Opini

Antara Birokrasi, Korporasi, dan Importasi

Kaltim Today
13 Januari 2024 09:26
Antara Birokrasi, Korporasi, dan Importasi

Oleh: Syarifa Ashillah (Pemerhati politik dan sosial di Penajam)

Dilansir dari CNBC pada 2/1/24, maka setidaknya ada 4 juta - 4,5 juta bayi yang baru lahir setiap tahun. Sehingga kebutuhan pangan seperti beras akan bertambah setiap tahunnya. Maka untuk mengamankan cadangan strategis ketahanan pangan, Indonesia membutuhkan impor beras karena sulit untuk mencapai swasembada. Pemerintah berencana kembali mengimpor 3 juta ton beras tahun ini (CNN, 10/1/24). Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengungkapkan rencana impor beras pada tahun ini sudah diputuskan sejak Februari 2023 lalu.

Sedangkan data dari Badan Pangan Nasional (Bapanas), stok beras nasional yang berada di Bulog, penggilingan padi, distributor, pedagang hingga masyarakat mencapai 4 juta ton pada awal tahun 2024. Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan Bapanas, I Gusti Ketut Astawa menyatakan stok ini cukup sampai lebaran karena ditambah dengan daerah-daerah yang akan panen pada Januari - Maret mendatang. (Antaranews, 10/01/24) 

Tak heran jika keputusan impor ini dipertanyakan mengapa sudah diputuskan sejak tahun lalu. Padahal kebutuhan di awal 2024 masih dapat dipenuhi. Jika kebijakan importasi itu dilakukan demi menjaga keseimbangan stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) akibat kekurangan produksi dalam negeri, semestinya keputusan impor diambil setelah panen raya. Namun, justru impor diputuskan sebelum panen. Padahal impor beras hanya memakan waktu dua hingga empat bulan. Tak heran jika peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Muhammad Andri Perdana mengatakan, keputusan impor tahun ini yang diputuskan sejak awal tahun lalu tidaklah wajar. 

Jika faktanya seperti ini, maka semakin membuktikan bahwa kebutuhan beras dalam negeri harus ditopang oleh impor. Impor bukan lagi sebagai pilihan terakhir tapi sebagai solusi utama mendasar dan lebih praktis. Apalagi  Impor pangan yang semakin dipermudah oleh UU Cipta Kerja mengubah ketentuan, sehingga tidak lagi mengutamakan pangan hasil produksi petani dalam negeri. Maka mimpi  Indonesia untuk kedaulatan pangan makin terkubur.  Impor selalu dijadikan dalih menutupi keringkihan pangan kita.

Jika kita telisik lebih dalam ada banyak persoalan yang menimpa dunia pertanian saat ini mengapa produksi beras tidak meningkat. Ada beberapa faktor di antaranya: 

1. Alih fungsi lahan pertanian telah terjadi secara masif sehingga merugikan ketahanan pangan Indonesia. Alih fungsi lahan di Jawa kebanyakan dilakukan untuk kepentingan industri dan perumahan. Akibatnya, lahan pertanian kian tergerus. Bahkan lahan pertanian yang lokasinya strategis dan memiliki infrastruktur irigasi pun mengalami alih fungsi.

2. Rantai niaga yang merugikan petani Kesenjangan pembagian keuntungan yang didapat antara petani dan distributor, petani yang paling banyak dirugikan.  Kondisi demikian yang menyebabkan rendahnya minat regenerasi muda untuk terjun ke dunia pertanian. Belum lagi terkendala modal bagi petani. Dimana petani masih menggunakan daya dukung proses produksi  dalam menggarap lahan masih menggunakan cara-cara tradisional sehingga biaya menjadi tinggi dan hasil kurang optimal. Dan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada petani misal masalah impor pangan yang menjatuhkan harga pasar. 

Tidak adanya azam pemerintah untuk meningkatkan produksi beras dalam negeri dan menunjukkan tidak adanya keberpihakan pemerintah pada petani dan rakyat. Aroma kebijakan pangan dalam negeri masih kental dengan kepentingan oligarki para kapitalis. Yaitu para pengusaha importir yang punya hubungan dekat dengan penguasa sehingga mendapatkan tender impor. Wewenang membuka atau menutup pintu impor memang ada di tangan pemerintah, tetapi pelaku impornya adalah pengusaha importir.

Inilah buah dari sistem kapitalis dimana peran negara dikerdilkan negara hanya sebagai regulator, menjembatani para korporasi untuk terus meraup keuntungan. Karena para penguasa meraih jabatan dengan bantuan sokongan dari pengusaha maka tak heran bentuk balas budi, penguasa adalah memberi kebijakan para kapital untuk memperkaya diri. Maka bak mimpi di siang bolong jika berharap pada birokrasi semacam ini untuk menyelesaikan permasalahan pangan. 

Dalam Islam, pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat dilandasi oleh filosofi peran penguasa dalam menjalankan pengurusan urusan umat. Penguasa adalah pengurus sekaligus pelayan rakyat. Konsekuensinya, negara wajib memenuhi kebutuhan rakyat secara mandiri. Atas dasar ini, negara tidak boleh membiarkan pihak lain mengganti perannya dalam memenuhi kebutuhan rakyat. Penguasa akan amanah karena sistem ini yang berlandaskan kepada ketaqwaan yang diperoleh dari aqidah yang kokoh. 

Islam punya serangkaian aturan yang akan mendukung  produksi pangan dalam misal dilakukan ekstensifikasi. Ekstensifikasi dengan menghidupkan tanah mati, tidak boleh menelantarkan tanah pertanian lebih dari tiga tahun, larangan menyewakan lahan pertanian. Pada akhirnya kepemilikan lahan itu identik dengan produksi. Dan memberikan modal dan edukasi kepada petani. Dana didapat dari memaksimalkan pengelolaan SDA yang di garap oleh negara dan haram diserahkan kepada swasta sehingga memungkinkan pos keuangan negara melimpah. 

Maka untuk mencapai kedaulatan pangan sungguh tidak dapat tercapai pada sistem kapitalis yang menomorsatukan pengusaha dan meminggirkan rakyatnya demi keuntungan. Solusi demi solusi ditawarkan namun tak mengubah fakta bahwa kran impor makin deras di buka. Maka sudah saatnya beralih pada solusi IsIam.(*)

*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram "Kaltimtoday.co News Update", caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.



Berita Lainnya