Nasional

RUU TNI dan Kekhawatiran Kembalinya Dwifungsi Militer di Indonesia

Network — Kaltim Today 20 Maret 2025 14:54
RUU TNI dan Kekhawatiran Kembalinya Dwifungsi Militer di Indonesia
TNI. (Istimewa)

Kaltimtoday.co - Revisi Undang-Undang Nomor 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang baru saja disahkan menimbulkan perdebatan luas di masyarakat. Banyak pihak khawatir bahwa regulasi baru ini dapat membuka kembali jalan bagi praktik dwifungsi TNI yang pernah dominan pada era Orde Baru.

Sejumlah elemen masyarakat menolak revisi ini karena dianggap berpotensi menghidupkan kembali dominasi militer dalam pemerintahan dan politik. Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan dwifungsi TNI? Berikut ulasan lengkapnya.

Dwifungsi TNI adalah konsep yang memberikan dua peran utama bagi Tentara Nasional Indonesia, yaitu sebagai kekuatan pertahanan negara dan sebagai elemen yang berperan dalam kehidupan sosial-politik. Konsep ini pertama kali dicetuskan oleh Jenderal AH Nasution pada tahun 1960-an dan kemudian dilegalkan melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia.

Pada dasarnya, dwifungsi memungkinkan militer untuk tidak hanya menjaga keamanan negara tetapi juga berperan aktif dalam berbagai sektor pemerintahan. Hal ini membuat banyak perwira aktif menduduki posisi strategis di berbagai lembaga negara, termasuk parlemen.

Sejarah Dwifungsi TNI di Era Orde Baru

Konsep dwifungsi berkembang pesat pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Pada saat itu, pemerintah beranggapan bahwa keterlibatan militer dalam sektor politik dan birokrasi diperlukan untuk menjaga stabilitas nasional.

Dalam buku The Army and Politics in Indonesia, disebutkan bahwa pada era revolusi, angkatan bersenjata memiliki peran yang sangat dominan dibandingkan dengan politisi sipil. Kondisi ini memunculkan keyakinan di kalangan militer bahwa mereka memiliki hak untuk terlibat dalam proses politik negara.

Implementasi dwifungsi TNI memungkinkan para perwira aktif menempati jabatan penting di lembaga legislatif seperti DPR dan MPR. Selama Orde Baru, struktur pemerintahan sangat dipengaruhi oleh tiga elemen utama, yakni TNI, birokrasi, dan Partai Golkar. Dominasi militer ini mengurangi ruang demokrasi dan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan.

Meskipun dianggap efektif dalam menjaga stabilitas nasional, kebijakan ini menuai kritik tajam dari kelompok masyarakat sipil dan pegiat hak asasi manusia. Banyak yang menilai bahwa dwifungsi TNI melanggar prinsip demokrasi dan mengabaikan supremasi sipil.

Penghapusan Dwifungsi TNI pada Era Reformasi

Seiring dengan tumbangnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, praktik dwifungsi mulai dipertanyakan dan dihapuskan secara bertahap. Pemerintah saat itu menekankan pentingnya pemisahan antara fungsi militer dan politik demi memperkuat supremasi sipil.

Pada tahun 2000, dalam rapat pimpinan TNI, diputuskan untuk mengakhiri peran ganda TNI dalam pemerintahan. Puncak dari penghapusan dwifungsi TNI terjadi pada tahun 2004 dengan pembubaran fraksi TNI/Polri dari DPR.

Kekhawatiran Masyarakat terhadap Revisi UU TNI

Kini, dengan adanya revisi UU TNI, kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi kembali mencuat. Beberapa pasal dalam revisi UU ini memungkinkan prajurit aktif untuk menduduki jabatan di lembaga sipil. Hal ini dinilai dapat mengaburkan batas antara peran militer dan sipil, yang bertentangan dengan semangat reformasi.

Masyarakat dan berbagai organisasi terus memantau implementasi revisi ini agar tidak membuka kembali celah bagi dominasi militer dalam pemerintahan. Supremasi sipil dan demokrasi tetap menjadi fokus utama dalam menjaga keseimbangan antara peran TNI dan pemerintahan sipil.

[RWT]



Berita Lainnya