Opini
Alergi Kritik dan Kedewasaan Berdemokrasi
Oleh: Andi Muhammad Abdi, Dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam UINSI Samarinda
MENARIK membaca tulisan Awan, seorang jurnalis sekaligus pegiat media sosial, di selasar.co pada 19 November 2025, yang mengkritik Gubernur Kaltim kemudian berujung pada telepon dari seorang tokoh ormas. Awalnya tampak sebagai refleksi personal bercampur satir, tulisan itu berkembang menjadi polemik di ruang publik mengenai kritik warga sering diperlakukan seolah ancaman terhadap stabilitas, alih-alih masukan yang menghidupkan ruang demokrasi.
Dinamika komunikasi yang muncul dari tulisan tersebut menyajikan pelajaran penting: dalam demokrasi, kritik warga seharusnya ditempatkan sebagai bagian dari dialog publik, bukan sebagai ancaman terhadap kewibawaan.
Kritik Awan merupakan bentuk komunikasi politik publik yang sah, terbuka, dan dilindungi oleh konstitusi. Kritik yang disampaikan berada dalam koridor yang sama dengan jutaan kritik lain dari warga negara yang ikut memperhatikan jalannya pemerintahan. Ketika seseorang menyampaikan opini di ruang publik, ia sesungguhnya sedang berpartisipasi dalam proses demokratis, memberikan perspektif, dan membuka ruang refleksi bagi pemerintah. Namun yang sering terjadi, kritik seperti ini justru memicu respons emosional dari pihak-pihak tertentu, meski pemerintah sendiri belum tentu menanggapi atau bahkan mengetahui dinamika tersebut.
Ketika sebuah kritik menimbulkan polemik, yang perlu kita amati bukan hanya apa yang dikritik, melainkan cara publik—terutama para aktor sosial dan politik—merespons kritik tersebut. Dalam kasus ini, respons yang muncul dari salah satu tokoh ormas menambah lapisan drama yang sebenarnya tidak perlu. Apalagi, belum ada pernyataan resmi atau tanggapan langsung dari pihak pemerintah provinsi, sehingga pernyataan tersebut bisa jadi murni inisiatif pribadi, bukan sikap institusional.
Di sinilah pentingnya menempatkan kritik secara proporsional. Kritik, dalam konteks demokrasi, bukan sekadar serangan verbal, tetapi mekanisme penting untuk menjaga kewarasan pemerintahan. Kritik ibarat cermin; kadang jernih, kadang buram. Namun, menghindari cermin sama sekali justru membuat kita tidak pernah tahu bagian mana dari wajah yang perlu dibersihkan.
Paradigma kita terhadap kritik juga menentukan bagaimana kita meresponsnya. Bila kritik dipandang sebagai masukan objektif, respons yang muncul cenderung rasional dan berorientasi pada perbaikan. Sebaliknya, bila kritik dilihat sebagai nyinyiran, serangan personal, atau ancaman, respons yang muncul biasanya emosional, defensif, bahkan represif. Dua paradigma ini menghasilkan dua gaya komunikasi yang sangat berbeda: satu dewasa, satunya kekanak-kanakan.
Dalam konteks tulisan Awan, reaksi yang muncul bukan hanya tentang perbedaan pandangan, tetapi tentang bagaimana sebagian aktor publik menganggap kritik sebagai ancaman reputasi. Padahal, pemerintah memiliki mekanisme yang sah dan elegan untuk menyikapi kritik, baik melalui klarifikasi resmi, penyampaian data, maupun instrumen hukum apabila kritik tersebut memuat unsur fitnah atau kesalahan faktual yang serius.
Negara kita menyediakan jalur untuk dugaan pencemaran nama baik, kanal pengaduan digital resmi, dan bila kontennya termasuk produk jurnalistik, terdapat mekanisme Dewan Pers seperti hak jawab dan hak koreksi. Semua saluran ini merupakan fasilitas untuk memastikan bahwa perbedaan pandangan tetap dikelola dalam bingkai demokrasi.
Justru yang menjadi masalah adalah ketika respons terhadap kritik keluar dari jalur resmi dan dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak memiliki mandat formal. Hal ini bukan hanya membingungkan publik, tetapi potensial menciptakan persepsi seolah pemerintah anti-kritik, padahal belum tentu demikian. Ketika pihak yang tidak berwenang bertindak secara emosional, mereka sebenarnya sedang merugikan citra pemerintah itu sendiri. Pemerintah yang sejatinya ingin tampil terbuka justru terseret pada gaya komunikasi yang menekan warga.
Dalam polemik ini, Humas semestinya menjadi kompas narasi pemerintah. Komunikasi pemerintah tidak boleh dibiarkan mengambang, yang akhirnya dipersepsikan melalui tindakan pihak-pihak yang bersuara paling keras. Humas harus mengembalikan pesan kepada pusatnya bahwa pemerintah menghargai kritik, bahwa demokrasi membutuhkan ruang dialog, dan bahwa Pemprov hanya merespons isu publik melalui mekanisme resmi, bukan melalui pernyataan personal siapa pun.
Dalam perspektif komunikasi, keberhasilan pemerintah dinilai bukan dari seberapa hebat meminimalisasi kritik, melainkan dari seberapa sehat mengelola kritik. Pemerintah yang percaya diri akan menganggap kritik sebagai indikator penting bagi penyesuaian kebijakan dan penguatan kinerja. Pemerintah yang rapuh justru menganggap kritik sebagai ancaman legitimasi. Padahal, legitimasi tidak rusak hanya oleh kritik, melainkan rusak ketika penguasa menunjukkan sikap alergi terhadap kritik.
Kritik kecil disikapi dengan langkah besar. Komentar sederhana dibalas dengan amarah berlebihan. Padahal, publik semakin melek media, semakin cerdas menilai, dan semakin memahami ketika suatu respons sebenarnya hanya reaksi emosional belaka. Karena itu, respons berlebihan justru lebih merugikan pihak yang bereaksi ketimbang pihak yang mengkritik.
Peristiwa ini mengingatkan kita bahwa demokrasi tidak tumbuh dari pujian, tetapi bertumpu pada ruang bebas untuk mengoreksi. Pemerintah tidak kehilangan kehormatan hanya karena ada kritik, tetapi justru memperoleh kehormatan ketika mampu menyikapi kritik secara dewasa. Sikap dewasa itulah yang semestinya menjadi standar.
Jika kita mampu melihat peristiwa ini sebagai pelajaran, maka kritik bukan lagi momok, melainkan energi untuk memperbaiki diri. Pemerintah yang bermutu bukan yang paling sedikit menerima kritik, tetapi yang paling bijak dalam meresponsnya. Itulah esensi demokrasi yang ingin kita tuju dan bangun bersama. (*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Related Posts
- Pengangkatan Kadis Kini Wajib Rekomendasi BKN, Sekda Berau Sebut Proses Dilakukan Lebih Hati-Hati
- 10 Tenaga Administrator di Pemda Berau Lowong, Sekda: ASN yang Memenuhi Standar Bisa Berkompetisi
- Groundbreaking Sekolah Rakyat Palaran Ditargetkan November: Lahan 7,2 Hektare Siap Tampung 1.500 Siswa Kurang Mampu
- Kukar Perkuat Ekraf Kecamatan, Dispar Targetkan Setiap Wilayah Punya Event Nasional dan Terbitkan 127 HAKI per Tahun
- Pemkab Kukar Nilai Aksi Mahasiswa Positif, Siap Evaluasi Regulasi Demi Percepatan Layanan Beasiswa Kukar Idaman








