Opini

Soeharto, HAM, dan Usulan Pahlawan

Kaltim Today
26 April 2025 15:23
Soeharto, HAM, dan Usulan Pahlawan
Buku Kronik '65 dan Dalih Pembunuhan Massal mengupas peristiwa G30S dan pelanggaran HAM era Soeharto, yang menjadi sumber dalam artikel "Soeharto, HAM, dan Usulan Pahlawan". (Foto Muhammad Sarip)

Oleh Muhammad Sarip (Sejarawan Publik)

Ahmad Dhani dalam sebuah lagu Dewa 19, dari album Bintang Lima yang rilis pada akhir abad ke-20 memasukkan lirik sebagai berikut. “Bukan rahasia bila penguasa pun bisa mengubah sejarah dan memutarbalikkan fakta.”

Lagu berjudul “Bukan Rahasia” dinyanyikan oleh Elfonda Mekel alias Once. Dua tahun pasca-Reformasi 1998 merupakan awal publik menyaksikan realita bahwa vokalis Dewa 19 telah berganti dari Ari Lasso ke Once. Namun, relasi penyanyi bersuara khas serak basah itu dengan Dewa 19 mengalami dinamika. Once resign dari Dewa tahun 2011. Awal 2023 konflik Once versus Dhani mencuat soal royalti lagu ciptaan Dhani yang dinyanyikan Once dalam sejumlah konser tunggalnya.

Fokus saya bukan pada kisah polemik tafsir hukum antara penyanyi dan pencipta lagu karena kasusnya pun sudah bergulir di Mahkamah Konstitusi. Highlight saya pada kutipan lirik lagu Dewa 19 tentang penguasa yang bisa merevisi sejarah.

Penguasa pemerintahan negara memiliki otoritas untuk membentuk narasi sejarah dan menyebarluaskannya. Rezim juga mempunyai instrumen untuk mengontrol cerita sejarah yang diajarkan kepada pelajar di sekolah. UUD 1945 sebagai konstitusi negara memberikan wewenang kepada pemerintah untuk memberikan gelar pahlawan dan tanda kehormatan kepada individu yang di-framing memiliki sejarah heroisme kepada negara.

Awal 2025 masalah gelar pahlawan menjadi kontroversi. Kementerian Sosial Republik Indonesia mengungkapkan bahwa Jenderal Soeharto diusulkan memperoleh gelar Pahlawan Nasional. Jika prosesnya lancar, seremoni penganugerahan gelar akan dilakukan oleh Presiden Prabowo Subianto pada Hari Pahlawan 10 November 2025. Berita ini direspons dengan penolakan oleh para pihak.

Sejak wafatnya Soeharto pada 2008, isu pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional hanya sebatas wacana yang selalu ditolak publik. Resistensi datang dari unsur akademisi, sejarawan, serta pegiat HAM, demokrasi, antikorupsi, dan korban kekerasan Orde Baru. Pihak pendukung dari orang-orang yang memang dekat dengan Soeharto dan keluarganya atau pernah mendapatkan benefit politik dan ekonomi dari Orde Baru. Sebagian orang dengan literasi yang dangkal, terdistraksi dengan meme bergambar Soeharto disertai caption “Piye kabare, enak zamanku toh”.

Bapak Pembangunan Jadi Terdakwa Korupsi

Selama berkuasa sejak 1966 hingga 1998, rezim Orde Baru mempropagandakan bahwa Soeharto adalah juru selamat bangsa Indonesia dari pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Melalui film “Janur Kuning” produksi 1979, Soeharto dipopulerkan sebagai superhero pencetus Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta yang menggemparkan dunia. Faktanya, penggagas yang sebenarnya adalah Sultan Hamengkubuwono IX.

Kemudian, melalui pelbagai media dan wahana, Soeharto dikultuskan sebagai tokoh hebat yang bergelar Bapak Pembangunan.

Kurikulum pendidikan nasional mewajibkan pelajar untuk menghafal dan memercayai aneka kisah glorifikasi mengenai sosok yang dikatakan hanya berijazah sekolah tingkat dasar tetapi berprestasi luar biasa. Namun, konstruksi cerita heorisme Soeharto seketika runtuh berantakan, setidaknya sejak April 1998. Gelombang mahasiswa, akademisi, dan publik menuntut Reformasi dengan tuntutan mundurnya Soeharto sebagai presiden. Soeharto dituding sebagai penanggung jawab atas kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang berdampak pada keterpurukan negara dalam multibidang.

Soeharto menyatakan berhenti sebagai presiden pada 21 Mei 1998. Setelah itu publik menuntut Soeharto diadili atas banyak kasus. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara versi UUD 1945 yang belum diamandemen, melaksanakan Sidang Istimewa pada 10–13 November 1998. Satu di antara hasilnya adalah Ketetapan MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, Nepotisme. TAP MPR ini pada pasal 4 mencantumkan nama Soeharto sebagai mantan presiden yang harus ditindak tegas dalam upaya pemberantasan KKN.

Selain kasus KKN, Soeharto juga dianggap melanggar HAM dari peristiwa pembunuhan massal 1965–1966. Dini hari 1 Oktober 1965 terjadi penculikan 6 pimpinan Angkatan Darat oleh Paspampres yang bernama Cakrabiwara. Letkol Untung sebagai Komandan Batalion I Resimen Cakrabiwara menamakan aksinya dengan “Gerakan 30 September” yang disingkat G30S.

Profesor Salim Said—sejarawan militer yang saat tragedi 1965 berada di ring 1 ABRI sebagai wartawan—mengungkapkan makna penculikan yang sebenarnya. Tempo dulu, terminologi “penculikan tokoh” adalah mendaulat tokoh tersebut agar bersedia melaksanakan tuntutan dari pihak penculik. Sama seperti Penculikan Rengasdengklok 1945. Para pemuda menculik Sukarno-Hatta untuk mendaulat atau meminta ‘paksa’ dua tokoh ini supaya segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Kegiatan menculik memang ada unsur pemaksaan, tetapi tanpa unsur kekerasan secara fisik, seperti pemukulan. Pemborgolan atau pengikatan tubuh Soekarno-Hatta pun tidak dilakukan. Penculikan tokoh berbeda dengan menciduk pelaku kriminal.

Misi G30S adalah menghadapkan para jenderal kepada Presiden Sukarno untuk dimintai klarifikasi seputar isu rencana kudeta Dewan Jenderal pada peringatan Hari ABRI 5 Oktober 1965. Daerah Lubang Buaya dijadikan lokasi transit. Namun, planing G30S tak sesuai rencana. Ada distorsi dalam message delivery kepada tentara eksekutor di lapangan. Muncul sisipan pesan “culik hidup atau mati”. Dampaknya, 3 jenderal terbunuh di rumahnya masing-masing dan jenazahnya tetap dibawa ke Lubang Buaya. Satu regu tentara penculik juga kacau, tidak mengenali sosok target penting Menhankam Jenderal Abdul Haris Nasution. Tim penculik yang error ini salah tangkap Pierre Tendean, ajudan Nasution.

Pemimpin G30S tak mungkin membawa jenazah Menteri Panglima Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani dan jenazah lainnya ke hadapan Bung Karno. Dengan kekacauan tersebut, akhirnya semua jenderal yang diculik dalam kondisi hidup, dieksekusi mati. G30S terjebak blunder. Para elite pimpinan PKI yang tidak berada di titik kumpul penculik juga kebingungan setelah mendapat kabar bahwa Jenderal Yani dan para stafnya terbunuh. Presiden Sukarno kemudian menyikapinya sebagai peristiwa biasa, “Riak kecil dalam samudra revolusi.” Bung Karno tidak merestui G30S, tetapi juga tidak memberikan sanksi kepada pelaku G30S.

Mayjen Soeharto sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) tidak termasuk daftar target penculikan G30S. Beberapa jam setelah penculikan, Soeharto langsung mengambil alih pimpinan Angkatan Darat. Soeharto segera mengumumkan bahwa pelaku penculikan adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Divonis pula bahwa G30S adalah upaya kudeta PKI terhadap Presiden Sukarno. Itulah awal mula Soeharto memimpin operasi terstruktur dan sistematis yang menghilangkan nyawa ribuan jiwa anggota PKI dan orang-orang yang sekadar dituduh sebagai simpatisan PKI di seluruh Indonesia.

Soeharto mengendalikan opini publik dengan kontrol media massa yang ketat untuk melegitimasi peristiwa berdarah pasca-G30S sebagai tindakan suci dan mulia demi pengamanan Pancasila dari rongrongan kaum ateis PKI. Tak hanya menyasar PKI, Soeharto juga akhirnya mengenakan status tahanan rumah bagi Bung Karno hingga wafat 1970 dengan tuduhan terlibat G30S. Tuduhan yang di kemudian hari tampak konyol dan irasional: presiden mendalangi kudeta untuk dirinya sendiri.

Proses hukum formal terhadap Soeharto tidak pernah sampai pada tahapan vonis pengadilan. Tahapannya berhenti hanya pada status terdakwa dugaan korupsi dana negara. Pada 31 Maret 2000 Kejaksaaan Agung menetapkan Soeharto sebagai tersangka dugaan korupsi dana tujuh yayasan yang didirikannya. Pada 3 Agustus 2000 status Soeharto meningkat sebagai terdakwa. Namun, persidangan pertamanya pada 14 September 2000 digelar secara in absentia tanpa kehadiran Soeharto dengan alasan sakit. Itu adalah sidang pertama sekaligus terakhir. Persidangan tidak pernah dilanjutkan karena Soeharto konsisten beralasan sakit. Akhirnya, pada 12 Juni 2006 Kejagung menerbitkan SP3 yang menghentikan proses hukumnya.

Penghambat Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto

Gelar Pahlawan Nasional memang hanya untuk tokoh yang tutup usia. Soeharto wafat pada 27 Januari 2008, saat negara ini dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hingga SBY mengakhiri kekuasaannya pada 2014, usulan gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto tidak pernah diproses oleh pemerintah. Pada dekade pertama abad ke-21, memori kolektif publik masih tajam tentang ketidakadilan hukum, politik, ekonomi, kecurangan pemilu, manipulasi Demokrasi Pancasila, pembungkaman pers, pembatasan hak berpendapat, kekerasan aparat, dan hal-hal kelam lainnya semasa rezim Soeharto dari 1966 hingga 1998.

Setelah periode Presiden SBY, selama 2 periode Presiden Joko Widodo (2014–2024), usulan pemahlawanan jenderal bintang 5 itu juga meredup. Terlebih lagi pada periode pertama Jokowi, para pegiat HAM dan demokrasi menaruh harapan besar kepada kader PDIP itu untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM selama Soeharto berkuasa. Alasan simpel pada 2014 itu, Jokowi berasal dari sipil dan tidak memiliki beban sejarah kelam masa lalu. Mantan wali kota Solo itu justru berasal dari partai politik warisan Bung Karno, yang selama Orde Baru mengalami penindasan.

Kisaran sebulan sebelum Presiden Jokowi mengakhiri masa jabatannya 20 Oktober 2024, ada ‘kotak pandora’ yang dibuka. MPR menghapus nama Soeharto dari TAP 11/1998. Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf alias Gus Ipul pada 24 April 2025 menyatakan, dengan penghapusan tersebut berarti usulan gelar Pahlawan Nasional Soeharto telah memenuhi syarat normatif.

TAP MPR 11/1998 memang menjadi penghalang Soeharto. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan pasal 25 menyebutkan syarat umum penerima gelar—termasuk Pahlawan Nasional—antara lain berkelakuan baik. Jika bukti berkelakuan baik yang dimaksud adalah setara dengan produk legal sejenis SKCK yang dikeluarkan kepolisian, maka untuk konteks Soeharto terdapat produk konstitusional yang dikeluarkan oleh lembaga tinggi negara (MPR) yang memerintahkan penindakan tegas terhadapnya dalam pemberantasan KKN. Catatan KKN Soeharto secara eksplisit pada TAP MPR jelas menggugurkan kriteria berkelakuan baik. Namun, Mensos menganggap rintangannya sudah lenyap dengan revisi TAP MPR tersebut pada 23 September 2024.

Argumentasi Mensos dapat diperdebatkan. Syarat umum Pahlawan Nasional bukan hanya berkelakuan baik. Ada lagi syarat memiliki integritas moral dan keteladanan. Kriteria ini bisa diukur secara kualitatif dan normatif.

Dugaan kasus pelanggaran HAM oleh Soeharto tidak bisa diabaikan begitu saja. Benar, peradilan dan putusan legal formalnya tidak ada. Namun, publik bisa mengajukan argumentasi bahwa Pemerintah RI telah mengakui adanya 9 kasus pelanggaran HAM berat semasa Soeharto berkuasa, baik sebagai pemimpin Angkatan Darat 1965, pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), Penjabat Presiden 1967, maupun Presiden 1968–1998. Daftar 9 kasus ini dinyatakan secara resmi oleh Presiden Joko Widodo pada 11 Januari 2023.

Pernyataan Presiden RI tentang Pelanggaran HAM Berat didahului dengan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu, yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022.

Berikut ini kutipan pernyataan Presiden Jokowi, bersumber dari website Sekretariat Kabinet RI.

“Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa. Dan, saya sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat pada: (1) Peristiwa 1965–1966; (2) Peristiwa Penembakan Misterius 1982–1985; (3) Peristiwa Talangsari, Lampung 1989; (4) Peristiwa Rumoh Geudong dan (5) Pos Sattis di Aceh 1989; (6) Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa tahun 1997–1998; (7) Peristiwa kerusuhan Mei 1998; (8) Peristiwa Trisakti dan Semanggi 1 dan 2, 1998 dan 1999; (9) Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998–1999; (10) Peristiwa Simpang KKA di Aceh tahun 1999; (11) Peristiwa Wasior di Papua 2001–2002; (12) Peristiwa Wamena, Papua di 2003; dan (13) Peristiwa Jambo Keupok di Aceh tahun 2003.”

Dari 13 kasus pelanggaran HAM berat yang diakui Presiden Jokowi, kasus nomor 1 sampai 9 terjadi ketika Jenderal Soeharto memegang kendali atas militer dan pemerintahan negara. Terminologi pelanggaran HAM berat diuraikan dalam Penjelasan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Definisi pelanggaran HAM yang berat adalah genosida (pembunuhan massal) dan kejahatan kemanusiaan seperti pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis.

Pelanggaran HAM berat merupakan extra-ordinary crimes dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional. Dalam pemikiran yang logis, tokoh utama yang dianggap bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat, sangat jauh dari peluang dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional. Kriteria integritas moral dan keteladanan tidak terpenuhi.

Daftar Pustaka

Abdullah, Taufik & A.B. Lapian (Ed.). 2012. Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 8: Orde Baru dan Reformasi. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.

Hadi, Kuncoro, dkk. 2017. Kronik ’65 Catatan Hari Per Hari Peristiwa G30S Sebelum hingga Setelahnya (1963–1971). Yogyakarta: Media Pressindo.

Margana, Sri dkk. 2022. Naskah Akademik Serangan Umum 1 Maret 1949 sebagai Hari Nasional Penegakan Kedaulatan Negara. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta

Purwanto, Bambang; Adam, Asvi Warman. 2013. Menggugat Historiografi Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Puspapertiwi, Erwina Rachmi; Nugroho, Rizal Setyo. 2023. "Hari Ini dalam Sejarah: Soeharto Ditetapkan Terdakwa Dugaan Korupsi”. Kompas.com, 3 Agustus 2023. bit.ly/Kompas-Soeharto-Terdakwa. Diakses 25 April 2025.

Roosa, John. 2008. Dalih Pembunuhan Masal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra.

Said, Salim Haji. 2018. Gestapu 65 PKI, Aidit, Sukarno, dan Soeharto. Bandung: Mizan Pustaka.

Sekretariat Kabinet RI. 2023. “Pernyataan Pers Presiden RI, di Istana Merdeka, Provinsi DKI Jakarta, 11 Januari 2023”. Setkab.go.id, 11 Januari 2023. bit.ly/setkab-presiden-11-1-2023. Diakses 25 April 2025.

Setuningsih, Novianti. 2025. “Mensos Bicara Peluang Soeharto Dapat Gelar Pahlawan Nasional, Singgung soal Tap MPR”. Kompas.com, 23 April 2025. bit.ly/Kompas-Usul-Pahlawan-Soeharto. Diakses 25 April 2025.

TEMPO. 2018. Soeharto: Setelah Sang Jenderal Besar Pergi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.


*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co


Related Posts


Berita Lainnya