Opini

Ketika Menuntut Ilmu Tersekat Zonasi

Kaltim Today
26 Juni 2021 11:09
Ketika Menuntut Ilmu Tersekat Zonasi
Irma Ismail

Oleh: Irma Ismail (Aktivis Muslimah dan Penulis Balikpapan)

Sistem zonasi, diimplementasikan pertama kali pada 2016 secara bertahap yang diawali dengan penggunaan zonasi untuk penyelenggaraan ujian nasional. Kemudian pada 2017, sistem zonasi untuk kali pertama digunakan saat PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) dan pada 2018 melalui Permendikbud Nomor 14/2018, PPDB ini disempurnakan.

Kebijakan ini diambil karena adanya “kasta" dalam sistem pendidikan selama ini. Munculnya istilah sekolah favorit menjadikan hanya sekolah tertentu saja yang diburu dan ini harus diubah, jadi zonasi hanya untuk penempatan saja. Menurut Hamid Muhammad (Dirjen Dikdasmen), pemanfaatan zonasi akan diperluas bukan hanya untuk UN dan PPDB tetapi ke depannya untuk mengoptimalkan potensi pendidikan dasar dan menengah.(kompas.com, 5/6/2018).

Ada empat jalur yang digunakan dalam proses PPDB. Jalur zonasi, afirmasi, prestasi dan perpindahan. Dari semua jalur yang ada,  jalur zonasi inilah yang seringkali menimbulkan permasalahan dalam proses PPDB, hampir merata di setiap wilayah, termasuk di Balikpapan.  

Ketua komisi IV DPRD Balikpapan, Muhammad Taqwa menyampaikan bahwa, penerapan sistem zonasi dalam PPDB online di Balikpapan masih belum didukung oleh ketersediaan fasilitas pendidikan yang merata, dan pemerintah harus berupaya untuk membenahi agar berbanding lurus antara jumlah anak didik dengan jumlah fasilitas yang tersedia, karena pendidikan adalah hak semua anak bangsa (kapefm.com, 20/6/2021).

Jalur zonasi adalah sistem yang mengatur proses penerimaan siswa baru sesuai dengan wilayah tempat tinggal. Dari definisi ini, maka sebenarnya ini adalah sebuah cara yang bagus untuk memudahkan siswa dalam menuntut ilmu, jarak sekolah dan rumahnya juga dekat atau berada dalam jangkauan tempat tinggal mereka, sehingga orangtua juga tidak terlalu khawatir di samping akan menghemat waktu perjalanan ke sekolah. Tetapi sayangnya itu semua bisa diterapkan jika ketersediaan sekolah serta faktor penunjangnya merata di semua wilayah termasuk tenaga pendidiknya.

Dan faktanya, kondisi sekarang tidak begitu. Besaran luas antar setiap wilayah tidaklah sama. Terkadang ada rumah calon siswa didik yang dekat dengan sekolah tetapi secara administrasi berbeda wilayah maka beda zonasi. Begitu juga dengan sebaran penduduk yang berbeda serta ketersediaan jumlah sekolah yang ada memang belum mencukupi dan belum merata, termasuk fasilitas penunjang sekolah yang tidak dimiliki semua sekolah.

Adanya fasilitas penunjang ternyata berpengaruh terhadap minat siswa di samping lokasi sekolah yang strategis atau berada di tengah kota. Inilah salah satu yang membuat adanya beda “kasta” hingga memunculkan istilah “sekolah favorit”, ada jual nilai yang tinggi.

Kesan sekolah favorit memang tidak bisa begitu saja dihilangkan, sehingga orangtua berlomba-lomba agar anaknya bisa masuk. Akibatnya kegelisahan timbul tatkala tidak bisa masuk sekolah negeri atau sekolah negeri yang favorit. Jika tidak bisa masuk, maka sekolah swasta menjadi pilihan dengan biaya yang pastinya lebih besar. Ada harga ada rupa, sekolah swasta dengan fasilitas penunjang, jumlah siswa perkelas juga tidak banyak  tentunya juga akan merogoh kantong yang dalam, ada biaya lebih yang harus dikeluarkan dari sekolah negeri dan ini jelas akan membebani masyarakat yang kurang mampu.

Inilah fakta yang terjadi, kehidupan sekuler kapitalistik telah menggelayuti kehidupan kita. Semua berorientasi pada materi, menjadikan minimnya peran negara dalam hal pemenuhan kebutuhan mendasar. Kebijakan yang diambil tidak diukur dari ketersediaan yang ada, dan berujung pada pihak swasta yang mengambil alih.  Sekolah pun akan menjadi lahan untuk mencari keuntungan secara materi.

Kehidupan kapitalis pun menyeret peran sekolah, kemiskinan yang terjadi dan jurang yang melebar mengakibatkan kesenjangan sosial yang cukup besar, dan mempunyai sederet gelar adalah salah cara untuk lebih mudah mendapatkan pekerjaan dan memperbaiki taraf hidup. Ya, orientasi sekolah pun telah berubah, tak sedikit yang akhirnya memfasilitasi untuk mendapatkan selembar ijazah.

Minimnya pengetahuan orangtua terhadap tanggung jawab pendidikan kepada anak membuat tak sedikit orangtua yang bergantung penuh kepada sekolah. Dari sini maka konsep berpikir tentang arah tujuan pendidikan antara negara dan orangtua haruslah sejalan, dimana negara menyediakan fasilitas yang memadai sebelum menerbitkan kebijakan yang pada akhirnya menimbulkan masalah terus.

Jika dibandingkan dengan sistem Islam, maka akan jauh berbeda. Sistem Islam menempatkan pendidikan adalah salah satu kebutuhan mendasar yang wajib dipenuhi oleh negara, seluruh warga negara mendapatkan hak yang sama. Artinya ketersediaan fasilitas penunjang adalah tanggung jawab negara bukan tanggung jawab sekolah masing-masing. Dasar dari sistem pendidikan Islam berlandaskan kepada aqidah. Aspek keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia akan ditanamkan pada peserta didik di samping peran orangtua yang juga tidak boleh diabaikan. Maka setiap pembelajaran yang berlaku akan selalu dikaitkan dengan peristiwa dalam kehidupannya.

Dalam sistem Islam, negara memandang bahwa anak bangsa adalah aset negara, harta yang tak ternilai, karena di pundak mereka lah estafet keberlangsunagn negara akan terus ada. Menjadikan mereka tidak hanya cerdas tapi juga beriman dan berakhlak mulia. Maka negara akan memberikan yang terbaik bagi setiap anak berdasarkan minat dan kemampuannya, termasuk menyediakan sekolah atau lembaga pendidikan agar tercetak generasi yang unggul. Pada dasarnya sekolah hanyalah salah satu sarana atau wadah dalam mencari ilmu, jadi jelas bahwa tujuan sekolah adalah belajar mencari ilmu dan menerapkan dalam kehidupannya.

Sistem pendidikan Islam telah terbukti  menghantarkan pada peradaban gemilang. 14 abad lamanya dalam naungan sistem pemerintahan Islam, menghasilkan intelektual yang berpengaruh besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan hingga pada masa sekarang. Sebut saja Ibnu Sina dalam bidang kedokteran, Alkhawarizmi dalam bidang matematika, Al Farizi dalam bidang astronomi dan lainnya.

Maka solusi untuk permasalahan ini adalah kembali kepada konsep menyeluruh yang menjadikan negara sebagai pengatur urusan umat, dimana negara akan memaksimalkan dalam pemenuhan kebutuhan mendasar, tidak membiarkan masyarakat dalam ketidakpastian. Di samping itu negara dengan sistem Islam akan bersifat mandiri sehingga terikat hanya pada hukum Syara’, dari hadits “seorang Imam/kepala Negara adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan tersebut”. (HR. Bukhari)

Oleh karena itu, dalam masalah pendidikan ini maka kebijakan yang dikeluarkan sejalan dengan tujuan dari pendidikan, menjadikan siswa yang berakhlakul karimah, menjadikan standar perbuatannya adalah halal dan haram.(*)

*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co



Berita Lainnya