Opini
Proses Adaptasi Mahasiswa Milenial Luar Daerah di Era New Normal
Oleh: Natalie Lembang (Mahasiswi Ilmu Komunikasi, Universitas Mulawarman)
Komunikasi pasti terjadi di dalam setiap konteks kehidupan manusia, mulai dari yang bersifat individual, komunikasi kelompok (melibatkan dua orang atau lebih), komunikasi keluarga dan masih banyak lagi. Salah satu bentuk komunikasi yang tidak dapat dihindari yaitu komunikasi antar budaya. Dalam kehidupan sehari-hari, kita selalu berkomunikasi dengan orang lain yang berasal dari kelompok ras, etnik atau budaya berbeda.
Menurut Suranto (2010: 33), komunikasi sosial budaya merupakan jenis komunikasi yang dominan dan sering terjadi karena peluang berinteraksi dengan orang yang berbeda latar belakang sosial dan budaya sangat besar. Di dalam suatu komunikasi antarbudaya, tidak jarang seseorang itu akan menemui suatu masalah, hal ini disebabkan karena penggunaan suatu bahasa yang berbeda antara individu yang satu dengan individu lainnya.
Tidak semua kata yang memiliki bunyi yang sama memiliki arti yang sama pula, tetapi malah sebaliknya dapat pula memiliki arti yang sangat jauh berbeda. Oleh sebab itu, perbedaan latar belakang sosial budaya dapat mengakibatkan kurang efektifnya proses komunikasi.
Di era globalisasi saat ini, mobilitas sudah semakin tinggi. Beberapa individu yang bepergian dari satu tempat ke tempat lain sudah bukan lagi hal yang aneh. Ada berbagai alasan individu bepergian, mulai dari bekerja, berwisata, mengungsi ataupun menempuh pendidikan. Bagi individu yang sedang menempuh pendidikan di daerah lain, pasti akan mengalami kejutan budaya serta mengalami ketidakpastian serta kecemasan.
Seperti halnya yang dirasakan oleh salah satu mahasiswa berinisial “R” yang berasal dari luar daerah Kalimantan Timur. Saat ini, dia sedang menempuh pendidikan di Universitas Widya Gama Samarinda.
Berdasarkan wawancara yang saya lakukan, tentunya “R” memiliki kendala dalam proses komunikasi dengan teman di kampus ataupun di luar kampus, terutama mengenai bahasa sehari-hari.
“R” mengatakan bahwa, ia belum mahir dalam berbahasa Indonesia, tetapi keadaan yang menuntut dirinya untuk belajar berbahasa Indonesia agar bisa lebih fasih lagi.
"R" mengatakan bahwa ia tidak terlalu fasih dalam berbahasa Indonesia, karena waktu di kampung atau tanah kelahirannya lebih sering menggunakan bahasa daerah dari pada Bahasa Indonesia.
Tanah Toraja merupakan daerah asal mahasiswa tersebut. Di mana tempat yang ia tinggali saat di Toraja sangat jauh dari perkotaan dan masyarakat di sana juga sangat jarang menggunakan Bahasa Indonesia. Sehingga ketika ia mulai berkuliah di Kaltim, “R” merasa kesulitan apalagi perkuliahan dilakukan via daring yang disebabkan oleh pandemi Covid-19.
Oleh dari itu, ketika penyebaran Covid-19 di Kaltim mulai berkurang dan sedang dalam era normal baru, “R” memutuskan untuk berangkat ke Kaltim agar bisa beradaptasi dengan lingkungan yang ada, sehingga kesulitan komunikasi itu dapat berkurang.
Dia mengungkapkan, kedatangannya ke Kaltim kurang lebih sudah 2 bulan dan ternyata sangat berbeda ketika melakukan komunikasi melalui via daring dan secara langsung. Dia merasa lebih cepat paham melakukan komunikasi secara langsung.
Komunikasi yang efektif dapat terjadi apabila pesan yang disampaikan baik secara verbal maupun non verbal dapat dipahami orang lain, akan tetapi komunikasi dapat menjadi rumit bila komunikator dan komunikan berasal dari daerah yang berbeda.
Belakangan pun ia mulai bisa memahami mengenai bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat Kaltim, awalnya ia memang merasa cukup sulit tetapi ternyata seiring berjalannya waktu ia mulai bisa berbaur dengan masyarakat Kaltim dan mengikuti bahasa yang digunakan masyarakat setempat.
Komunikasi sangat berpengaruh besar di dalam dunia perkuliahan, terutama bagi setiap mahasiswa yang berasal dari luar daerah. Sebab komunikasi akan selalu terjalin agar perkuliahan juga bisa berjalan lancar. Sebab pada dasarnya, setiap kalimat ataupun intonasi dari berbagai daerah akan berbeda, ada yang lembut dan ada juga yang terkesan agak kasar. Maka dari itu, kita dituntut untuk bisa mengerti dan berbaur serta belajar mengenai kebudayaan ataupun bahasa yang gunakan didalam daerah yang kita tempati.
Dalam jurnal Socialisation Among the Rural to Urban Migrant Students in Georgia dijelaskan bahwa budaya yang berbeda dapat mempengaruhi pengalaman hidup para pelajar migran dari desa ke kota. Dalam hal ini mereka tentu saja mengalami masalah seperti kejutan budaya, kesulitan psiko – sosial, dan tentu saja konflik antar pribadi.
Masalah tersebut telah berdampak negatif terhadap sosialisasi mahasiswa migran (Verulava, 2019). Namun masalah tersebut akan terhindar ketika masyarakat dari luar dapat menerima kebudayaan-kebudayaan yang ada ketika mereka sedang dalam lingkup luar daerahnya.(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram "Kaltimtoday.co", caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Related Posts
- Kritik Biaya Pendidikan Era Jokowi di Rakernas V PDIP, Megawati: Masa Mau Pintar Saja Harus Bayar Mahal
- Dampak Globalisasi terhadap Pola Konsumsi dan Nilai Budaya di Indonesia
- Kedokteran UMKT Gelombang Pertama Dibuka Mulai 16 April 2024, Cek Syarat dan Biayanya di Sini
- Ditutup 29 Februari 2024! Berikut Info Pendaftaran Universitas Pertahanan RI Jenjang S1: Syarat, Cara Daftar dan Jadwal Seleksi
- Pinjol Masuk Kampus: Jalan Terjal Menggapai Gelar Sarjana