Nasional

Koalisi Masyarakat Sipil Desak Pemerintah Hentikan Revisi UU TNI yang Dinilai Hidupkan Dwifungsi

Suara Network — Kaltim Today 06 Maret 2025 19:19
Koalisi Masyarakat Sipil Desak Pemerintah Hentikan Revisi UU TNI yang Dinilai Hidupkan Dwifungsi
Ilustrasi. (Dok. Kaltimtoday.co)

Kaltimtoday.co, Jakarta - Koalisi masyarakat sipil menyoroti langkah pemerintah dan DPR dalam membahas revisi Undang-Undang Nomor 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Mereka menilai revisi ini berpotensi menghidupkan kembali Dwifungsi TNI yang telah dihapus sejak era reformasi.

Pembahasan revisi ini dimulai setelah Presiden Prabowo Subianto mengirimkan Surat Presiden (Surpres) kepada DPR RI untuk membahas rancangan perubahan UU TNI. Langkah ini memicu kekhawatiran luas, terutama dari berbagai kelompok masyarakat sipil.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Dimas Bagus Arya, mengungkapkan bahwa dalam draf revisi yang diterima, terdapat sejumlah poin yang dinilai problematik. Salah satu yang paling disoroti adalah perluasan peran TNI di jabatan sipil.

“Dalam draf revisi yang kami peroleh, ada usulan perubahan yang dapat menghidupkan kembali Dwifungsi TNI,” kata Dimas dalam konferensi pers di YLBHI, Kamis (6/3/2025).

Kekhawatiran Atas Perluasan Peran TNI

Salah satu pasal yang dipermasalahkan adalah Pasal 47 Ayat (2) UU TNI, yang mengusulkan agar prajurit aktif bisa ditempatkan di lebih banyak kementerian dan lembaga, sesuai kebijakan presiden. Jika diterapkan, aturan ini bisa memperluas keterlibatan militer dalam ranah sipil, yang sebelumnya hanya dibatasi pada 10 kementerian/lembaga tertentu.

Dimas menegaskan bahwa usulan ini berpotensi melemahkan prinsip supremasi sipil serta mengaburkan batas antara ranah militer dan pemerintahan sipil. Ia juga memperingatkan bahwa keterlibatan TNI dalam jabatan sipil bisa berdampak pada ketidakjelasan dalam penegakan hukum terhadap prajurit yang melakukan pelanggaran, terutama terkait tindak pidana dan pelanggaran HAM.

“Ketiadaan revisi terhadap UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer membuat prajurit TNI yang menduduki jabatan sipil tetap akan diadili di peradilan militer, bukan peradilan umum. Ini bisa menciptakan ketimpangan dalam proses hukum,” jelasnya.

Berdasarkan catatan Imparsial, pada tahun 2023 terdapat 2.569 prajurit aktif yang menduduki jabatan sipil, dengan 29 perwira di antaranya berada di luar lembaga yang telah ditetapkan dalam UU TNI.

Selain perluasan jabatan sipil, draf revisi UU TNI juga mengusulkan penghapusan larangan bagi anggota TNI untuk berbisnis. Hal ini dinilai sebagai langkah mundur dalam reformasi militer, karena bertentangan dengan prinsip profesionalisme TNI.

“Militer harus fokus pada tugas pertahanan, bukan terlibat dalam bisnis. Jika prajurit diperbolehkan berbisnis, maka akan ada risiko konflik kepentingan serta berkurangnya profesionalisme mereka,” tegas Dimas.

Ia menambahkan bahwa kesejahteraan prajurit seharusnya menjadi tanggung jawab negara, bukan dengan memberikan izin kepada mereka untuk berbisnis. Jika ini dibiarkan, maka intervensi militer dalam sektor ekonomi bisa semakin meluas.

Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Arif Maulana, turut menambahkan bahwa revisi UU TNI juga bertentangan dengan agenda reformasi militer tahun 1998, yang menegaskan bahwa prajurit harus tunduk pada peradilan umum dalam kasus tindak pidana umum.

“Kami mendesak agar pemerintah dan DPR menghentikan pembahasan revisi ini. Alih-alih memperluas peran TNI di ranah sipil, seharusnya pemerintah fokus pada penguatan lembaga pengawas seperti Komnas HAM dan Kompolnas, bukan malah melemahkan mereka dengan pemotongan anggaran,” ujar Arif.

Ia menegaskan bahwa DPR RI harus lebih responsif terhadap kritik masyarakat serta tidak tunduk pada tekanan eksekutif dalam membahas aturan yang berpotensi melemahkan reformasi militer.

Sebagai solusi, koalisi masyarakat sipil mendorong agar pemerintah dan DPR lebih berfokus pada agenda reformasi TNI yang tertunda, seperti pembentukan Undang-Undang Tugas Perbantuan, reformasi peradilan militer, dan evaluasi komando teritorial.

“Pemerintah harus memastikan bahwa TNI tetap profesional dan berorientasi pada pertahanan negara, bukan malah melibatkan mereka dalam politik, bisnis, atau jabatan sipil yang bertentangan dengan reformasi,” tutup Arif.

[RWT]



Berita Lainnya