Opini

Keadilan Iklim: Carbon Tax Hanya Sekedar Iklan

Kaltim Today
26 November 2024 11:03
Keadilan Iklim: Carbon Tax Hanya Sekedar Iklan
Penulis, Vijae Yehezkiel Simanjuntak.

Oleh: Vijae Yehezkiel Simanjuntak (Mahasiswa Konsentrasi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Mulawarman)

SALAH satu program pemerintah melalui kebijakan fiskal dalam menangani perubahan iklim adalah dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) oleh DPR RI. Undang-undang ini sebagai dasar berlakunya pajak karbon (Carbon Tax) di Indonesia. Ironisnya, pemberlakuan pajak karbon yang disahkan pada tahun 2021 belum juga diimplementasikan hingga saat ini. Ditambah lagi belum adanya peraturan pelaksana (Peraturan Menteri) yang dikeluarkan untuk segera mengeksekusi pemberlakuan pajak karbon. Hal inilah yang menjadi dasar belum terlaksananya pajak karbon di Indonesia.

Alih-alih segera dibebankan pada badan atau usaha industri, ketentuan pajak karbon masih terlihat hanya sebatas iklan yang menunjukkan bahwa pemerintah serius menangani perubahan iklim. Setidaknya terdapat 3 hal yang menjadi perhatian penulis dalam ketentuan UU HPP mengenai keberlakuan pajak karbon, yaitu:

Pasal 13 Ayat (8)

Melihat pada ketentuan Ayat (13), tarif yang ditetapkan kepada wajib pajak harus lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar (paling rendah Rp30/Kg CO2e). Harga karbon di pasar yang dimaksud adalah Bursa Karbon RI yang diresmikan oleh Joko Widodo pada 2023.

Artinya, penetapan pajak karbon kepada wajib pajak bersifat fluktuatif, mengikuti harga Bursa Karbon RI. Penentuan pajak yang mengikuti harga pasar tersebut tidak mencerminkan biaya lingkungan yang muncul terhadap produksi karbon. Hal ini dikarenakan harga pasar dalam bursa karbon ditetapkan berdasarkan permintaan dan penawaran, yang seringkali tidak memperhitungkan dampak lingkungan.

Seyogyanya, pemberlakuan penetapan pajak karbon dilakukan secara bertahap dan berlipat. Hal ini dilakukan agar pemberlakuan pajak karbon tidak hanya semata-mata menaikkan penerimaan negara saja, namun juga sebagai pendekatan agar setiap bidang usaha yang bergerak menggunakan energi tak terbarukan dapat beralih ke teknologi yang bersifat terbarukan.

Pasal 13 Ayat (12)

Ketentuan pada Ayat (12) mengamanatkan bahwa penerimaan pajak karbon dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim. Kata “dapat” pada ayat tersebut dimaknai dengan tidak adanya kewajiban untuk mengalokasikan pendapatan pajak karbon ke pengendalian perubahan iklim.

Hal ini akan menjadi alibi pemerintah untuk mengalokasikan pendapatan pajak karbon ke bidang lain. Keadaan ini juga tidak mencerminkan negara hukum yang mengedepankan kepastian hukum. Oleh sebab itu, diperlukan ketentuan yang jelas dan pasti terhadap pengalokasian pendapatan pajak karbon.

Pasal 17 Ayat (3)

Ketentuan subjek wajib pajak pada Pasal 17 Ayat (3) terhadap pajak karbon pada awal masa pemberlakuan hanya diberlakukan kepada badan yang bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga uap batubara. Hal ini menjadi pertanyaan besar: Mengapa pemerintah seakan sangat sulit menekan para elit negara ini untuk dapat dikenakan sebagai subjek wajib pajak karbon?

Padahal, data yang dikeluarkan Kementerian ESDM pada tahun 2019 menunjukkan sektor paling utama dalam penghasil emisi karbon tidak hanya berasal dari pembangkit listrik tenaga uap batubara, tetapi juga energi yang bersumber dari kilang minyak dan produksi bahan bakar padat.

Oleh sebab itu, pemerintah harus segera melakukan perubahan terhadap ketentuan pajak karbon demi efektifnya penanganan perubahan iklim di Indonesia.

Hingga Desember 2023, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) merilis data bahwa pemanfaatan energi baru terbarukan di Indonesia hanya mencapai 13% dari seluruh energi yang digunakan. Angka ini masih cukup jauh dari target ENDC yang mencapai 23%.

Ironisnya lagi, menurut Kementerian Keuangan pada tahun 2022, dana yang dikeluarkan pemerintah selama 5 tahun terakhir untuk penanganan perubahan iklim hanya sebesar 3,9% dari total alokasi APBN. Hal ini jelas memperlihatkan kurangnya komitmen pemerintah dalam menangani perubahan iklim di Indonesia.

Padahal, perubahan iklim memberikan dampak besar bagi masyarakat. Berdasarkan pantauan BMKG, tahun 2023 adalah tahun terpanas kedua yang pernah tercatat dalam sejarah akibat perubahan iklim. Suhu rata-rata berdasarkan pengamatan BMKG pada tahun tersebut mencapai 27,2°C, dengan nilai anomali mencapai 0,5°C sejak tahun 1981 hingga 2023.

Kehadiran pajak karbon sebenarnya membawa angin segar bagi masyarakat dan pemerhati lingkungan di Indonesia. Pajak karbon dapat digunakan sebagai instrumen pendekatan untuk mengubah penggunaan energi tak terbarukan menjadi energi terbarukan.

Oleh sebab itu, pemerintah harus tegas dan serius dalam membentuk ketentuan pajak karbon demi menekan emisi karbon sebagai bentuk penanganan perubahan iklim di Indonesia. (*)


 *) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co



Berita Lainnya