Daerah
Derasnya Kritik Publik dan Tingginya Target Pemerintah Diduga Jadi Dalang Mundurnya Kepala Otorita dan Wakilnya
Kaltimtoday.co, Samarinda - Mundurnya dua Kepala dan Wakil Kepala Otorita IKN, Bambang Susantono dan Dhony Rahajoe, mengindikasikan bahwa proyek ambisius pemerintah ini tengah dirundung setumpuk masalah. Persoalan itu hadir lantaran target ambisius pemerintah tak sejalan dengan realita. Sementara di sisi lain, arus penolakan dan kritik publik terhadap megaproyek ini terus menguat.
Hal ini terungkap dalam konferensi pers daring yang digelar gabungan organisasi masyarakat sipil yakni Jatamnas, Jatam Kaltim, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) Kaltim dan sejumlah warga terdampak IKN, Kamis (6/6/2024) siang.
Dinamisator Jatam Kaltim, Mareta Sari mengatakan bahwa sejak awal ditetapkan, hingga pemilihan IKN di Kaltim, memang sudah bermasalah.
Kaltim, sebutnya, sejak dulu sudah lekat dengan berbagai persoalan lingkungan yang terkait kayu, pertambangan batu bara, migas dan sawit. Pemerintah kemudian menambah beban Kaltim dengan menghadirkan IKN. Jadi soal sebab keberadaan IKN di Kaltim bukan hanya membawa persoalan lingkungan, pun menghadirkan konflik lahan dan berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
"Keberadaan IKN ini bukan berkah tapi cuma menjadi beban baru untuk Kaltim," kata Mareta di awal pemaparannya.
Usai bermasalah lantaran menempatkan IKN di Kaltim yang sudah "kebanyakan" beban, pernyataan pemerintah terkait lokasi pembangunan megaproyek ini pun tak kalah problematik.
Di awal, pemerintah sesumbar bila kawasan delineasi IKN yang terbentang dari Kukar ke Penajam Paser Utara (PPU) adalah lahan kosong. Tak berpenghuni. Tak ada warga. Realitasnya, di sana terdapat konsesi industri kayu, tambang batu bara, dan sawit. Ada ribuan warga yang sudah lama mendiami kawasan tersebut. Ada situs-situs penting peninggalan masyarakat adat, seperti makam tua, gunung, dan gua. Dan tentu, ada kebudayaan dan pengetahuan yang sudah lama terbagun. Semuanya terancam musnah karena keberadaan IKN.
Akibat pengabaian pemerintah terkait realitas di sekitar lingkar IKN, pembangunan megaproyek ini kemudian jadi ugal-ugalan. Hak-hak warga dirampas. Misalnya, lahan warga asal dicaplok dan ditetapkan sebagai HGU, pematokan lahan secara sepihak, lahan warga dipaksa diambil dan dihargai murah, bahkan diancam digusur. Belum lagi intimidasi dan kriminalisasi bagi mereka yang dianggap menghambat pembangunan IKN. Paling anyar ialah kriminalisasi 9 petani Saloloang di Pantai Lango. Padahal yang disampaikan warga sekadar pemenuhan hak mereka.
"Pembangunan IKN ini sangat minim partisipasi publik, kalaupun ada warga dilibatkan, partisipasinya terbatas dan tidak bermakna. Paling hanya sekadar untuk administrasi, misalnya buat tanda tangan," beber Eta.
Proyek pembangunan IKN pun sejak awal tidak transparan. Pemerintah seperti menutup ruang informasi untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi di proyek ini. Eta bilang bahwa sejak 2022 lalu Jatam Kaltim mengajukan permohonan informasi ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Mereka meminta dokumen pembangunan Bendungan Sepaku Semoi dan Intake Sepaku. Kedua proyek itu disebut berdampak terhadap lebih dari 70 KK.
Kendati Komisi Informasi menyebut dokumen tersebut mesti dibuka sebagaimana menurut UU 14/2018 tentang Keterbukaan Informasi Publik, namun nyatanya dokumen tetap tak diberikan. Kondisi ini sebenarnya cukup memilukan sebab Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono justru ditunjuk menjadi Plt Kepala Otorita IKN. Pembangunan IKN dilanjutkan oleh kementerian yang tidak menganggap penting transparansi.
"Selain minim partisipasi publik, pembangunan ini juga tidak transparan," sebutnya.
Setumpuk persoalan IKN sejak awal penetapan hingga proses pembangunan nyatanya tak menyurutkan ambisi pemerintah. Pembangunan tetap digeber di tengah derasnya arus penolakan dan protes publik. Target-target ambisius setinggi langit mesti dikejar dalam waktu singkat. Seperti Presiden Jokowi yang sudah harus berkantor di IKN akhir Juli 2024, hingga pelaksanaan upacara 17 Agustus.
Eta menduga dengan berbagai persoalan yang hadir di IKN, sementara di sisi lain ada target ambisius pemerintah mesti dikejar, membuat dua petinggi IKN tertekan dan memilih mundur. Belum lagi sulitnya meyakinkan investor luar negeri untuk ikut mendanai IKN.
"Mungkin dengan berbagai tekanan itu akhirnya kepala Otorita dan wakilnya memilih mundur," sebut Eta.
Ketua Aman Kaltim, Saiduani Nyuk mengatakan, ada rangkaian panjang saling berkelindan yang bisa jadi membuat dua petinggi Otorita mundur. Dimulai dari berbagai perampasan lahan warga yang dilakukan oleh negara. Dengan asal mencaplok, menetapkan HGU, atau mematok lahan yang sudah puluhan tahun dikuasai warga. Tentu hadir resistansi dan perlawanan warga, sebab mereka tak terima diperlakukan sewenang-wenang oleh negara.
Kemudian ada kriminalisasi yang dialami 9 petani Soloang di Pantai Lango. Pemerintah menarasikan mereka mengancam pekerja di proyek IKN. Padahal nyatanya, petani tersebut hanya berdiskusi terkait ancaman lahan diambil negara demi pembangunan Bandara VVIP IKN.
Terakhir, ada ratusan warga dari sejumlah desa di Kecamatan Sepaku menolak legalitas lahan mereka ditetapkan sebagai hak pakai alih-alih hak milik. Sebab mereka khawatir lahan ini bisa sewaktu-waktu diambil negara, padahal mereka sudah bermukim di sana jauh sebelum hadirnya IKN. Walhasil, terjadi demonstrasi berjilid dari warga IKN.
Berbagai arus penolakan ini, yang intensitasnya belakangan makin kuat, ditambah target-target ambisius pemerintah terhadap IKN, diduga membuat Bambang Susantono dan Dhony Rahajoe mundur.
"Dari situasi terakhir, tidak bisa dipungkiri ada satu rangkaian panjang yang saling terkait," kata Duan, dia menambahkan "Dengan kondisi yang terjadi, tekanan yang makin besar, mungkin itu faktor yang membuat kepala Otorita dan wakilnya mundur," tambahnya. Dua menambahkan bahwa saat ini pihaknya terus berupaya agar pemerintah memberikan pengakuan terhadap hak masyarakat adat.
Sementara itu, Koordinator Nasional Jatamnas, Melky Nahar bilang, Bambang dan Dhony mestinya sudah sejak awal mundur dari posisinya di Otorita. Sebab sejak awal pembangunan mega proyek ini sudah bermasalah.
Sejak awal pemerintah tidak memberikan pengakuan legal terhadap masyarakat adat. Yang artinya pemerintag tak mengakui keberadaan mereka.
Kemudian negara coba mengokupasi lahan milik rakyat menggunakan hukum positif. Pemerintah menuntut bukti kepemilikan sertifikat di saat lahan yang sejak dulu warga kuasai dan kelola hanya memiliki segel atau pengakuan adat.
Dulu pemerintah sesumbar pembangunan IKN tak memakai dana publik (APBN) tapi investasi. Nyatanya, sebagian besar dana pembangunan IKN bersumber dari dana publik. "Bisa bayangkan dana yang bersumber dari publik justru digunakan untuk menghadirkan petaka baru bagi warga di sekitar IKN," kata Melky.
Melky menegaskan pernyataan Presiden Jokowi yang menyebut keberadaan IKN demi mendorong pemerataan pembangunan, agar tidak Jawa sentris adalah tidak benar. Peluang yang tercipta dari pembangunan IKN pun dianggap jadi lahan bermain para pengusaha dan elit dari Jakarta.
"Semua klaim pemerintah itu cuma omong kosong, berbanding terbalik dengan kondisi yang terjadi di IKN," tandasnya.
[RWT]
Simak berita dan artikel Kaltim Today lainnya di Google News dan ikuti terus berita terhangat kami via Whatsapp
Related Posts
- PBB Tetapkan Hari Danau Dunia, Danau Matano Jadi Contoh Sinergitas Konservasi Air
- DJPb dan Pemprov Kaltim Serahkan DIPA dan Buku Alokasi TKD Digital ke Kepala Daerah dan Pimpinan Unit Satuan Kerja
- Tragedi Muara Kate di Paser Belum Usai, Natalius Pigai Justru Soroti Minimnya Peran Media
- IESR Dorong Indonesia dan Tiongkok Perkuat Kerja Sama Hijau untuk Percepatan Transisi Energi
- Perusahaan Didorong Salurkan CSR untuk Mendukung Transisi Energi Berkeadilan di Kaltim