Samarinda

Muhammad Sajie, Imigran Suriah Bertahan Hidup dengan Jualan Shawarma di Samarinda

Kaltim Today
08 September 2019 19:20
Muhammad Sajie, Imigran Suriah Bertahan Hidup dengan Jualan Shawarma di Samarinda

Kaltimtoday.co, Samarinda – Imigran Suriah ini berjualan setiap malam, dari satu pasar malam ke pasar malam lainnya di Samarinda. Jika umumnya aktivitas pasar malam mulai ramai selepas magrib, petak si imigran sudah diantre pelanggan sejak sore. Mereka mengantre untuk menikmati shawarma—kebanyakan dari pelanggan itu masih sering menganggapnya sebagai kebab.

Entah karena aneh melihat seorang arab berjualan di pasar malam, beberapa pelanggannya kemudian mulai memotret dan mengunggah foto itu ke media sosial. Baginya tidak masalah karena toh jualannya jadi tambah terkenal. Meski dia sendiri sebenarnya tidak aktif memakai media sosial.

Shawarma merupakan makanan asli Suriah, negara tempatnya berasal. Pada 2006 ketika dia telah jadi insinyur di Universitas Aleppo dan masa wajib militer juga telah diselesaikan, dia keluar dari Suriah. Rasa lega membawanya melanglang buana pergi ke negara-negara kawasan Timur Tengah. Mulai dari Lebanon, Jordania, Mesir sampai Turki.

Di negara yang disebut terakhir itulah dia pertama kali mencoba membuat bisnis makanan shawarma. Membuka restoran shawarma baru di Turki butuh perjuangan lebih keras, karena ada banyak sekali pesaing. Hingga akhirnya restoran itu tidak terlalu sukses dan ia terpaksa menutupnya.

Pengembaraannya berlanjut hingga 2011 dia masuk ke Indonesia dan pada saat yang sama percik konflik telah muncul di Suriah akibat dari gesekan antara pemerintah dengan sipil yang memprotes Presiden Bashar al-Assad untuk segera turun dari jabatan presiden. Awal yang memulai perang berdarah di tanah Suriah.

***

SAJIE dalam bahasa Arab berarti penyair. Nama Sajie juga digunakan untuk nama keluarga. Sangat mungkin seseorang dengan nama Sajie ketika tumbuh dewasa bekerja bukan sebagai penyair. Menjadikan Sajie sekadar melekat sebagai nama keluarga yang turun-temurun disematkan kepada generasi berikutnya.

Begitulah yang dipikirkan Muhammad. Ia percaya, meski menyandang nama Sajie, setiap garis keturunan memiliki kewenangan untuk memilih pekerjaannya masing-masing. Seperti dia yang memutuskan menjadi insinyur, bekerja sebagai kontraktor, dan mendirikan pabrik alumunium di Aleppo. Dia juga besar berkat ayahnya yang merupakan seorang pedagang kain.

Semua bisnis jual beli itu menghidupi keluarga Sajie. Setidaknya begitu keadaannya, sebelum kota tempat mereka tinggal, Aleppo berubah menjadi kawasan pertempuran. “Sudah enggak ada jual beli, enggak ada transaksi, enggak ada duit lagi,” kata Sajie.

Pada 2012 pertempuran mulai memasuki kota Aleppo. Kelompok pemberontak bersenjata berdiri menentang kekuaan militer yang dikuasai Presiden Bashar Al Assad. Perang saudara pun pecah di tingkat yang terparah.

Bom misil berjatuhan di kawasan penduduk, korban meninggal di bawah reruntuhan gedung maupun tewas ditembus timah panas. Pertempuran Aleppo berlangsung selama kurun empat tahun (2012-2016). Namun konflik masih terus berkecamuk hingga hari ini di kota-kota lain di Suriah.

Sejak tiba di Indonesia situasi kerap memang menjadi pelik, kalau bukan teramat, bagi Muhammad. Selama periode waktu 2011-2013, dalam masa konflik di Aleppo, setidaknya tujuh kali Muhammad bolak-balik dari Indonesia ke Suriah. Di Aleppo ia bisa bertahan tiga sampai empat bulan sebelum akhirnya keluar lagi. Setelah 2013, ia putuskan untuk tinggal dan menetap saja di Indonesia.

"Kondisi di sana enggak aman. Orang tinggal di Suriah tidak bisa kita tentukan aman atau tidak karena kapan jatuh bom pesawat, kapan dihajar tempatnya, enggak ada yang tahu," ujarnya.

Dari Pertempuran Aleppo ia dan tiga saudaranya pergi meninggalkan Suriah. Negara yang dituju pun berbeda-beda, ada yang tinggal di Swedia, Turki, dan Lebanon. Sementara orang kedua orang tuanya tak berhasil keluar dari Suriah. Tak ada sisa dokumen yang bisa menjamin kedua orang tua Muhammad bisa keluar dan mendapat izin dari negara setempat.  Hingga kini kedua orang tuanya masih tinggal di Suriah, tepatnya di kota Idlib.

Dari Pertempuran Aleppo tiga adiknya meninggal sebagai korban perang. Masing-masing pada 2012, 2013, dan 2015. Banyak versi mengenai perkiraan korban yang telah meninggal dari konflik Suriah ini. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan korban meninggal mencapai 400 ribu, lebih lima juta orang memutuskan eksodus, dan sedikitnya 12 juta jiwa mengungsi akibat konflik.

***

TIDAK lama setelah dia tiba di Indonesia, dia memutuskan menikahi perempuan bernama Andi Suriani. Perempuan asal Sulawesi Selatan itu menerimanya menjadi suami di pengujung 2011. Semenjak itu Suriani menjadi temannya berjuang untuk kisah apa pun yang terjadi dalam hidup mereka.

Suriani membantunya untuk beradaptasi selama masa awal tinggal di Indonesia. Untungnya Suriani juga dibekali kemampuan fasih berbahasa arab karena sebelumnya pernah tinggal di arab. Hanya butuh tiga bulan bagi dia mempelajari bahasa Indonesia dan mulai bisa bercakap untuk bahasa sehari-hari.

Dia merasa bahasa Indonesia tidak begitu sulit untuk dipelajari orang asing: cukup catat kosakata yang baru, hafalkan banyak nama benda, susun, gabung, dan Anda bisa bahasa Indonesia.

Pekerjaan pertama yang dia lakukan di Indonesia adalah mengajar. Dia menjadi guru di Pesantren Darul Istiqamah yang letaknya di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Di sana selain mengajar mengaji dan bahasa arab, dia juga mulai menghafal alquran. Juga cuma butuh tiga bulan baginya menghafal 30 juz.

Menurutnya asalkan ada orang arab yang pernah sekolah tinggi, setidaknya orang itu pasti bisa hafal paling sedikit 5 juz-10 juz. Bahasa yang sama membuat mereka orang arab bisa menghafal lebih cepat dibandingkan mereka yang berbeda secara bahasa.

Tidak lama setelah itu, dia pergi dengan istrinya meninggalkan Maros. Dia sempat tiga bulan di Jakarta, tapi petualangannya lebih lama di Kalimantan. Pernah menetap di Balikpapan dan sekarang di Samarinda.

Meski sudah tidak berada di lingkungan pesantren, dia tetap mengajar dengan membuka kegiatan itu di rumahnya. Beberapa kali juga pengurus masjid yang mengenal dia dan mengetahui negeri asalnya, Suriah, meminta dia untuk berceramah.

Sebenarnya dia sendiri masih agak kaku kalau berceramah karena menurutnya bahasa yang digunakan saat ceramah berbeda dengan bahasa sehari-hari. Tapi toh, dia memberanikan diri untuk mencoba. Pada 2014, dia bahkan diundang untuk menjadi penceramah di Masjid Baitul Muttaqin Islamic Centre saat momen Lebaran Idulfitri.

Namun berceramah bukan hal yang ingin dia seriusi betul, begitu juga dengan mengajar. Penghasilannya sering kali pas-pasan. Dia mulai berpikir tentang bisnis yang mungkin bisa dia geluti. Namun itu butuh modal sebesar 12 juta. Mana punya dia uang segitu. Hasil dari mengajar hanya cukup untuk makan sehari-hari, bahkan kadang dia harus meminjam uang kepada beberapa kerabatnya. Tidak pernah ada uang yang bisa ditabung.

***

SEMENJAK Kota Aleppo lumpuh karena perang saudara tidak ada lagi pemasukan yang masuk ke kantong Muhammad dari bisnisnya di Suriah. Itu membuatnya harus memutar otak untuk menghidupi keluarga kecilnya yang saat itu sudah dikaruniai dua anak—sekarang anak Muhammad berjumlah tiga, yang paling kecil usianya baru 17 bulan, anak kedua 4 tahun, dan sulung berusia 6 tahun.

“Ekonomi paksa saya buat memulai usaha,” katanya.

Setelah berpikir sekian lama, Muhammad menyadari satu hal bahwa ia memiliki ketertarikan khusus dengan sesuatu yang berhubungan dengan ayam. Ia ingat dulu waktu tinggal di Lebanon pernah menjual ayam hidup. Di Lebanon, katanya, orang-orang memiliki budayanya sendiri saat membeli ayam.

Mereka datang membeli ayam dengan menonton aksi tukang ayam mulai dari menjagal ayam hingga mencabut bulu. Tujuannya adalah untuk memastikan proses ayam sebelum akhirnya disantap dagingnya, sudah dilakukan dengan benar.

Ia lantas kembali teringat dengan shawarma, bisnis restorannya yang pernah tutup di Turki. Dari situ ia kembali mencoba mengingat apa saja bumbu yang dibutuhkan untuk membuat shawarma. Ia mencontoh bahan bumbu yang sama persis waktu dulu jualan di Turki. Untuk menemukan bahan rempah-rempah yang cocok, Muhammad harus membelinya dari toko-toko arab di Jakarta.

“Waktu itu saya sudah belajar dan memang saya hobi campur bumbu-bumbu untuk ayam. Tapi, enggak pernah saya pikir bahwa saya mau kerja ini,” ujarnya.

Percobaan pertamanya dimakan Suriani, istrinya. Suriani mengatakan shawarma buatan Muhammad enak. Barangkali sebabnya karena Suriani memang pernah tinggal di arab sehingga dia bisa mengerti bagaimana lidah orang arab mencecap. Namun sebagai orang Indonesia, Suriani juga bisa mengatakan makanan itu terlalu kecut dan asin.

“Lidah orang arab itu lebih cocok kecut sama pahit. Kalau orang Indonesia pedas sama manis,” katanya.

Butuh percobaan satu bulan lagi untuk memastikan bahwa shawarma buatan Muhammad bisa dinikmati oleh lidah orang Indonesia. Ia mendengar komentar-komentar bagus dari para muridnya yang mencicipi. Seperti “makanan ini mewah sekali dan makanan ini enak”. Kendala tidak punya modal pun disiasatinya dengan meminjam modal kepada rekannya. Itulah 12 juta pertama yang dia berhasil kembalikan dan menjadi awal mula bisnis Shawarma Suriah.

***

WAKTU pertama dia memperkenalkan shawarma di Balikpapan pada 2016 respons pelanggan sama bagusnya ketika dia mulai terkenal di Samarinda. Banyak orang datang, mengantre, dan penasaran dengan shawarma.

Namun entah karena hasad atau apa, dia juga tidak mengerti, harga sewa awal tempat rombongnya jualan dinaikkan oleh si pemilik sewa. Padahal sebelumnya dia dan si pemilik sewa sudah sepakat mau ramai atau sepi harga sewa tetap tidak akan berubah. Karena si pemilik sewa tetap memaksa, dia akhirnya pindah.

Setelah pindah ke tempat baru, kejadian yang sama berulang lagi. Si pemilik sewa meminta kenaikan harga sewa. Setidak-tidaknya dalam satu bulan itu rombongnya berpindah di tiga tempat berbeda. Saat berhasil menetap, pelanggan yang datang sudah mulai naik- turun.

Dia sempat begitu yakin dan membuka empat cabang sekaligus di Balikpapan. Karena memperkerjakan banyak karyawan, hasil pekerjaannya pun berbeda dibanding saat dia yang menangani langsung. Satu ketika dia menerima telepon pelanggan yang menyampaikan komplain karena rasa shawarmanya berbeda dibanding yang biasa. Kebetulan yang membuat memang bukan dia, melainkan karyawannya.

Perkara itu membuatnya berpikir ulang. Mungkin dia membuka cabang terlalu cepat, akhirnya dia memutuskan untuk menutup cabang-cabang itu. Sehinga tersisa satu Shawarma Suriah yang dia tangani sendiri.

Setiap hari rutinitasnya selalu dimulai sehabis subuh dengan dia mengajar muridnya mengaji di rumah. Selesai itu dia pergi ke pasar, membikin roti, mengolah ayam, membumbui, pergi jualan lalu tutup pukul 10 malam. Sampai pukul 12 malam dia mempersiapkan kembali dagangannya untuk besok.

Besok paginya dia bangun lagi subuh, mengajar, memulai lagi rutinitas jualan hingga tidur pukul 12 malam. Begitu terus setiap hari. Sampai tubuhnya ambruk sendiri. Pada 2017 dia masuk rumah sakit. Dokter memvonis dia mengidap penyakit jantung koroner. Dengan penyempitan pembuluh koroner hampir 70 persen.

***

UMUR Muhammad baru 34 tahun. Ia harus menerima kenyataan tersebut bahwa di usianya yang tergolong muda, ia telah mengidap penyakit jantung. Keluarnya dari rumah sakit, Muhammad berhenti bekerja. Shawarma Suriah resmi tutup bersamaan dengan ia yang harus sepenuhnya istirahat.

Momen itu kembali membuatnya memutar otak. Ia bagaimana pun tetap masih harus menghidupi keluarganya. Rumah yang ia sewa di Balikpapan menjadi lebih mahal karena ia tidak lagi bekerja. Langkah awal untuk menanganinya ia membawa keluarga mungilnya pindah ke kontrakan yang lebih murah.

“Saya berpikir bisnis lain, saya mengerti kain karena bapak saya jualan kain,” katanya.

Muhammad lantas mengambil pakaian-pakaian gamis di toko di  Jakarta dan menjualnya lagi di Pasar Pagi, Samarinda. Dengan begitu ia pun berpindah domisili ke Samarinda. Dengan bekerja sebagai penjaga di toko pakaiannya sendiri, Muhammad bisa beristirahat sekaligus tetap bekerja untuk keluarganya. Saat toko pakaiannya pelan-pelan mulai memberi keuntungan, berangsur-angsur kesehatan Muhammad pun membaik.

“Minum obat dan ada doa dari orang tua juga,” ujarnya.

Di dalam pikirannya Muhammad masih begitu penasaran dengan bisnis shawarma yang ia tutup di Balikpapan. Ia yakin bahwa shawarma sebenarnya bisa berkembang dan untuk itu ia harus mencoba lagi. Akhirnya Agustus 2018 Shawarma Suriah kembali dihidupkan. Dengan tetap membuka toko pakaian di lantai 2, Muhammad berjualan shawarma di lantai 3.

Dari bangunan di Pasar Pagi hingga ia turun berjualan shawarma kembali ke jalan, dari satu pasar malam ke pasar malam lainnya. Dari Senin di Jalan Siradj Salman, Selasa di Jalan Banggeris, Rabu di Jalan Revolusi, Kamis di Jalan Adam Malik, Sabtu di depan DPRD, dan Minggu pagi di Sempaja. Kebangkitannya telah dimulai.

***

DIA sering membayangkan cerita Harland Sanders bisa terjadi juga pada dirinya. Sanders yang di usia tua berhasil mewaralabakan ayam goreng buatannya telah menginsparisinya jauh ke dalam. Dia merawat mimpi itu dengan caranya yang sederhana, misalnya dengan membuat logo seorang pria berjanggut dengan tawa, di bawahnya ada tulisan “Shawarma, Enak dan Bergizi”.

Tawa didesain itu dia buat kurang lebih mirip dengan tawa Harland Sanders di setiap gerai ayamnya. Dia ingin agar bisnisnya ini tidak sekadar viral lalu sudah, tetapi dia punya visi besar untuk membuat shawarma bisa tersebar ke seluruh negeri.

Saat ini dia bersyukur, mau banyak atau sedikit hasilnya, dia tetap bersyukur. Sebab lawan syukur cuma satu yaitu kufur dan dia tidak mau terperangkap di dalamnya. Apa yang telah terjadi dan dia lalui, hingga dia bisa sampai di hari ini, Muhammad cuma ingin bersyukur.

[WWL | TOS]


Related Posts


Berita Lainnya