Opini

Paradoks Meritokrasi dan Politik Kekerabatan dalam Komunikasi Gubernur Kaltim

Kaltim Today
04 Desember 2025 07:31
Paradoks Meritokrasi dan Politik Kekerabatan dalam Komunikasi Gubernur Kaltim
Penulis, Andi Muhammad Abdi, Dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam UINSI Samarinda.

Oleh: Andi Muhammad Abdi, Dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam UINSI Samarinda

PERNYATAAN Gubernur Kalimantan Timur yang menegaskan bahwa tidak ada praktik jual beli jabatan dalam rotasi eselon II beberapa waktu lalu, merupakan tindakan komunikasi yang luhur dan patut diapresiasi. Komunikasi Gubernur tersebut dapat dimaknai bahwa pemerintahannya tegak lurus pada prinsip integritas, transparansi, dan meritokrasi. Di tengah isu birokrasi yang kerap transaksional, pernyataan tersebut membangun posisi moral seorang pemimpin yang hendak membersihkan praktik buruk di tubuh pemerintah daerah.

Namun, pernyataan tersebut kemudian menjadi sorotan lebih luas ketika publik membandingkannya dengan dinamika politik di luar birokrasi, khususnya pada pemilihan Ketua KADIN Kaltim baru-baru ini, yang pada akhirnya dimenangkan oleh kerabat dekat Gubernur sendiri.

Sosok kerabat Gubernur tersebut, terpilih pada usia yang terbilang sangat muda (23 tahun), dengan rekam jejak organisasi yang dinilai belum matang, bahkan selama ini tidak dikenal luas di berbagai ruang proses KADIN Kaltim. Persoalan pun muncul bukan sekadar soal usia, tetapi tentang bagaimana proses tersebut mempertegas kontradiksi antara janji anti-KKN dengan praktik politik kekerabatan yang tampak berjalan secara paralel.
Persepsi publik akhirnya terbelah antara narasi integritas yang dikedepankan Gubernur dan realitas politik kekerabatan yang terlihat begitu kasat mata. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan mendasar, bagaimana mungkin seorang Gubernur mengusung semangat anti-KKN di birokrasi, tetapi pada saat yang sama tidak dapat mencegah atau bahkan dianggap mendukung naiknya kerabat sendiri ke posisi strategis dalam organisasi ekonomi daerah?
 
Situasi ini menunjukkan apa yang disebut kontradiksi komunikasi. Ketika pesan verbal seorang Gubernur tidak selaras dengan tindakan politik yang terjadi di sekitar dirinya. Bentuk kontradiksi ini merupakan message behavior inconsistency, yakni kondisi ketika apa yang dikatakan (komitmen pada meritokrasi) tidak searah dengan apa yang tampak terjadi (penguatan politik kekerabatan). Ketidaksinkronan tersebut mengirimkan dua pesan berbeda sekaligus, pesan moral tentang integritas dan pesan simbolik tentang nepotisme.

Keterpisahan struktural antara Pemprov dan organisasi eksternal tidak otomatis menghapus dimensi etika. Ada prinsip dasar dalam etika kekuasaan, dimana penguasa harus menghindari bukan hanya penyalahgunaan kekuasaan, tetapi juga tampilan yang berpotensi menurunkan kepercayaan publik. Kaidah ini dikenal sebagai the appearance of impropriety, sebuah standar moral yang menyatakan bahwa tindakan yang tampaknya bermasalah bisa sama merusaknya dengan tindakan yang benar-benar bermasalah.

Karena itu, meskipun penempatan kerabat dekat Gubernur sebagai Ketua KADIN tidak terkait secara formal dengan institusi pemerintahan, namun tetap dapat dianggap kurang etis dan tidak elok karena sejumlah pertimbangan.

Pertama, ketidakseimbangan relasi kekuasaan. Gubernur kini adalah kepala daerah yang berkuasa dan berpengaruh. Sehingga ketika kerabat dekatnya menduduki posisi strategis di organisasi dunia usaha, publik melihatnya sebagai perluasan pengaruh kekuasaan, bukan sebagai regenerasi sehat dan wajar. Hal ini menciptakan kesan oligarki keluarga. Sebuah situasi di mana kekuasaan politik dan ekonomi terkonsentrasi pada satu lingkaran kecil keluarga.

Kedua, akses dan privilege. Seorang anak muda 23 tahun tanpa rekam jejak signifikan di organisasi tiba-tiba dapat mengakses posisi puncak KADIN Kaltim. Dalam logika meritokrasi, hal ini sulit dijelaskan tanpa adanya pengecualian berbasis hubungan keluarga. Privilege politik inilah yang menimbulkan kecurigaan publik bahwa proses tersebut tidak berlangsung secara alami, melainkan terbentuk oleh kekuatan struktural yang tidak dimiliki kandidat lain.

Ketiga, konflik kepentingan yang melekat, meskipun tidak bersifat formal. Sebagai kepala daerah, Gubernur memiliki kewenangan besar terkait perizinan, investasi, dan kebijakan ekonomi. Jika kerabat dekatnya memimpin organisasi dunia usaha yang menjadi mitra utama pemerintah, maka muncul potensi konflik kepentingan dalam bentuk kedekatan personal. Publik kemudian menilai apakah keputusan KADIN nantinya akan independen? Apakah relasi antara KADIN dan Pemprov akan didasarkan pada prinsip check and balance atau menjadi relasi keluarga yang saling melanggengkan?

Keempat, standar moral pemimpin politik. Publik tidak menilai pemimpin hanya dari apa yang legal, melainkan dari apa yang pantas. Meski tidak melanggar peraturan, penempatan keluarga dalam posisi strategis dianggap mencederai etika publik, apalagi jika dilekatkan dengan narasi anti-nepotisme yang sedang digelorakan oleh Gubernur sendiri. Di titik ini, persoalan bukan lagi soal aturan, tetapi soal keteladanan etis.

Ketidakelokan ini terlihat lebih jelas ketika publik mengaitkannya dengan pernyataan Gubernur mengenai tidak adanya jual beli jabatan. Dalam perspektif komunikasi, pesan itu bertujuan memperkuat legitimasi moral pemerintahan. Tetapi ketika kerabat terdekat justru menempati posisi bergengsi melalui proses yang dianggap tidak mencerminkan pengalaman dan kredibilitas, maka seluruh klaim anti-KKN tersebut tereduksi daya moralnya.

Kondisi ini menciptakan disonansi kognitif pada publik berupa ketegangan psikologis karena menerima dua pesan yang bertolak belakang, sebagaimana dijelaskan Leon Festinger dalam A Theory of Cognitive Dissonance, ketika individu dipaksa menghadapi ketidakselarasan antara keyakinan, ucapan, dan realitas tindakan yang mereka amati. Publik pun lebih cenderung mempercayai tindakan daripada kata-kata. Karena dalam komunikasi, tindakan adalah pesan yang paling keras.

Paradoks semakin terasa karena publik Kaltim kini tidak lagi menerima klaim pejabat secara pasif. Mereka membandingkan, mengaitkan, dan menciptakan makna kolektif. Ketika publik menemukan pola bahwa orang-orang yang dekat dengan lingkar kekuasaan menduduki posisi strategis, terlepas dari sektor apa pun, maka narasi integritas akan dibaca sebagai slogan kosong.

Kontradiksi ini bisa menjadi preseden buruk bagi kepercayaan publik, karena ketidakkonsistenan antara ucapan dan tindakan akan menggerus kredibilitas pemimpin, sebagaimana ditegaskan Carl I. Hovland, Irving L. Janis, dan Harold H. Kelley dalam Communication and Persuasion: Psychological Studies of Opinion Change, bahwa persepsi terhadap kejujuran dan integritas komunikator merupakan kunci efektivitas pesan politik di mata publik. Dalam konteks inilah, terpilihnya kerabat Gubernur tersebut bukan sekadar peristiwa organisasi, tetapi simbol ujian etika dalam kekuasaan.

Kekuasaan yang berkomitmen pada tata kelola yang bersih seharusnya menjaga jarak dari praktik yang berpotensi dibaca sebagai nepotisme. Setidaknya, Gubernur harus memastikan bahwa lingkar keluarganya tidak menempati posisi yang dapat menciptakan persepsi konflik kepentingan. Karena dalam etika publik, menjaga jarak sama pentingnya dengan menjaga integritas.

Pernyataan Gubernur bahwa tidak ada jual beli jabatan sebenarnya memiliki nilai positif, tetapi nilai itu memudar ketika tindakan di sekelilingnya memunculkan praktik politik kekerabatan yang sangat mencolok. Jika ingin membangun kepercayaan publik secara kokoh, konsistensi menjadi syarat yang tidak bisa ditawar.

Karena pada akhirnya, integritas bukan hanya tentang apa yang dikatakan, tetapi tentang apa yang berusaha dihindari. Dan dalam kasus ini, penempatan kerabat sebagai Ketua KADIN jelas merupakan sesuatu yang seharusnya bisa dihindari demi menjaga keluhuran etika jabatan publik.(*)


*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co



Berita Lainnya