Opini

Meretas Sekat Komunikasi Pembangunan SDM di Kalimantan Timur  

Kaltim Today
05 Mei 2025 20:19
Meretas Sekat Komunikasi Pembangunan SDM di Kalimantan Timur   

Oleh: Andi Muhammad Abdi (Dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam FUAD UINSI Samarinda)

Awal Mei selalu menghadirkan dua momen krusial bagi bangsa Indonesia, yaitu Hari Buruh Internasional pada 1 Mei, dan Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei. Keduanya, meskipun tampak tidak terkait langsung, namun secara esensi berbicara tentang hal yang sama: manusia, kesejahteraan, dan masa depan. 

Idealnya, relasi antara dunia pendidikan dan dunia kerja bersimbiosis dalam satu kerangka besar bernama pembangunan manusia Indonesia, terlebih pada daerah-daerah strategis seperti di Kalimantan Timur. Namun pada realitanya, keduanya seperti berjalan sendiri-sendiri, tanpa ruang komunikasi efektif untuk saling bertaut dan memperkuat. Padahal, keterhubungan dua sektor ini yang justru menjadi tantangan pembangunan manusia di Indonesia.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Timur 2024 menunjukkan, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja di provinsi ini mencapai 67,07 persen. Sayangnya, lebih dari 42,32 persen di antaranya bekerja di sektor informal, yang berarti mereka belum memiliki jaminan sosial, standar upah, perlindungan hukum, serta akses pelatihan dan pengembangan keterampilan berkelanjutan.

Hal ini diperparah dengan dunia pendidikan yang belum sepenuhnya responsif dan adaptif terhadap dinamika pasar kerja lokal. Dalam perspektif ilmu komunikasi, ini menunjukkan adanya sekat dialog antara ruang pendidikan dan dunia kerja.

Komunikasi pembangunan — yang seharusnya menjadi medium untuk menyatukan berbagai pemangku kepentingan — belum berjalan optimal. Padahal Servaes (2008) menegaskan bahwa komunikasi pembangunan bukan hanya tentang penyebaran informasi, melainkan membangun proses dialog partisipatif, di mana masyarakat turut berperan menentukan arah kebijakan pembangunan.

Persoalan yang kita hadapi saat ini pun sebenarnya bukan hanya soal jumlah tenaga kerja, tetapi juga kualitas dan keterampilannya. Terdapat kesenjangan kompetensi antara lulusan pendidikan dan kebutuhan dunia usaha, yang kemudian memperbesar angka pengangguran terbuka maupun pengangguran di usia produktif. Tentu saja ada upaya untuk mengatasinya, namun kembali lagi, keduanya berjalan terpisah. Diskusi soal ketenagakerjaan kerap berlangsung di ruang aksi buruh atau forum terbatas dinas ketenagakerjaan, sementara isu pendidikan tetap berada di lingkup seminar akademik dan internal kampus. Parsialitas keduanya adalah konsekuensi dari apa yang disebut oleh Rice & Atkin (2020) sebagai kegagalan membangun ruang komunikasi publik yang inklusif, sehingga timbullah sekat-sekat.

Dalam komunikasi pembangunan, sekat tersebut dikenal sebagai penghalang struktural (structural barrier), yaitu ketika informasi, gagasan, dan aspirasi hanya bergerak di kalangan tertentu, tanpa benar-benar mengalir ke seluruh stakeholder pembangunan. Akibatnya, kebijakan pendidikan tidak berkorelasi positif dengan kebutuhan dunia kerja, dan pelatihan kerja tidak sinkron dengan potensi ekonomi lokal.

Maka dari itu, yang perlu dilakukan pertama kali adalah meretas sekat komunikasi antara pendidikan dan ketenagakerjaan, sehingga menjadi narasi pembangunan manusia yang utuh dan berkelindan. Ada banyak gagasan yang bisa diterapkan.

Yang pertama adalah menyatukan stakeholder terkait kedalam sebuah wadah yang mampu memberikan setiap pemangku kepentingan saluran aspirasi. Selama ini, jalur komunikasi antara institusi pendidikan, dunia kerja, pemerintah daerah, dan komunitas buruh masih bersifat sektoral. Sementara tantangan SDM di Kalimantan Timur justru bersifat lintas sektor dan dinamis.

Forum Komunikasi SDM Daerah perlu dibentuk sebagai ruang deliberatif dan dialog rutin. Forum ini menjadi wadah bagi para pemangku kepentingan untuk berbagi data, pengalaman, kebutuhan, dan menyusun peta jalan SDM Kaltim secara kolektif. Dalam pendekatan participatory communication (Servaes & Malikhao, 2005), forum seperti ini dapat mendorong komunikasi dialogis yang setara, di mana suara buruh, pelaku usaha, kampus, dan pemerintah sama-sama didengar. Tidak hanya untuk menyusun program pelatihan atau kurikulum, tetapi juga menyepakati indikator keberhasilan bersama dalam pembangunan manusia.

Yang kedua, perlu adanya kurikulum adaptif yang berbasis kebutuhan lokal. Salah satu penyebab ketimpangan SDM Kaltim adalah ketidaksesuaian antara lulusan pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja. Karena itu, institusi pendidikan — mulai SMK, politeknik, hingga perguruan tinggi — perlu merancang kurikulum berbasis kebutuhan pasar kerja lokal, dengan sektor seperti pertanian modern, energi terbarukan, pariwisata berbasis budaya, maupun ekonomi kreatif sebagai fokusnya.

Kemudian proses perencanaan dan penyusunan kurikulum tersebut perlu melibatkan pelaku industri, asosiasi profesi, dan komunitas pekerja agar relevan. Dalam konsep strategic communication planning (Rice & Atkin, 2020), proses ini bukan hanya soal penyesuaian isi, tetapi memastikan saluran komunikasi antar aktor berjalan efektif, mulai dari diskusi kelompok terfokus hingga uji publik draft kurikulum.

Yang ketiga adalah mengakomodasi sektor informal dalam sebuah kanal, yang kedepannya mampu meningkatkan kompetensi mereka. Karena 42,32% pekerja Kaltim berada di sektor informal, bekerja tanpa kontrak tetap, jaminan sosial, maupun akses pelatihan, maka Pemerintah perlu membangun kanal komunikasi khusus bagi mereka, baik berbasis digital (aplikasi, media sosial), maupun konvensional (radio komunitas, posyandu ketenagakerjaan). Kanal ini juga berfungsi sebagai media dialog antar pekerja informal dan pemerintah, sebagai bentuk development support communication (Quebral, 2011) yang bisa dioptimalkan untuk menyebarkan informasi tentang peluang pelatihan, legalitas usaha mikro, hingga edukasi tentang hak-hak pekerja. 

Dan yang keempat adalah membuat laboratorium data SDM yang terintegrasi. Pembangunan SDM Kaltim selama ini kerap terkendala oleh data yang tidak terintegrasi antar sektor. Sudah saatnya kampus-kampus di Kalimantan Timur, terutama yang memiliki program studi komunikasi, ekonomi, dan sosiologi, berkolaborasi untuk membentuk laboratorium data sosial-ekonomi ketenagakerjaan.

Laboratorium ini memiliki kedudukan strategis dalam berbagai bentuk, mulai dari memetakan komposisi tenaga kerja, sektor strategis, kebutuhan kompetensi, hingga proyeksi tenaga kerja masa depan. Data ini kemudian dapat digunakan dalam pendekatan evidence-based policy communication (Nutbeam, 2000) untuk menjadi rujukan valid bagi pemerintah daerah dalam merancang kebijakan SDM, pelatihan, dan program pendidikan berbasis kebutuhan nyata di lapangan.

Sangat penting untuk membangun narasi kolektif SDM Kaltim bahwa buruh bukan sekadar tenaga kasar, dan pendidikan bukan hanya soal ijazah, tetapi soal membangun kualitas manusia, kesejahteraan dan masa depannya. Tanpa narasi bersama, pembangunan SDM hanya akan jadi proyek sektoral yang terfragmentasi dan tumpang tindih.

Momentum awal Mei ini semestinya tidak hanya bernostalgia dan refleksi sejarah pergerakan, tapi juga proyeksi membangun ekosistem komunikasi antar pemangku kepentingan SDM di Kalimantan Timur. Karena sesungguhnya, pembangunan daerah bukan hanya soal proyek fisik — sekali lagi — melainkan tentang manusia dan martabatnya.(*)

*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co

Simak berita dan artikel Kaltim Today lainnya di Google News, dan ikuti terus berita terhangat kami via Whatsapp 



Berita Lainnya