Samarinda
FABA Diklaim Bisa Ciptakan Manfaat, WALHI Kaltim: Apa Dasar Penelitiannya?
Kaltimtoday.co, Samarinda - Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada 12 Maret 2021 lalu, menuai tanggapan dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Kaltim.
Tak hanya limbah abu sisa pembakaran batu bara alias Fly Ash dan Bottom Ash (FABA), namun limbah sawit atau Spent Bleaching Earth (SBE) juga dicabut dari kategori limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
PP Nomor 22/2021 diketahui merupakan aturan turunan dari Undang-undang (UU) Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja. Direktur WALHI Kaltim, Yohana Tiko menyampaikan, Omnibus Law UU Cipta Kerja yang disusun secara serampangan, mengakibatkan turunannya juga demikian.
Tak hanya batu bara, perempuan yang akrab disapa Tiko itu juga menyebutkan perkebunan kelapa sawit turut menyumbang pencemaran. Sebelumnya saja, pengelolaan limbah sudah tak terlaksana dengan baik. Apalagi dengan ditambahnya PP Nomor 22/2021 itu. Sepanjang 2021 ini, ada laporan yang masuk ke WALHI Kaltim mengenai pencemaran akibat industri ekstraktif.
Baca Juga: Awang Faroek Ishak Minta Jadwal Ulang Pemanggilan KPK dalam Kasus Dugaan Korupsi IUP KaltimView this post on InstagramBaca Juga: Dapat Izin dari Kementerian ESDM, PBNU Siap Kelola 26 Ribu Hektare Tambang Batu Bara di Kaltim
Untuk batu bara, ada 1 yang terjadi di Desa Sebuntal, Kecamatan Marangkayu, Kutai Kartanegara (Kukar). Sedangkan di Kutim dan Kukar, terhimpun masing-masing 1 pencemaran dari limbah pabrik pengolahan sawit.
Menurut Tiko, hadirnya PP Nomor 22/2021 dengan dalih pemanfaatan limbah justru sesat pikir. Seharusnya saat masih ditetapkan sebagai limbah B3, pemanfaatan dan pengelolaannya sudah diatur. Jika limbah tidak dikelola dan dimanfaatkan, maka ada sanksi administrasi atau pidana.
"Kalau sudah dikeluarkan dari kategori limbah B3 begini, maka tak terjadi sanksi walau perusahaan tak mengelola atau memanfaatkan," ungkap Tiko saat ditemui pada Rabu (17/3/2021).
Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) yang diklaim dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, substitusi semen, jalan, dan restorasi tambang juga diragukan oleh Tiko. Ditegaskan olehnya, belum ada penelitian untuk pemanfaatan tersebut.
"Bagaimana ketika itu menjadi polusi di manusia? Tidak ada melakukan penelitian tiba-tiba disebutkan itu bisa dimanfaatkan. Apa dasar penelitiannya? Di Kaltim, pemanfaatan limbah itu belum terjadi," lanjut Tiko.
Menurut Tiko, sejak awal seharusnya Pemprov Kaltim menolak Omnibus Law. Tidak adanya penolakan tegas itu, mencerminkan pemimpin daerah tak bisa menolong rakyatnya.
"Seharusnya mengambil sikap dengan menolak Omnibus Law itu. Sebab semua kebijakan kembali ke pusat. Jadi pemerintah daerah ini tidak ada gunanya, lebih baik dibubarkan saja," tandasnya.
[YMD | RWT]
Related Posts
- Orica Rayakan 150 Tahun Inovasi di Sektor Pertambangan dan Infrastruktur
- Resmi! Presiden Jokowi Terbitkan Perpres Izin Usaha Tambang untuk Ormas Keagamaan
- Bupati Berau Dorong Pengelolaan UMKM di Perkampungan sebagai Modal Pasca Tambang
- Realisasi Investasi Kaltim Triwulan I/2024 Capai 22,01 Persen
- Sengketa HGB PT IKU dan Warga Desa Telemow, WALHI Kaltim Tuntut Keterbukaan Dokumen Lengkap