Opini

Kutai Bukan Koloni Tarumanegara dan Pajajaran

Kaltim Today
11 Mei 2025 14:52
Kutai Bukan Koloni Tarumanegara dan Pajajaran
Instagram Pemprov Kaltim 5 Mei 2025 (kiri) dan kunjungan kerja anggota DPD RI Dapil Kaltim AJi Mirni Mawarni di Universitas Mulawarman Samarinda, 9 Mei 2025. (Foto Muhammad Sarip)

Oleh Muhammad Sarip (Sejarawan Publik)

The one and only Kutai. Ada delapan anggota DPR RI dan empat anggota DPD RI Dapil Kalimantan Timur periode 2024–2029. Dari total 12 orang wakil Kaltim merangkap anggota MPR di parlemen Senayan itu, etnis Kutai adalah minoritas.

Memang ironis jika menengok akar sejarah Kalimantan Timur yang mayoritas teritorialnya bekas wilayah Kesultanan Kutai Kertanegara. Dua kota utama Kaltim, yakni Samarinda dan Balikpapan, tempo dulu merupakan bagian dari monarki Kutai. Samarinda sebagai market city (kota dagang), Balikpapan sebagai sentra industri minyak. Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) Ibu Kota Nusantara di Sepaku itu juga dulunya bagian dari Kutai, dengan bukti autentik era kolonial.

Proses pemilihan wakil Kaltim di ibu kota negara—yang de facto masih di Jakarta—memang tidak berdasarkan representasi etnik. Begitu pula dengan pembentukan lembaga tinggi negara yang baru hasil amandemen UUD NRI 1945, yakni Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kuota sama tiap provinsi empat orang tidak berbasis etnik. Pemilu menggunakan mekanisme seperti free market (pasar bebas). Sering dibahas adanya praktik politik transaksional.

Pilihan one man one vote (satu orang satu suara) atas nama demokrasi tidak memedulikan identitas kultural. Wilayah Kaltim sangat luas, tetapi penduduknya relatif kecil. Populasi etnik lokal Kaltim seperti Kutai, Dayak, Banjar, Paser, Berau, digabung pun tetap bukan mayoritas penduduk Kaltim. Kaltim menjadi daerah primadona bagi perantau untuk meningkatkan taraf ekonomi sejak zaman kejayaan industri kayu lapis hingga pertambangan.

Sebuah hal yang paradoks. Sistem politik kenegaraan mengabaikan keterwakilan etnik dan kebudayaan. Namun, pemerintahan negara selalu memiliki program konservasi kebudayaan daerah, termasuk pelestarian bahasa daerah. Pelajaran bahasa daerah tertentu diindoktrinasi melalui mulok di lembaga sekolah dari SD sampai SMA, tetapi bahasa tersebut bukanlah bahasa pergaulan (lingua franca) di banyak tempat, meskipun itu di provinsinya sendiri. Bahasa daerah juga bukan bahasa resmi di birokrasi lokal.

Dengan hanya satu-satunya wakil Kutai di DPD RI—tanpa sama sekali ada wakil di DPR RI—bagaimana mungkin percakapan bahasa Kutai bisa didengar oleh para elite di forum publik Jakarta? Bahkan, jika 12 legislator dan senator Kaltim misalnya ‘ngopi’ bareng, tentu saja bahasa Kutai tak mendapat ruang komunikasi. Andai mereka tergabung dalam satu grup WhatsApp, chat kasual juga tak efektif bila menggunakan bahasa Kutai. Sebelas orang yang lain bukan penutur aktif bahasa Kutai.

Spirit Senator Warlok Kaltim

Urusan implikasi bahasa Kutai hanya satu dari contoh kasus. Yang lebih substansial dan signifikan sebagai dampak dari keterbatasan wakil Kutai adalah spirit pembelaan Kutai dan advokasi Kaltim ketika berhadapan dengan kepentingan pusat. Terdapat hipotesis bahwa individu yang lahir dan bertumbuh di daerah asal leluhurnya cenderung memiliki spirit bakti yang lebih besar kepada lokalitasnya.

Memang tidak menutup kemungkinan outsider atau perantau ada yang antusias membela daerah perantauannya. Yang berkontribusi untuk masyarakat lokal pun ada. Contohnya Atje Voorstad alias Aminah Syukur, seorang keturunan Belanda, yang berperan dan berjasa penting dalam pendidikan di Samarinda. Tentu saja, kuantitas individu yang seperti itu langka. Komparasi pada bidang historiografi, para ahli berpendapat bahwa penulis sejarah lokal itu lebih diutamakan dari intern masyarakat lokal itu sendiri. Insider alias warlok (warga lokal) lebih memahami konteks lokalitas dan memiliki ikatan emosional dengan daerahnya sendiri ketimbang diaspora.

Jumat, 9 Mei 2025 saya hadir di Rektorat Universitas Mulawarman, Samarinda. Bu Aji Mirni Mawarni yang mengundang. Ada acara kunjungan kerja Komite III DPD RI untuk resolusi permasalahan daerah terkait isu pendidikan Unmul. Konkretnya, ada isu aktual tentang penambangan ilegal di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) alias Kebun Raya Unmul Samarinda atau KRUS.

Muhammad Sarip di hutan penelitian Unmul yang ditambang, 8 Mei 2025
Muhammad Sarip di hutan penelitian Unmul yang ditambang, 8 Mei 2025. (Foto Muhammad Sarip)

Aji Mirni Mawarni adalah satu-satunya orang Kutai anggota DPD periode 2024–2029. Dengan perolehan 188.193 suara untuk calon perseorangan nonparpol pada Pemilu 2024, keturunan Sultan Aji Muhammad Sulaiman ini mewakili Kaltim untuk periode kedua. Dukungan suaranya bertambah hampir 60% dari perolehan 120.388 suara pada Pemilu 2019.

Dalam DPD, alumnus S-1 Universitas Trisakti Jakarta dan S-2 Unmul itu tergabung di Komite III. Pelaksanaan lingkup tugas Komite III DPD meliputi 12 bidang, yaitu pendidikan, agama, kebudayaan, kesehatan, pariwisata, pemuda dan olahraga, kesejahteraan sosial, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, tenaga kerja, keluarga berencana, perpustakaan, dan ekonomi kreatif.

Saya bukan bagian dari staf DPD RI. Boleh dicek dan ricek, tidak ada jejak digital maupun fisik saya terlibat dalam kampanye pemilu untuk partai politik dan tokoh mana pun juga. Adapun relasi saya dengan Bu Mawar adalah kolaborasi dalam penulisan sejarah Kutai. Bu Mawar bersama adik kandungnya, yakni Pak Aji Muhammad Mirza Wardana, memfasilitasi kerja profesional dalam menerbitkan buku yang berjudul Histori Kutai: Peradaban Nusantara di Timur Kalimantan dari Zaman Mulawarman hingga Era Republik.

Bu Mawar dan Pak Mirza memfasilitasi pertemuan, wawancara, serta hunting dokumen saya dengan tiga sesepuh Kesultanan Kutai. Kami bertemu Adji Pangeran Hario Atmo Kesumo alias Adji Deck (wafat 2023) di Gunung Lipan, Samarinda. Kemudian menemui Haji Adji Pangeran Ario Jaya Winata alias Adji Boly (wafat 2023) di Jakarta. Berikutnya, Adji Bambang Imbran di Tenggarong.

Dengan fasilitas dari senator DPD pula saya bisa menelusuri arsip mengenai Kesultanan Kutai di Kantor ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) di Jakarta. Pustaka langka bertema Kalimantan yang tidak tersedia di Perpustakaan Kaltim pun bisa saya akses cetakan aslinya di Perpustakaan Nasional di Jakarta.

Penulisan buku Histori Kutai saya kerjakan dengan happy. Meski itu job profesional, saya sangat menikmati prosesnya dan tidak menganggapnya sebagai beban pekerjaan ataupun beban penelitian akademik. Karena itu, interaksi saya dengan Bu Mawar dan kerabatnya tidak sebatas hubungan kerja. Berlaku juga relasi kemanusiaan, terlebih untuk hal-hal yang positif dan berfaedah bagi publik. Apalagi saya jadi punya saluran aspirasi secara langsung tanpa perantara.

Korelasi KRUS dan Kutai

Sebulan sebelum acara DPD RI di Unmul, tepatnya 8 April 2025 saya ke lokasi KRUS yang ditambang. Ada memori khusus tentang area hutan di utara Samarinda ini. KRUS, dulu disebut KRS, tanpa sisipan U (Unmul). Pernah menjadi destinasi wisata favorit warga Kaltim. Tempat yang romantis pula untuk pasangan ngedate. Puncak kunjungan adalah momen Tahun Baru, Lebaran, dan libur sekolah.

Dulu, KRUS seperti mini zoo atau kebun binatang versi minimalis. Ada orang utan, kuda, rusa, buaya, beruang madu, burung enggang, ular phyton, dan lain-lain. Sebelum Kota Samarinda mempunyai banyak opsi venue atau ruang meeting paket hemat, organisasi mahasiswa sering mengadakan kegiatan di lamin (aula) yang ada di KRUS. KRUS juga menyediakan penyewaan sepeda air dan andong. Terakhir pada 2021, tempat rekreasi ini menggunakan brand Taman Borneo.

Jika ditelusuri dari aspek historis, sebenarnya ada korelasi antara lahan KRUS dan Kutai. Lahan itu awalnya adalah HPH dari CV Kayu Mahakam yang dimiliki oleh Ali Akbar Afloes. Ayah dari Ali Akbar adalah Adji Pangeran Afloes, Plt Residen Kalimantan Timur yang melakukan serah terima daerah Kaltim dari Republik Indonesia Serikat (RIS) kepada RI pada 10 April 1950. Pada momen yang sama, kakek dari Bu Mawar, yakni Adji Mashud alias Adji Raden Kariowiti, merupakan Ketua Dewan Kalimantan Timur. AP Afloes dan AR Kariowiti adalah sesama kerabat Kesultanan Kutai yang berhaluan republiken (pendukung perjuangan kemerdekaan RI). Ali Akbar menghibahkan lahannya kepada Unmul sebagai pelaksanaan wasiat dari AP Afloes. Info tambahan, pada 1957 pemerintah RI mengangkat AP Afloes sebagai gubernur pertama Kalimantan Barat.

Awal Mei 2025 muncul pemberitaan bahwa KRUS ditambang. Lima alat berat mengupas lahan KRUS ketika libur Lebaran. Lahan seluas 3,2 hektare digasak untuk diambil batu baranya. Akademisi dan mahasiswa Fakultas Kehutanan Unmul bertindak taktis. Pelaku beserta alat berat kabur.

Kepala Laboratorium Alam KHDTK Diklathut Fahutan Unmul Rustam Fahmy bilang, kejadian di Lebaran ini bukan yang pertama. Agustus 2024 lahan pendidikan Unmul diserobot tambang dan sudah dilaporkan kepada Balai Penegakan Hukum (Gakkum) Kehutanan Wilayah Kalimantan, Seksi Wilayah II Samarinda. Jajaran pemerintah dan aparat merespons dengan pernyataan standar dan normatif.

Penambangan ilegal memang marak di Kaltim. Korban jiwa pun banyak. Tak hanya di pedalaman, tapi juga dalam Kota Samarinda. Bahkan lahan yang ditambang sangat berdekatan dengan permukiman warga. Lebih gereget lagi, lahan kampus ikut ditambang.

Saya menyimak presentasi di ruang rapat lantai 3 Rektorat Unmul itu. Di sebelah Bu Mawar ada Rektor Unmul Profesor Abdunnur, Wakil Ketua Komite III DPD Erni Daryanti, serta Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Kementerian Kehutanan Indra Exploitasia Semiawan. Di barisan audiens hadir kalangan akademisi dan stakeholder terkait.

Akademisi mengungkapkan intimidasi yang menimpa mahasiswanya yang bertugas di lahan diklat Unmul. Disesalkan pula proses hukum yang malah berdampak beban psikologis bagi civitas akademika. Diduga terdapat oknum berseragam dengan kedudukan tinggi yang menjadi beking tambang. Dikhawatirkan terjadi kriminalisasi pada pelapor.

“Ketika terjadi illegal mining atau illegal logging, yang menjadi korban adalah masyarakat daerah. Pembiayanya dari luar, menjanjikan sesuatu yang besar kepada masyarakat. Namun, ketika terjadi masalah hukum, sering kali yang menjadi terdakwa adalah masyarakat itu sendiri. Penegakan hukum harus benar-benar dilakukan supaya tidak terjadi kriminalisasi terhadap masyarakat,” tegas Bu Mawar di sesi akhir sebagaimana saya simak dan rekam video.

Anggaran Kaltim Bukan untuk Provinsi Lain

Usai dialog formal dan keluar ruang rapat, saya berbincang dengan Bu Mawar. Saya bilang begini. Awal Mei 2025 beredar video pernyataan seorang kepala daerah di Pulau Jawa yang ingin mengirimkan para petaninya ke Kalimantan Timur dan meminta Pemerintah Provinsi Kaltim membiayai program transmigrasi tersebut. Kepala daerah itu juga meminta Kaltim membiayai pembukaan kelas khusus untuk mahasiswa dari Kaltim di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Padjadjaran (Unpad).

Sebagian publik paham video yang dimaksud adalah pertemuan dua gubernur di Subang, 4 Mei 2025. Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud menemui Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi untuk mengklarifikasi video viral yang kata kuncinya “gubernur konten”. Dalam Rapat Komisi II DPR RI, 29 April 2025, Rudy Mas’ud menyebut sosok yang sering disapa KDM alias Kang Dedi Mulyadi itu dengan gubernur konten. Cuplikan videonya tersebar luas di media sosial dan Gubernur Kaltim ‘dirujak’ oleh netizen. Akun medsos Pemprov Kaltim ramai dikomentari negatif oleh akun-akun yang mengaku dari Jawa Barat.

“Nanti orang Jawa Barat kita siapin desa-desa di Kaltim yang sudah ada rumahnya, sudah ada areal sawahnya, sudah ada kampung nelayannya, tinggal di sana,” ujar KDM.

“Siap, siap, kami tunggu semuanya, Kang KDM,” jawab Rudy Mas’ud seraya mengacungkan dua jempol.

“Dan untuk meningkatkan sumber daya, nanti ada kelas khusus ITB dan Unpad khusus mahasiswa…” ucapan KDM ditimpali Rudy, “Kalimantan Timur.”

KDM melanjutkan, “Dibiayai oleh….”

“Kalimantan Timur,” sambung Rudy.

Rekaman dialog ini terdapat di channel Youtube Peduli Jabar dengan judul “KDM Bertemu Gubernur Kaltim”. Akun media sosial resmi Pemprov Kaltim juga membuat postingan berjudul “KDM Segera ke Kaltim Susun Buku Sejarah Kutai-Tarumanegara dan Hubungan Sunda-Dayak”.

Permintaan Gubernur Jabar kepada Gubernur Kaltim untuk membiayai petani Jabar dengan penyediaan rumah dan sawah disetujui oleh Rudy Mas’ud. Begitu pula pembiayaan program khusus Kaltim di ITB dan Unpad.

Bagaimana pendapat Bu Mawar tentang program transmigrasi baru dari Jabar yang disetujui oleh Gubernur Kaltim tersebut?

“Saya tidak setuju tenaga kerja bidang pertanian dari daerah lain didatangkan lagi ke Kaltim. Kaltim memang perlu mewujudkankan ketahanan pangan. Tapi jangan memindahkan urusan provinsi lain ke provinsi kita!” tegas Bu Mawar.

Mengenai pembukaan kelas mahasiswa khusus Kaltim di dua kampus Jabar, bagaimana menurut Bu Mawar?

“Saya juga tidak setuju. Lebih baik anggarannya dialokasikan untuk meningkatkan kualitas Unmul sebagai perguruan tinggi milik Kaltim. Fokus pada peningkatan fasilitas, seperti Program Kedokteran, agar lulusannya bisa kembali membangun daerah asal.”

Antara Kutai dan Tarumanegara

Sejak zaman purba hingga era modern, para penguasa paham gunanya sejarah. Narasi sejarah adalah alat otoritas yang paling ampuh untuk legitimasi dan validasi takhta dinasti, rezim, negara, imperium.

Dalam pertemuannya dengan Gubernur Kaltim (4/5/2025), KDM melontarkan asumsi relasi historis antara Kerajaan Tarumanegara dan Kutai Kertanegara.

“Ada pertanyaan yang sampai hari ini masih kuat di pikiran saya. Apa hubungannya Kutai Kartanegara dengan Tarumanegara, dan dengan sejarah Jawa Barat? Saya kalau lihat, baju adatnya mirip. Kemudian ada gamelannya itu mirip. Itu juga menjadi bahan analisis kita. Apakah dulu Kerajaan Pajajaran itu wilayahnya juga sampai Kalimantan, kita tidak tahu juga."

KDM menambahkan praduga persamaan ras antara Sunda dan Dayak. Gubernur Kaltim tidak menjawab soal dari Gubernur Jabar. KDM pun tidak mengejar jawaban. Namun, ungkapan KDM tersebut mengirimkan pesan framing terselubung bahwa sejarah politik masa silam Tarumanegara dan Pajajaran lebih superior ketimbang Kutai. Simpelnya, relasi antara Jawa Barat dan Kalimantan Timur adalah antara pihak kolonialis dan daerah koloni.
 
KDM tidak menyebutkan sumber asumsinya. Namun, bisa dipahami bahwa asumsi Tarumanegara menghegemoni Kutai muncul dari naskah Wangsakerta. Naskah ini diklaim selesai ditulis pada 1698 oleh sekelompok orang di Cirebon. Pada tahun 1980-an dipopulerkan oleh seorang dosen sekaligus sastrawan yang bernama Ayatrohaedi. Dikisahkan bahwa Aswawarman merupakan putra dari Dewawarman, raja pertama Salakanagara di Jawa Barat. Aswawarman kemudian ‘ekspansi’ ke Kalimantan dan menjadi raja dengan menikahi putri dari Kundungga. Dari pernikahan mereka lahirlah Mulawarman, yang kemudian melanjutkan takhta.
 
Pada 1988 ANRI mengumumkan hasil uji radio karbon terhadap kertas fisik naskah Wangsakerta. Kulit kayu sebagai media penulisannya baru berusia sekitar 1 abad. Terjadi kebohongan di sini. Sejarawan Jawa Barat Nina Herlina Lubis menginformasikannya dalam Jurnal Humaniora Volume XIV Nomor 1/2002 pada artikel berjudul “Kontroversi tentang Naskah Wangsakerta”.

Dari metode kritik ekstern atau uji fisik saja, sebenarnya sudah cukup untuk mengeliminasi naskah Wangsakerta sebagai sumber sejarah. Namun, supaya lebih mencerahkan publik, kritik intern atau uji materi substansi juga dilakukan. Ahli epigrafi Profesor Boechari telah meneliti kandungan teks Wangsakerta. Menurutnya, banyak istilah modern yang ditulis dalam Wangsakerta, yang terminologinya belum ada pada zaman lampau. Penceritaannya juga sangat detail sampai mencantumkan angka tahun tiap peristiwa sebelum prasasti yupa diukir di Muara Kaman abad ke-5. Boechari menyimpulkan bahwa kasus naskah Wangsakerta mirip dengan skandal kepalsuan Buku Harian Adolf Hitler.

Di Indonesia, Boechari dianggap sebagai begawan atau suhu alias expert bidang epigrafi dan arkeologi sepeninggal Poerbatjaraka. Boechari menyatakan, orang yang mengetahui bahasa Sanskerta—walaupun hanya sedikit—lalu membaca satu dari prasasti yupa beraksara Pallawa, dapat melihat makna teks bahwa Aswawarman adalah anak laki-laki kandung Kundungga, bukan menantunya. Jadi, cerita perluasan wilayah kerajaan di Jawa Barat sampai ke Kalimantan Timur adalah dongeng belaka.

Sejarah selalu punya tradisi membongkar kepalsuan sejarah dan orang-orang yang memalsukannya. (*)

Catatan Penulis

Naskah ini mengandung kata kunci: Kutai, Tarumanegara, Pajajaran, Sunda, Dayak, Wangsakerta, KRUS, Aji Mirni Mawarni, Dedi Mulyadi, Rudy Mas’ud. Naskah ditulis 100% tanpa bantuan platform Generative AI seperti ChatGPT dan sejenisnya.

Muhammad Sarip
Sejarawan Publik


*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co



Berita Lainnya