Nasional

Kompleks Industri Nikel di Maluku Utara, Milik Perusahaan China, Dituduh Langgar Hak Asasi dan Sebabkan Deforestasi

Kaltim Today
22 Januari 2024 08:49
Kompleks Industri Nikel di Maluku Utara, Milik Perusahaan China, Dituduh Langgar Hak Asasi dan Sebabkan Deforestasi
Deforestasi di wilayah penambangan nikel di Halmahera, Maluku Utara. (Foto: Dokumentasi Climate Rights International/Benar News)

Kaltimtoday.co, Maluku - Kompleks industri nikel bernilai miliaran dolar di Maluku Utara, yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan asal China, telah dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia dan menyebabkan deforestasi yang signifikan. Hal ini terungkap dalam laporan terbaru dari Climate Rights International (CRI), yang dirilis Rabu (17/1).

Laporan berjudul “Nikel Dikeduk: Dampak Industri Nikel di Indonesia Pada Manusia dan Iklim” mengungkapkan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut, bekerja sama dengan Polri dan TNI, telah melakukan penyerobotan lahan dan intimidasi terhadap penduduk lokal.

Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), salah satu lokasi utama proses nikel, dikatakan menjadi sumber ekspor besar bagi kebutuhan nikel dalam teknologi energi terbarukan, termasuk baterai kendaraan listrik.

Krista Shennum dari CRI menegaskan pentingnya transisi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan, namun menyoroti bahwa industri nikel tidak boleh mengulangi praktik merusak lingkungan yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.

IWIP adalah gabungan tiga perusahaan besar China, yaitu Tsingshan Holding Group, Huayou Cobalt Group, dan Zhenshi Holding Group. Tsingshan, sebagai pemilik 40% saham IWIP, juga terlibat dalam investasi besar di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), yang telah menuai kritik akibat serangkaian kecelakaan berakibat fatal.

Adi Reynaldi dari CRI menyoroti tanggung jawab produsen otomotif global, seperti Tesla, Ford, dan Volkswagen, untuk memastikan nikel yang digunakan dalam produk mereka tidak melanggar HAM atau merusak lingkungan.

“Kami berharap perusahaan kendaraan listrik ini juga bisa berani mengambil sikap untuk tidak membeli nikel dari perusahaan bermasalah,” kata Adi dikutip dari BenarNews.

Max Sigoro, seorang nelayan lokal, dan Maklon Lobe, seorang petani, mengungkap dampak buruk industri nikel di Maluku Utara pada mata pencaharian dan lingkungan mereka.

“Setelah ada perusahaan ini memancing saja tidak bisa. Jadi kalau memancing di sana dekat perusahaan, kami selalu dikejar-kejar,” terang Sigoro seperti ditulis laporan tersebut.

“Air laut juga banyak limbah. Air ini berubah dari IWIP. Air lautnya sudah jadi kotor. Kapal-kapal itu membuang limbah ke laut,” tambahnya.

CRI melaporkan bahwa aktivitas penambangan di kawasan ini telah menyebabkan deforestasi besar-besaran, dengan hilangnya lebih dari 5.000 hektare hutan tropis dan pelepasan karbon dioksida yang signifikan.

Selain itu, CRI melaporkan penambangan nikel di daerah tersebut telah menjadi penyebab deforestasi dan hilangnya keragaman hayati secara signifikan.

Setidaknya 5.331 hektare hutan tropis telah ditebang di dalam konsesi pertambangan nikel di Halmahera, menyebabkan hilangnya sekira 2,04 metrik ton gas rumah kaca (CO2e) yang sebelumnya tersimpan dalam bentuk karbon di dalam hutan-hutan tersebut.

Selain ketiga perusahaan China pemegang saham IWIP, kian banyak perusahaan yang telah mengumumkan rencana membangun fasilitas industri di kawasan itu untuk memproduksi bahan nikel untuk baterai mobil listrik.

IWIP, yang telah membangun lima pembangkit listrik tenaga uap dan berencana untuk lebih banyak lagi, dikritik karena menggunakan batu bara kualitas rendah dari Kalimantan sebagai sumber energi.

Parid Ridwanuddin dari WALHI menyoroti kerusakan lingkungan akibat proyek nikel di Sulawesi dan Maluku Utara, dengan potensi kerusakan lebih lanjut yang cukup besar.

“Jika proyek nikel ini dilanjutkan, berpotensi merusak 700.000 ribu hektar hutan alam,” jelas Parid kepada BenarNews.

Parid menambahkan kerusakan lingkungan di Maluku Utara cepat terjadi karena wilayah itu terdiri dari pulau-pulau kecil yang rentan yang membedakannya dengan wilayah Jawa.

“Wilayah Maluku Utara terdiri dari 70% lautan. Kalau lautnya tercemar, maka daratnya juga akan hancur,” jelasnya.

Muhammad Andri Perdana dari Celios mendesak pemerintah untuk mengevaluasi aturan dalam proyek-proyek strategis nasional, agar tidak merugikan masyarakat setempat dan mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas.

[TOS | BENAR NEWS]



Berita Lainnya