Opini
Jejak Sejarah Dwifungsi Tentara di Kalimantan Timur 1959-1965

Oleh: Muhammad Sarip (Sejarawan Publik)
SEBUAH frasa "Dwifungsi ABRI" tertulis di buku Histori Kutai: Peradaban Nusantara di Timur Kalimantan dari Zaman Mulawarman hingga Era Republik. Istilah ini diungkapkan oleh Profesor Asvi Warman Adam dalam epilog yang ditulisnya untuk buku terbitan 2023 tersebut. Konteksnya sebagai latar belakang Panglima Daerah Militer (Pangdam) IX Mulawarman, Kolonel Soehario Padmodiwirio alias Hario Kecik, ketika mengintervensi pemilihan wali kota Samarinda tahun 1960 dan 1961.
Prof Asvi tertarik mengomentari teks saya di buku Histori Kutai pada halaman 227. Saya menukil riset Burhan Magenda bahwa Hario Kecik berkepentingan dengan jabatan wali kota Samarinda karena dia mengincar posisi gubernur Kalimantan Timur (1991: 55). Magenda menerbitkan risetnya di New York menjadi buku berjudul East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy. Saya menambahkan data dari pengakuan Hario Kecik bahwa pada 1961 dirinya berperan aktif dalam penangkapan Gubernur Kalimantan Timur Aji Pangeran Tumenggung Pranoto karena tuduhan korupsi APBD.
Prof Asvi berbeda perspektif dengan saya perihal keinginan Hario Kecik mengincar posisi Gubernur Kaltim. “Saya tidak melihat dalam teks Magenda diungkapkan hal itu. Kecik ingin mempraktikkan dwifungsi ABRI yang digagas Jenderal Nasution seperti ditulis dalam memoarnya. Ia ingin jabatan wali kota dan gubernur diduduki oleh tentara,” begitu tulis Prof Asvi di halaman 283 buku Histori Kutai.
Dalam pemahaman saya, figur Hario-lah yang ingin menjadi Gubernur Kaltim. Sedangkan menurut Prof Asvi, Hario tidak ingin menjadi gubernur, tetapi dia maunya jabatan tersebut dipegang oleh tentara. Boleh jadi pendapat Prof Asvi memang benar dan saya keliru menafsirkan riset Magenda tentang hasrat Hario Kecik terhadap jabatan kepala daerah di Kaltim. Meskipun begitu, terdapat kesamaan konsep bahwa militer menginginkan jabatan kepala daerah.
Sebagai sejarawan bereputasi expert, Prof Asvi memberikan insight yang kontekstual mengapa Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di Kaltim mengincar jabatan kepala daerah. Lebih spesifik lagi, mengapa tentara berkepentingan dan leluasa mengintervensi urusan politik dan pemerintahan di daerah Kaltim pada era Demokrasi Terpimpin tersebut. Jawabannya adalah implementasi dwifungsi tentara.
“Kamu ialah panglima pertama yang memperkarakan seorang gubernur tentang korupsi.” Begitu pujian Jenderal Abdul Haris Nasution kepada Hario Kecik, sebagaimana dituturkan Hario dalam bukunya yang berjudul Pemikiran Militer 2 Sepanjang Masa Bangsa Indonesia (2009: 177).
Nasution merespons positif tindakan Hario Kecik. Padahal jika dilihat dari perspektif hukum formal, perbuatan Hario di luar tugas pokok dan fungsinya. Dari jejak sejarahnya, Nasution memang seorang perwira ABRI yang sejak usia 30-an tahun sangat aktif dalam urusan politik kenegaraan. Saking aktifnya, Nasution tercatat sebagai pelopor aksi demonstrasi gabungan tentara dan warga sipil terhadap Presiden Sukarno di Istana Negara pada 17 Oktober 1952. Tak main-main, pasukan tentara Nasution berunjuk rasa dengan membawa meriam dan mengarahkan moncongnya ke istana.
Demo Nasution pada era Demokrasi Liberal itu menuntut agar Presiden Sukarno membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS). Nasution berpemikiran, dua pertiga anggota parlemen merupakan para pendukung negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS) yang diiniasi Belanda. Karena itu, selain pembubaran parlemen, Nasution juga menuntut agar segera dilaksanakan pemilihan umum.
Presiden Sukarno memang tidak mengabulkan tuntutan Nasution. Bung Karno tidak kalah dengan gertakan Nasution. Bahkan Nasution dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Namun, DPRS yang merasa kurang legitimate, kemudian mempercepat penyusunan regulasi tentang pemilu. Beberapa bulan setelah demo itu, lahir Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Umum. Dua tahun berikutnya, pemilu pertama digelar.
Aksi demo Nasution 17 Oktober 1952 menimbulkan polemik di kalangan militer sendiri. Ada yang pro, ada yang kontra. Satu di antara tentara yang bersimpati dengan gerakan Nasution adalah Hario Kecik, yang saat itu masih berpangkat Mayor. Hario membentuk organisasi Ikatan Perwira Republik Indonesia (IPRI). Dalam pendirian IPRI, Hario berkolaborasi dengan tiga perwira menengah yang kelak diangkat sebagai Pahlawan Revolusi, yaitu Siswondo Parman, Sutoyo Siswomiharjo, dan Donald Isaac Panjaitan.
Dalam situasi nasional yang tidak stabil dan belum adanya regulasi, kelompok IPRI kemudian melakukan operasi antikorupsi. Hario Kecik memimpin kegiatan tentara menangkapi para pengusaha yang dianggap berkolusi dengan pejabat sehingga merugikan masyarakat. Gerakan pemberantasan korupsi versi Hario ini tentu saja tidak memiliki landasan yuridis. Namun, sebagai aparatur bersenjata, secara faktual Hario memiliki kekuasaan untuk melakukan Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
Selain sebagai alat pertahanan dan keamanan negara, tindakan Nasution dan Hario Kecik pada dekade 1950-an menunjukkan peranan tentara sebagai kekuatan sosial politik sekaligus penegak hukum. Pasca-Pemilu 1955 kasus demo Nasution dianggap selesai dan ia kembali diangkat sebagai KSAD. Nasution mulai menjalin kompromi dengan Presiden Sukarno.
Pada 12 November 1958, Nasution mencetuskan konsep “Front Lebar” sebagai solusi atas fungsi tentara di Indonesia. Konsep ini berarti tentara berfungsi dobel, yaitu sebagai kekuatan hankam dan kekuatan sosial politik. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante (lembaga perumus Undang-Undang Dasar) hasil pemilu, dapat terlaksana berkat dukungan penuh dari militer.
Konsep “Front Lebar” kemudian populer dengan istilah “Jalan Tengah” dan divalidasi dengan pencetusan doktrin Tri Ubaya Cakti pada Seminar Angkatan Darat I, 2–9 April 1965. Doktrin ini terdiri dari keamanan nasional, kekaryaan, dan pembangunan. Seminar Angkatan Darat II pada 25–31 Agustus 1966 kemudian merumuskan konsep Dwifungsi ABRI sebagai dua kekuatan, yaitu militer dan sosial politik.
Sebelum Dwifungsi ABRI diperkenalkan secara konseptual, tentara sudah lebih dulu mempraktikkannya. Khusus dalam teritorial Kaltim, dwifungsi tentara pada Orde Lama berdampak signifikan. Selain pemenjaraan gubernur pertama Kaltim, Pangdam Hario Kecik dapat menempatkan tentara untuk menjabat wali kota. Dua Wali Kota Samarinda dari 1960 hingga 1965, yakni Kapten Soedjono dan Letkol Ngoedio, merupakan tentara pilihan Hario Kecik. Hario juga menyingkirkan bangsawan Kutai, Aji Raden Sayid Mohammad sebagai Wali Kota pertama Balikpapan, lalu menggantinya dengan Letkol Bambang Sutikno pada 1963.
Hario Kecik tak sekadar menjabat Pangdam di Kaltim periode 1959–1965. Dia juga menempati jabatan sipil sebagai Ketua Front Nasional Kaltim. Hario berdalih, bukan dia yang menginginkan jabatan tersebut, melainkan hasil pemilihan di Kaltim. Front Nasional merupakan lembaga bentukan Presiden Sukarno dalam rangka pembebasan Irian Barat dan dilanjutkan ke operasi Dwi Komando Rakyat (Dwikora) alias Konfrontasi Ganyang Malaysia.
Di tingkat pusat, Front Nasional diketuai oleh Bung Karno. Sementara di tingkat daerah, khususnya Kaltim, Hario menjadi ketuanya. Pada saat yang sama, Gubernur Kaltim hanya sebagai anggota pleno Front Nasional Kaltim. Kedudukan gubernur lebih rendah ketimbang anggota pengurus harian Front Nasional Kaltim. Dengan demikian, kekuasaan Pangdam Hario sangat besar di Kaltim.
Dengan penangkapan APT Pranoto, Pangdam Hario berhasil menjatuhkan jabatan gubernur Kaltim. Namun, dia tidak dapat menempatkan tentara sebagai gubernur baru pengganti Pranoto. Hario terpaksa menyetujui pilihan DPRD Kaltim yang mengusung Abdoel Moeis Hassan pada 1962. Untuk kasus ini, riset Magenda mengungkap bahwa Hario sangat memperhitungkan kekuatan eks pejuang alias kaum Republiken dan veteran Perang Kemerdekaan di Samarinda yang didominasi komunitas Banjar, yang mendukung Abdoel Moeis Hassan.
.jpg)
Perhitungan Hario terhadap kekuatan entitas Banjar Samarinda juga menghalangi upaya militer untuk membakar keraton Kutai di Tenggarong pada Agustus 1964. Polisi Banjar yang dikirimkan oleh Gubernur Abdoel Moeis Hassan berhasil mencegah pembakaran keraton. Untuk kedetailan deskripsi dan analisis mengenai entitas Banjar di Kaltim, saya bersama partner penulis yang bernama Nanda Puspita Sheilla sedang mempersiapkan penerbitan buku Sejarah Banjar di Kalimantan Timur.
Namun, sebelumnya dengan dalih subversif alias makar, pada Agustus 1964 Hario yang telah berpangkat Brigadir Jenderal memerintahkan tentara untuk menangkap Sultan Adji Mohamad Parikesit, Bupati Kutai Adji Raden Padmo, aktivis Masyumi Adji Raden Kariowiti, dan sejumlah bangsawan Kutai. Mereka ditahan di penjara militer di Balikpapan tanpa proses peradilan.
Jabatan Hario sebagai Pangdam IX Mulawarman berakhir Februari 1965. Letjen Ahmad Yani sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) mengirim Hario ke Uni Soviet untuk sekolah militer. Pangdam pengganti Hario, yakni Brigjen Soemitro Sastrodihardjo, melanjutkan aksi represif terhadap Kesultanan Kutai.
Pada 20 Mei 1965 Pangdam Soemitro berkunjung ke keraton Kutai di Tenggarong. Gubernur Moeis Hassan tidak ikut rombongan. Soemitro berpidato di depan istana Kutai yang dihadiri masyarakat. Atribut Sultan Kutai seperti baju kebesaran, mantel, setorong, payung ubur-ubur, diangkut ke Samarinda.
Jumat, 21 Mei 1965, masyarakat dikumpulkan di Lapangan Kinibalu Samarinda (sekarang menjadi lokasi Masjid Al-Mu’min di belakang Kantor Gubernur). Satu di antara keluarga Sultan yang hadir adalah Adji Pangeran Hario Atmo Kesumo alias Adji Deck, cucu Sultan Parikesit. Kala itu Adji Deck berusia 25 tahun.
Saya mewawancarai Adji Deck pada 20 Maret 2022, setahun sebelum wafat. Dari tahanan di Tenggarong, Adji Deck dan para kerabat diangkut ke Samarinda. Mereka diberi tahu keperluannya untuk menghadiri rapat raksasa oleh militer. Setibanya di Lapangan Kinibalu, ternyata Adji Deck dan masyarakat disuruh menyaksikan aksi pembakaran benda-benda pusaka Kutai.
Wartawan Kantor Berita Antara, Hiefnie Effendy, memotret detik-detik pembakaran itu dari jarak dekat. Sesudahnya, Pangdam Soemitro menggelar konferensi pers yang menerangkan maksud dan tujuan pembakaran pusaka Sultan Kutai.
“Apa yang telah terjadi itu catatlah sebagai sejarah. Kita mengganyang feodalisme, tetapi yang kita ganyang itu bukan manusianya, yang kita ganyang adalah sistemnya.” Demikian inti penjelasan Soemitro sebagaimana teks yang terketik di bawah foto dokumentasi.
Begitulah peristiwa tempo dulu mengedukasi. Sebelum Orde Baru lahir, di Bumi Ruhui Rahayu tentara sudah menjalankan dwifungsi. Hal positif mungkin upaya pemberantasan korupsi. Namun, itu di luar regulasi dan tupoksi. Dampak negatifnya adalah abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) dan tragedi. Sejarah bukanlah tentang gagal move on, tapi sekali lagi, sejarah itu tentang edukasi. (*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Related Posts
- Andi Satya Tanggapi Positif Gelombang Aksi Massa di DPRD Kaltim, Sebut Publik Berhak Sampaikan Pendapat di Muka Umum
- Kritis Akibat Industri Ektraktif dan Alih Fungsi Lahan, XR Bunga Terung Desak Penyelamatan Serius Sungai Mahakam
- Berbagi di Bulan Ramadan, PKBI Kaltim Bagikan 400 Kupon Gratis Pakaian Layak Pakai untuk Warga Samarinda
- Dishub Kaltim Perketat Pengawasan Angkutan Umum Jelang Mudik Lebaran 2025
- Puncak Arus Mudik di Terminal Tipe A Samarinda Seberang, Diprediksi Meningkat H-3 Lebaran