Opini

Negara Agraris Impor Beras “Tipis-Tipis”

Kaltim Today
19 Maret 2021 12:15
Negara Agraris Impor Beras “Tipis-Tipis”

Oleh: Araihan Hidayad (Mahasiswa Fakultas Pertanian, Universitas Mulawarman)

Serial Netflix NARCOS, mengingatkan saya tentang kebijakan yang dicanangkan oleh pemerintah akhir-akhir ini. Bukan soal komoditi apa yang diperjualbelikan namun, siapa pemain yang ada di dalamnya. Dalam wawancara yang dilakukan detik.com di Gedung Bulog, Jakarta (21/5/2019), Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso (Buwas) mengatakan, dominasi kelompok pemain “kartel” pada produk-produk pangan sangat besar.

Karena 94% pasar bebas di masalah pangan dikuasai kartel-kartel, Bulog negara hanya menguasai 6%” ungkap Buwas. 

Indonesia merupakan negeri agraris, ketersediaan sumber daya alam dan banyaknya jumlah pekerja di sektor pertanian merupakan alasan utama mengapa disebut sebagai negeri agraris. Pemerintah sudah seharusnya menjadi pemain utama dalam pemberdayaan negeri agrarisnya, baik dalam perencanaan, pengelolaan, dan pengawasan di sektor pertanian. Bergelut dalam konflik kepentingan sudah seharusnya dihilangkan, membabat kartel egosentristis, dan mengedepankan kesejahteraaan masyarakat indonesia adalah hal utama.

Upaya Pemberdayaan Negeri Agraris

Permasalahan supply and demand dalam pengadaan beras impor adalah alasan penting yang harus dipertimbangkan. Apabila produksi beras dalam negeri tidak memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri, maka impor adalah jalan pintas yang bisa diambil. Tetapi, apakah hanya ini jalan satu-satunya yang digunakan pemerintah untuk menjaga stabilitas ketahanan pangan nasional. Sebut saja beberapa upaya yang pernah dilakukan pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini mulai dari:

  • Ketapang Food Estate

Dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI), Ketapang Food Estate bertujuan untuk meningkatkan produksi beras dengan target 5 ton/Ha. Namun, dalam tahun pertamanya produksi beras hanya menghasilkan 2 ton/Ha. Progres dalam proyek ini terhambat dikarenakan warga lokal tidak banyak dilibatkan dalam proyek ini (Political Economy of Rice Policy in Indonesia: Discussion Paper No. 6 A Perspective on the ASEAN Economic Community).

  1. Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE)

Program yang diluncurkan pada 12 Februari 2010 tersebut sebagai tempat produksi pangan yang mengintegrasikan peternakan, unggas, perusahaan susu, dan perikanan. Sebanyak tiga puluh enam investor dari beberbagai industri terlibat proyek yang mencakup 1,2 juta Ha. Program ini menimbulkan sengketa tanah dengan masyarakat adat, populasi, dan sengketa, transparansi kontrak yang menyebabkan proyek ini tidak berjalan baik. 

2. Penyaluran Beras Bulog 

Pemerintah melalui dinas sosial memberikan bantuan beras keluarga sejahtera yang bekerja sama dengan Perum Bulog. Namun, semenjak pemerintah mengganti bantuan menjadi BLT (bantuan langsung tunai), hilirisasi produk bulog tidak berjalan baik dan mengakibatkan bulog masih memiliki stok beras melimpah di gudang-gudang perusahaan mereka.

Penyelesaian permasalahan untuk mendukung peningkatan produksi beras sudah seharusnya menjadi prioritas bagi pemerintah, optimalisasi sumber daya dalam negeri merupakan investasi yang sangat baik menuju visi yang disusunnya sendiri

“Menciptakan masyarakat maju, mandiri, dan modern” tercantum pada visi indonesia emas 2045. Ketimbang mengedepankan upaya impor terus-menerus. Kebijakan impor akan menguntungkan sebagian pihak dalam spekulasi perdangan mereka. Namun, jutaan petani jelas merasakan harga jual anjlok dan mengalami kerugian. Jika denyut ekonomi desa berhenti, maka dampak yang ditimbulkan adalah kemiskinan yang semakin besar jumlahnya. Pada April hingga Mei, banyak petani di Indonesia yang akan melakukan panen raya. Hal ini yang seharusnya dipertimbangkan oleh pemerintah untuk menjamin stabilitas ketahanan pangan dalam negeri.

Permasalahan pengelolaan produksi, sinergi pengelolaan antar kementrian dan lembaga guna mengurangi praktik kartel di pasaran, hingga industri hilir penyaluran beras di Indonesia perlu di benahi. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi negara sebaiknya mengambil langkah-langkah strategis untuk mengatasi permasalahan ini.

Impor beras sebesar 1-1,5 juta ton akan menghancurkan pasar petani lokal yang merupakan pekerjaan mayoritas di negeri agraris karena ulah spekulan perdagangan. Permasalan yang kemudian timbul adalah kemudahan mengimpor kebutuhan nasional, semakin terbuka luas peluang kartel-kartel untuk bermain dalam bisnis pengadaan impor beras, dan pada akhirnya akan mengesampingkan pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.(*)

*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co



Berita Lainnya