Samarinda

Aksi Teatrikal Tuntut FABA Kembali sebagai Limbah B3, Pemerintah Disebut Tak Berpihak ke Masyarakat

Kaltim Today
17 Maret 2021 16:58
Aksi Teatrikal Tuntut FABA Kembali sebagai Limbah B3, Pemerintah Disebut Tak Berpihak ke Masyarakat
Aksi teatrikal oleh aktivis dan mahasiswa di depan Kantor Gubernur Kaltim menuntut FABA yang dikeluarkan dari kategori limbah B3.

Kaltimtoday.co, Samarinda - Pemerintah menghapus Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) dari daftar limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Hal itu tertuang di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada 12 Maret 2021 lalu.

Pada Rabu (17/3/2021) di depan Kantor Gubernur Kaltim, JATAM Kaltim, WALHI Kaltim, FH Pokja 30, LBH Samarinda, GMNI Samarinda, Planktos Unmul, dan FNKSDA Kaltim menggelar aksi teatrikal dalam rangka menuntut abu batu bara dan limbah sawit bisa dikembalikan ke daftar limbah B3.

Koordinator FH Pokja 30, Buyung Marajo menyampaikan aksi hari ini merupakan sikap terhadap pemerintahan era Joko Widodo (Jokowi) karena mengeluarkan PP Nomor 22/2021. Aksi ini digelar, mengingat Kaltim menjadi tempat industri ekstraktif terbesar di Indonesia.

"Ada sawit dan batu bara. Dikeluarkannya PP Nomor 22/2021 itu akan berdampak ke masyarakat. Kebijakan ini kami kritik agar FABA bisa kembali ke daftar limbah B3," ungkap Buyung kepada awak media.

Padahal, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi. Namun, Buyung menyebut pemerintah justru berkhianat dan berbohong. Berdasarkan data yang dihimpun oleh JATAM Kaltim pada 2019, terdapat 734 Izin Usaha Pertambangan di Kaltim. Sedangkan untuk Izin Usaha Perkebunan ada 186 yang dikelola 146 perusahaan dengan areal seluas 2,6 juta hektar.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Kaltim Today (@kaltimtoday.co)

"Kita tahu selama ini yang menghidupkan dan menerangi Pulau Jawa dan sekitarnya itu sumber daya Kaltim. Kalimantan secara keseluruhan menjadi proyek strategis nasional. Artinya akan terjadi pengeksploitasian sumber daya besar-besaran," tegas Buyung.

Kaltim yang diproyeksikan menjadi Ibu Kota Negara (IKN) juga mengartikan bahwa keperluan untuk pembangkit daya listrik dan pembangunan lainnya diperlukan dari sumber daya alam di Benua Etam.

"Pemprov ini sejak awal Omnibus Law, dengan adanya nol rupiah royalti dari perusahaan industri ekstraktif, artinya ada keuangan yang diterima pemerintah dari sektor tersebut dalam bentuk dana bagi hasil. Dan itu tidak bergerak sama sekali," lanjutnya.

Berkenaan dengan hal ini, dia menilai Pemprov Kaltim tidak berpihak kepada masyarakat. Sebenarnya banyak langkah yang bisa diambil.

"Misalnya bersifat administrasi, bisa saja ke jalur hukum atau lobi-lobi. Atau dengan tekanan politik. Kalau ini tidak bisa dipenuhi untuk Kaltim, ya silakan saja misal kita hentikan produksi batu bata. Gubernur punya kewenangan untuk itu," beber Buyung.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memang mengklaim FABA sudah bukan limbah B3 karena didasari kajian ilmiah. PP Nomor 22/2021 juga merupakan turunan dari Omnibus Law UU Cipta Kerja.

"Itu sebetulnya memaksa dan menggiring opini publik untuk menghilangkan bahwasanya limbah B3 dari batu bara dan sawit itu tidak akan pengaruh. Kebijakan seperti ini lah yang ugal-ugalan," ucap Buyung.

Saat FABA masih ditetapkan sebagai limbah B3 saja, ada perusahaan di Kaltim yang tak mengelolanya dengan baik. Namun tetap tak membuat jera dan terus dilakukan. Maka saat FABA dikeluarkan dari kategori limbah B3, maka potensi keluasan dan kewenangan para perusahaan untuk melakukan tindakan serupa semakin besar.

[YMD | RWT]



Berita Lainnya