah gersang. Ketika pembukaan lahan baru, mereka hanya menanam singkong untuk bahan makanan sehari-hari, penganti beras.
Agar anak-anak tidak bosan memakan singkong tiap hari. Para orangtua pun berinisiatif mengolah umbi-umbian menjadi beraneka ragam makanan, salah satunya cenil.
“Supaya anak-anaknya tidak bosan makan singkong, maka orangtuanya mengolah menjadi berbagai macam bentuk dan warna (cenil),” tutupnya.
[RWT | ADV DISKOMINFO KUKAR]
Simak berita dan artikel Kaltim Today lainnya di Google News, dan ikuti terus berita terhangat kami via Whatsapp
Related Posts
- Mulai Diterapkan, Ini Skema WFA bagi PNS
- Pesan Akmal Malik untuk Kepala Daerah Baru: Tantangan Besar Menanti
- Danantara Kelola Aset Rp 14.715 Triliun, Pengamat: Wajib Transparan dan Diawasi Ketat
- Ketua DPRD Berau Singgung Soal Inovasi Pengelolaan Pasar Adji Dilayas, Imbau Jangan Memberatkan Warga
- Rudy Mas'ud dan Seno Aji Ikuti Gladi Bersih Pelantikan Kepala Daerah di Istana Presiden