Opini
FABA Ganti Status, Berkah atau Musibah?
Oleh: Irma Ismail (Aktivis Muslimah Balikpapan)
FABA, siapa yang tak kenal kata ini yang dalam eberapa waktu belakangan menjadi bahan pembicaraan. Adalah Abu Terbang (Fly Ash) dan Abu Dasar ( Bottom Ash), hasil dari pembakaran batubara, yang dikenal dengan FABA. Merupakan limbah B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya) dihasilkan dari pembakaran batubara pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan industry berbahan bakar batubara lainnya. Data dari Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan KESDM pada 2018, memproyeksi akan kebutuhan batubara hingga tahun 2027 adalah sebanyak 162 juta ton. Prediksi potensi FABA ysng dihasilkan sebesar 16,2 juta ton, dengan asumsi 10% dari pemakaian batubara.(litbang.esdm.go.id, 10/9/2020)
Maka ketika presiden mengeluarkan limbah batubara ini dari kategori limbah B3, berdasarkan lampiran 14 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Hidup, dimana PP ini adalah aturan turunan dari UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja, sontak saja akan terarah kepada para pengusaha tambang batubara karena jelas PP ini akan menguntungkan bagi mereka.(Kompas.com, 15/3/2021).
Menurut Hendra Sinadia selaku Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara (APBI-ICMA) menyatakan bahwa, FABA yang dihasilkan oleh PLTU dan non PLTU setiap tahunnya berkisar 10-15 juta ton, dan biaya pengelolaan FABA oleh perusahaan dikisaran Rp 50 Miliar - Rp 2 Triliun. Jelas hal ini membebani keuangan pelaku usaha yang juga memiliki komitmen dalam mengelola limbah. (www.apbi-icma.org, 15/3/2021). Senada dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang pernah mengusulkan agar FABA dikeluarkan dari limbah B3 (cnnindonesia.com, 13/3/2021).
Hal ini pun direspon negatif dari berbagai kalangan. Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menyayangkan terbitnya PP tersebut karena jelas memberikan ancaman bagi kesehatan masyarakat ( bisnis.co, 18/3/2021). Juga dikutip dari (cnnindonesia.com, 13/3/2021), Dwi Sawung selaku Manager Kampanye Perkotaan dan Energi Walhi menyatakan bahwa, PP 22/2021 sangat berbahaya karena dikeluarkannya sejumlah limbah dari hasil tambang dan perkebunan dari kategori B3. Ini adalah kerugian bagi lingkungan dan masyarakat, karena bisa bebas digunakan untuk apa saja. Padahal limbah-limbah itu mengandung zat-zat karsinogenik atau pemicu kanker, maka seharusnya pemerintah bisa mengendalikan dampak pencemaran lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Berbicara tentang limbah, baik beracun ataupun tidak, maka memang sudah seharusnya diolah terlebih dahulu, apalagi jika ini adalah limbah dari hasil pembakaran batubara oleh perusahaan skala besar, jelas lebih besar lagi dalam hal volume dan dampak lingkungannya. Jika selama ini masuk kategori limbah B3, tentulah itu bukan tanpa alasan.
Batubara sendiri mengandung berbagai jenis unsur racun termasuk logam berat dan radioaktif, dan ketika dibakar maka akan menghasilkan FABA, dan jika FABA ini berinteraksi dengan air, unsur beracun ini dapat terlindikan secara perlahan, termasuk arsenic, boron, kadmiun dan lain-lain. Terlindikan adalah sebuah proses dimana pencemar dibebaskan dari fase padat ke dalam fase air di bawah proses pelarutan, baik secara alami ataupun secara kimiawi. Unsur-unsur ini lah yang beracun bagi manusia, ikan, biota air dan satwa liar.
Dikutip dari walhi.or.id (12/3/2021) dalam laporan Analisis Timbulan dan Kebijakan Pengelolaan Limbah B3 di Indonesia, disebutkan bahwa FABA termasuk jenis limbah B3 terbanyak yang dihasilkan pada tahun 2019, bahkan Bottom Ash terkategori limbah berbahaya tingkat tinggi dengan skor 13 dari skala 14, dan Fly Ash dengan skor 11 dari skala 14.
Alih-alih membuat kebijakan dengan bagaimana cara mengurangi limbah B3 ini atau membuat regulator yang memberi keamanan dan keselamatan kepada masyarakat, pemerintah justru memberikan kelonggaran atas desakan dari para pengusaha. Andri Prasetyo dari Peneliti dan Pengkampanye Trend Asia menyatakan bahwa, penghapusan FABA adalah bagian dari Paket Kebijakan Besar (Grand Policy) yang secara sistematis memang dirancang untuk memberikan keistimewaan bagi industri kotor batubara mulai dari hulu hingga ke hilir (bisnis.com, 15/3/2021).
Sebagai sebuah negara dengan sistem kapitalisme, bukanlah hal yang mengagetkan jika kebijakan yang di ambil akan memberi keuntungan sepihak kepada para pengusaha atau pemilik modal. Adanya tekanan dan desakan dari para pengusaha secara terang-terangan menunjukkan akan hal ini. Ada biaya besar yang harus dikeluarkan dalam pengelolaan limbah B3 ini, bahkan limbah terkategori B3 juga akan sulit dimanfaatkan. Maka penurunan status limbah B3 menjadi tidak beracun jelas akan memberi keuntungan karena tidak ada biaya pengolahan limbah lagi. Termasuk dampak amdal nantinya.
Negara dalam sistem ini memang hanya melindungi para pengusaha. Parahnya setelah sumber daya alam dikuasai dan dieksploitasi oleh kapitalis, limbahnya dikembalikan kepada masyarakat dalaml bentuk regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Termasuk kerusakan alam dan bencana yang terjadi. Ini adalah bentuk ketidakadilan dan kesewenang-wenangan dari negara terhadap rakyatnya dan sebagai bukti adanya politik transaksional atau politik balas budi. Sumbangan dari para pengusaha dalam kampanye dan meloloskan ke kursi kekuasaan akan dibayar dengan kompensasi sejumlah aturan yang berpihak kepada para kapitalis. Lantas masih mau berharap sebuah perbaikan menyeluruh jika sistem ini masih mengenal politik balas budi?
Hal yang sangat bertolak belakang dengan sistem pemerintahan dalam Islam. Sejarah mencatat bagaimana pada saat sistem pemerintahan Islam berjalan, kemajuan ilmu dan teknologi akan berjalan seiring dengan kesejahteraan rakyat dengan ditopang oleh negara. Donal R. Hill dalam bukunya “Islam Technology” an Illustrated History (Unesco and The Press Sindycate of The University of Cambridge, 1986) dipaparkan mengenai berbagai macam, industri yang dikembangkan oleh khilafah sepanjang sejarah Islam, mulai dari industri mesin, persenjataan, bahan bangunan, perkapalan, pertambangan dan lainnya.
Perindustrian yang termasuk dalam kemaslahatan ummat, karena berbahan baku yang sumbernya berasal dari kepemilikan umum, maka di dalam sistem Pemerintahan Islam atau Khilafah akan dikembangkan dan dikelola oleh negara, dan hasilnya akan dikembalikan kepada rakyat. Dampak limbah yang terjadi dari perindustrian ini menjadi tanggung jawab negara juga. Artinya negara harus memperhitungkan secara matang berdasarkan masukan dari para tenaga ahli akan dampaknya bagi masyarakat sekitar khususnya. Tidak berpikir keuntungan materi, tetapi lebih kepada kemaslahatan dan keselamatan rakyatnya. Sebab Islam pun dengan tegas melarang untuk merusak alam termasuk meminimalkan limbah yang dihasilkan.
Hal ini dikarenakan negara dalam sistem khilafah adalah pengayom, pengurus sekaligus pelindung dari rakyatnya. Memenuhi berbagai kebutuhan mendasar dan memastikan semua secara individu berjalan dengan baik. Indahnya hidup dalam naungan khilafah, yang tidak hanya memberikan rahmat bagi manusia tetapi juga bagi alam semesta. Sesuai dengan firman Allah dalam Surah Al-Anbiya (21): 107, “Tidaklah kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta. Wallahu’alam bishshoshowab.(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Related Posts
- Pembangunan IKN Hancurkan Ekosistem Sungai Pemaluan: Air Keruh, Buaya Semakin Mengancam, Nelayan Terpuruk
- Tak Ada Upaya Pemulihan, Sungai Pemaluan di IKN Terancam Rusak Permanen
- Sukses Turunkan Emisi dan Efisiensi Energi, PT Berau Coal Raih 2 Penghargaan Bidang Lingkungan di ENSIA 2024
- Indonesia Berkomitmen Turunkan Emisi Karbon hingga 31 Persen
- Laporan Global PBB Menggarisbawahi Potensi Indonesia dalam Pertumbuhan Ekonomi Hijau