Opini

Malnutrisi Reforma Agraria

Kaltim Today
21 Mei 2020 13:38
Malnutrisi Reforma Agraria

Oleh: Yusuf Setia Budi (Staff Departemen KPSDM KAMMI UNMUL 2020)

Reformasi Agraria adalah penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan aset dan disertai dengan penataan akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia.

Reforma agraria yang sejatinya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun hingga kini masih banyak menghadapi hambatan. Reforma Agraria merupakan salah satu Program Prioritas Nasional yang ditingkatkan Pemerintahan Jokowi sebagai upaya membangun Indonesia dari pinggir serta meningkatkan kualitas hidup.

Jika melihat aturan yang sebelumnya pada UU Pokok Agraria tahun 1960, terdapat tiga tujuan yang ingin dicapai: pertama, menata ulang struktur agraria yang timpang jadi berkeadilan. Kedua, menyelesaikan konflik agraria, dan ketiga menyejahterakan rakyat setelah reforma agraria dijalankan.

“Rakyat yang mana?”

Secara mendasar reforma agraria, memberikan program-program yang dapat menuntaskan masalah kemiskinan masyarakat desa, meningkatkan kesejahteraan dengan kemandirian pangan nasional, meningkatkan produktivitas tanah, memberikan pengakuan hak atas tanah yang dimiliki baik secara pribadi, negara, dan tanah milik umum yang pemanfaatannya untuk memenuhi kepentingan masyarakat.

 

View this post on Instagram

 

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan Presiden Joko Widodo telah mengambil keputusan untuk melarang pelaksanaan salat Idulfitri 1441 Hijriah secara berjamaah di masjid atau lapangan. Selain itu Jokowi juga memutuskan tetap melarang mudik saat lebaran demi memutus penyebaran virus corona. Keputusan itu diambil dalam rapat terbatas kabinet yang digelar Selasa (19/5). . #samarinda #kaltim #viruscorona #covid19

A post shared by Kaltim Today (@kaltimtoday.co) on

Reforma agraria bentuknya ada tiga, yaitu legalisasi aset, redistribusi tanah dan perhutanan sosial. Dalam bentuknya reforma agraria yang ditargetkan akan dilaksanakan seluas 9 juta hektar sebagaimana Lampiran Peraturan Presiden Nomor 2/2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019, dalam skemanya legalisasi aset 4,5 juta hektar yang meliputi legalisasi terhadap tanah-tanah transmigrasi yang belum bersertipikat yaitu seluas 600.000 hektar dan legalisasi terhadap tanah-tanah yang sudah berada dalam penguasaan masyarakat seluas 3,9 juta hektar.

Kendati, reforma agraria bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, pada kenyataannya masih banyak hambatan. Salah satunya kebijakan kawasan hutan yang justru kontraproduktif dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan produktivitas lahan. Hal tersebut, diutarakan pihak akademis saat media briefing terkait penyelenggaraan Simposium Nasional Reforma Agraria Kehutanan, di Jakarta, pada Selasa (14 Januari 2020), di Jakarta.

Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr. Sudarsono Soedomo, mengatakan, kebijakan kawasan hutan masih bertahan dengan wajah lama dengan menguasai dua pertiga daratan sebagai kawasan hutan dan hanya mengalokasikan sepertiganya sebagai areal penggunaan lain.

Melihat kenyataan itu, Sudarsono menilai klaim kawasan hutan merupakan problem utama dari persoalan tanah di Indonesia. Jika kebijakan itu terus dipertahankan, Indonesia tidak mandiri secara pangan.

“Dengan Penduduk 260 juta dan hanya mengandalkan sepertiga untuk memenuhi kebutuhan pangan sangat berbahaya. Indonesia tidak akan pernah mencapai swasembada pangan terus tergantung pada impor pangan,” kata Sudarsono.

Tidak hanya itu, Sudarsono menambahkan, penguasaan lahan kehutanan secara berlebihan tidak berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Terbukti, label hutan sejahterakan masyarakat selama ini hanya menjadi slogan. Sebagian besar desa yang berasa di kawasan hutan tetap miskin.

Pemerintah tak bisa memaksakan diri untuk memperkuat ketahanan pangan dengan cara yang sama dengan pemerintah di rezim Orba. Apabila ingin memulai pembukaan lahan, seharusnya pemerintah melakukan kajian terlebih dulu seperti memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungannya. Hal itu dilakukan supaya pembukaan lahan baru tidak sia-sia apabila nyatanya lokasi tersebut tak cocok. Jangan sampai (pembukaan lahan baru) 300 ribu hektar ini cuma akal-akalan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan justru menjadi kesempatan investasi asing yang memiliki hak pendapatan.

Hal-hal yang perlu dikaji dan diperhatikan adalah dampak ekologis (lingkungan dan sosial). Masyarakan perlu diberi pembekalan untuk menghadapi situasi baru, banyak rakyat yang kurang sejahtra asbab hanya wacana yang dilayangkan pemerintah hanya sebagai pemanis kampanye.(*)

*) Opini penulis ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co



Berita Lainnya