Opini
Bijakkah mencabut FABA dari Limbah B3?
Oleh : Ismiiaya (Aktivis Muslimah)
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22/2021 tentang Penyelenggaraan, Perlindungan, dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) dicabut dari daftar bahan berbahaya dan beracun (Limbah B3).
Beleid yang diteken oleh Presiden Joko Widodo pada 2 Februari 2021 silam itu menggantikan PP Nomor 101/2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Hal ini tentu menuai kontra dari aktivis peduli lingkungan. Puluhan aktivis peduli lingkungan dari berbagai organisasi menggelar aksi demonstrasi di depan kantor Gubernur Kaltim, Rabu (17/3/2021). Massa mengkritik keputusan Presiden Joko Widodo menghapus Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) dalam daftar bahan berbahaya dan beracun atau Limbah B3. [Sumber: kaltim.suara.com]
Aksi penolakan tersebut bukanlah tanpa alasan. Sebab FABA yang mulanya terkategori sebagai bahan beracun ini tentu sangat berisiko akan membahayakan lingkungan dan keselamatan masyarakat.
Dilansir dari kaltimtoday.co, politisi dari Fraksi PDIP mengatakan, FABA sudah ada yang dikelola sebagai produk oleh beberapa perusahaan. Contohnya dijadikan paving block atau campuran beton. Kedua produk itu memang belum begitu familiar dengan produksi bahan bangunan pada umumnya. Apalagi FABA dikenal sebagai limbah yang berpotensi memberi dampak pada pencemaran lingkungan.
Sekalipun pencabutan FABA dari limbah B3 bisa menjadi keuntungan produksi jika dikelola dengan baik, namun apakah demi keuntungan materi kemudian menggadai keselamat lingkungan dan masyarakat? Jika FABA tidak dianggap sebagai limbah B3, pabrik-pabrik tentu bisa membuang FABA seperti limbah lainnya. Inilah letak bahayanya negara kapitalistik yang berpatok pada keuntungan semata dalam menentukan kebijakan. Akhirnya seolah menutup mata dari kondisi buruk yang akan menimpa rakyat, peraturan tetaplah dibentuk untuk meraup untung dr pengelolaan limbah yang awalnya perlu perlakuan khusus menjadi limbah biasa.
Dalam hal ini, negara harus benar-benar bijak dalam menentukan kebijakan. Sebab ialah satu-satunya pihak yang paling bertanggung jawab atas keselamatan masyarakat dan pengelolaan sumberdaya alam. Masyarakat tidak dapat berbuat apapun apabila negara sudah menentukan kebijakan dan hanya menjadi objek yang terdampak.
Maka sejalan dengan apa yang sudah diajarkan oleh Islam bahwa tugas negaralah mengelola SDA tambang. SDA dikategorikan sebagai harta milik umum sehingga tidak boleh dikuasai oleh negara, individu apalagi swasta. Ia tetap pada pemiliknya, yaitu rakyat secara umum. Hanya pengelolaannya saja yang diserahkan pada negara. Dalam hal ini, negara tidak boleh merasa terbebani karena fungsi negara dalam pandangan islam adalah sebagai pengatur dan pelayan rakyat.
Di samping itu, pengelolaan yang didasari oleh ketakwaan kepada Allah (bukan prioritas untungan materil) mendorong negara untuk menerapkan kebijakan yang meminimalisir kerusakan lingkungan dan pengelolaan limbah dengan tepat. Sebab, jika ada dampak buruk pada lingkungan atau rakyat, maka negara yang bertanggungjawab atas segala hal. Selain berdasar pada tuntunan syar'i, oleh sebab itulah juga, haram menyerahkan tambang dan SDA berlimpah pada swasta. Dapat kita bayangkan bagaimana pentingnya sebuah negara yang hadir bertanggungjawab penuh atas rakyat dan menjalankan segala fungsinya atas dasar ketakwaan.(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Related Posts
- Matangkan Raperda tentang Limbah B3, Pansus DPRD Samarinda Gelar Rapat bersama OPD Terkait
- FABA Ganti Status, Berkah atau Musibah?
- FABA Diklaim Bisa Ciptakan Manfaat, WALHI Kaltim: Apa Dasar Penelitiannya?
- Aksi Teatrikal Tuntut FABA Kembali sebagai Limbah B3, Pemerintah Disebut Tak Berpihak ke Masyarakat
- Pemerintah Cabut FABA dari Kategori Limbah B3, Komisi I DPRD Kaltim: Harus Ada Aturan Lain yang Mengatur