Nasional

Kontroversi RUU TNI 2025, Ini Alasan Penolakan dan Dampaknya Jika Disahkan

Kaltim Today
17 Maret 2025 10:54
Kontroversi RUU TNI 2025, Ini Alasan Penolakan dan Dampaknya Jika Disahkan
Ilustrasi. (TNI)

Kaltimtoday.co - Pemerintah bersama DPR RI tengah membahas revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Salah satu poin utama dalam revisi ini adalah penambahan lima jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif tanpa perlu pensiun atau mengundurkan diri dari dinas kemiliteran.

Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin menyampaikan hal ini dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR RI di Gedung DPR, Jakarta, pada Selasa, 11 Maret 2025. Menurutnya, jika sebelumnya prajurit aktif hanya bisa menduduki jabatan di 10 kementerian atau lembaga negara, dalam revisi terbaru, jumlah tersebut bertambah menjadi 15 institusi.

Berdasarkan revisi yang diajukan, berikut adalah daftar kementerian dan lembaga yang dapat diisi oleh prajurit aktif TNI:

  1. Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan
  2. Kementerian Pertahanan
  3. Sekretaris Militer Presiden
  4. Badan Intelijen Negara (BIN)
  5. Badan Sandi Negara
  6. Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas)
  7. Dewan Pertahanan Nasional (DPN)
  8. Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas)
  9. Badan Narkotika Nasional (BNN)
  10. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) (Tambahan baru)
  11. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) (Tambahan baru)
  12. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) (Tambahan baru)
  13. Badan Keamanan Laut (Bakamla) (Tambahan baru)
  14. Kejaksaan Agung (Tambahan baru)
  15. Mahkamah Agung (Tambahan baru)

Sebelumnya, UU TNI yang masih berlaku hanya memperbolehkan prajurit aktif mengisi jabatan di 10 lembaga. Penambahan lima institusi baru dalam revisi ini menjadi salah satu pemicu perdebatan di berbagai kalangan.

Dalam rapat Komisi I DPR RI, hadir Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin dan Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas untuk membahas perubahan dalam UU TNI. Ketua Komisi I DPR RI, Utut Adianto, menjelaskan bahwa daftar inventarisasi masalah (DIM) telah diserahkan pemerintah kepada DPR, sebagaimana tertuang dalam Surat Presiden Nomor R-12/Pres/02/2025.

Sebelum pembahasan lanjutan, DPR telah mengundang berbagai pihak untuk memberikan masukan, termasuk akademisi, pakar hukum, organisasi veteran seperti Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI-Polri (Pepabri), serta perwakilan LSM.

“Rapat ini merupakan pembicaraan tingkat I untuk membahas substansi revisi UU TNI secara lebih mendalam. Pemerintah dan DPR berkomitmen melakukan evaluasi menyeluruh agar UU ini sesuai dengan tantangan zaman,” ujar Utut. 

Alasan Penolakan RUU TNI 2025

Pembahasan RUU TNI 2025 memicu pro dan kontra. Sejumlah pakar menilai revisi ini berpotensi memperluas kewenangan TNI tanpa pengawasan yang memadai, sehingga berisiko terhadap prinsip demokrasi dan supremasi sipil.

Dilansir dari Tirto.id, Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum, Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, menyatakan bahwa revisi ini perlu dikaji lebih kritis.

“Jangan sampai perubahan ini malah memperbesar kewenangan tanpa keseimbangan pengawasan. Perlindungan hak masyarakat harus tetap menjadi prioritas,” ujarnya dalam diskusi publik yang membahas revisi UU TNI dan lembaga penegak hukum lainnya.

Ketua PBHI Nasional, Julius Ibrani, juga menyoroti potensi dominasi militer dalam pemerintahan.

“Kita harus mencegah konsentrasi kekuasaan di satu institusi tanpa kontrol yang jelas. Jika dibiarkan, sistem hukum yang tidak berimbang bisa menggeser peran masyarakat sipil,” tegasnya.

Menanggapi kekhawatiran ini, Ketua Komisi I DPR RI, Utut Adianto, memastikan bahwa supremasi sipil tetap dijunjung tinggi.

“Panglima TNI telah menegaskan bahwa supremasi sipil tetap menjadi pilar utama dalam negara demokrasi,” ujarnya dikutip dari laman eMedia DPR RI.

Dampak Jika RUU TNI 2025 Disahkan

Jika revisi UU TNI 2025 diberlakukan, beberapa dampak yang mungkin terjadi adalah:

1. Meningkatnya Peran Militer dalam Pemerintahan

Dengan diperbolehkannya prajurit aktif menempati lebih banyak posisi di lembaga sipil, keterlibatan militer dalam politik dan administrasi negara bisa semakin dominan.

2. Berkurangnya Ruang bagi Sipil dalam Jabatan Pemerintahan

Penempatan prajurit aktif di lebih banyak institusi bisa mengurangi peluang warga sipil untuk menduduki posisi strategis di pemerintahan.

3. Potensi Penyalahgunaan Kewenangan

Tanpa mekanisme pengawasan yang ketat, ada kemungkinan penyalahgunaan wewenang yang berisiko pada pelanggaran hak asasi manusia.

4. Perubahan Fokus TNI dari Fungsi Utama Pertahanan

Dengan keterlibatan di berbagai lembaga sipil, ada kekhawatiran bahwa tugas utama TNI sebagai penjaga pertahanan negara bisa terganggu.

5. Ketergantungan Pemerintah terhadap Militer

Jika TNI semakin mendominasi sektor pemerintahan, ada potensi meningkatnya sifat otoriter yang bertentangan dengan prinsip demokrasi.

[RWT]



Berita Lainnya