Opini
Krisis Iklim: Pasca Bencana Sumatera
Oleh: Doddy S. Sukadri, Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Hijau (YMH)
Menurut laporan terakhir Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Indonesia, banjir bandang dan tanah longsor di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara telah menelan korban lebih dari seribu jiwa, dan lebih dari 200 orang masih dinyatakan hilang. Bencana tersebut menyebabkan ratusan ribu orang mengungsi, merusak sekitar 300 gedung perkantoran dan lebih dari 500 fasilitas pendidikan, serta menghancurkan 150 jembatan. Kerugian ekonomi diperkirakan mencapai Rp 69 triliun (sekitar USD 4 miliar).
Sayangnya, banyak yang hanya mengaitkan bencana ini dengan fenomena hidrometeorologi biasa, tanpa menyadari bahwa sesungguhnya perubahan iklimlah yang menjadi penyebab utamanya. Meningkatnya suhu global telah memicu perilaku Siklon Senyar yang ada di daerah tropis. Ada sesuatu yang tidak biasa diperlihatkan oleh siklon tersebut.
Sebelum bencana terjadi, para ahli meteorologi sebelumnya telah mengamati tanda-tanda Siklon Senyar muncul di Selat Malaka, sebelah timur Aceh. Meskipun siklon biasanya mengikuti lintasannya, Siklon Senyar secara tidak biasa berzigzag. Ketika mendekati daratan, kekuatannya seharusnya melemah, namun badai tersebut tetap kuat. Akibatnya, hujan lebat yang berlangsung selama beberapa hari mengguyur pulau Sumatra telah menyebabkan peristiwa tersebut menjadi salah satu bencana terkait cuaca yang paling mematikan dalam sejarah kebencanaan iklim di Indonesia.
Analisis dari World Weather Attribution, sebuah konsorsium ilmuwan iklim, menemukan bahwa intensitas episode hujan lebat lima hari di Sumatera telah meningkat sebesar 28-160% di wilayah yang terdampak Badai Senyar akibat pemanasan global yang disebabkan oleh aktivitas manusia (anthropogenic emission).
Bencana Sumatera adalah salah satu dampaknya yang paling buruk. Selain itu, badai topan ini juga memiliki dampak yang lebih luas dan berkelanjutan terhadap kesehatan. Studi terbaru menemukan bahwa kematian akibat diabetes, misalnya, dan penyakit ginjal meningkat setelah badai semacam itu terjadi.
Waspadai Badai Topan Berikutnya
Badai topan seperti Senyar telah menjadi realitas baru yang mengkhawatirkan bagi Indonesia dan wilayah Asia Tenggara lainnya. Selain menyebabkan curah hujan ekstrim yang belum pernah terjadi sebelumnya, badai ini telah menyebabkan hilangnya nyawa manusia yang luar biasa besar, dan gangguan yang signifikan terhadap kesehatan dan kegiatan ekonomi.
Kejadian banjir cukup umum terjadi di Indonesia setiap tahun selama musim hujan. Namun, ketinggian banjir biasanya mencapai sekitar 1 kaki hingga maksimum 2 kaki. Dalam bencana Sumatera, yang terjadi di beberapa daerah adalah ketinggian air melebihi 14 hingga 15 kaki. Bahkan menutupi lantai dua rumah bertingkat sehingga menyulitkan bantuan bagi orang-orang yang terdampak. Selain itu, frekuensi kejadian bencana iklim seperti ini dan luasnya areal yang terdampak cenderung meluas dari waktu ke waktu.
Para peneliti perubahan iklim dan klimatologi mengamati catatan cuaca untuk menilai bagaimana periode hujan lebat telah berubah seiring dengan pemanasan global sebesar 1,3 derajat C seperti yang terlihat saat ini, dan menemukan peningkatan intensitas dampak perubahan iklim yang signifikan. Rentang perkiraan, dari 28-160% di wilayah yang terkena dampak Siklon Senyar disebabkan oleh beragam rangkaian data meteorologi yang digunakan.
Bagaimana ke Depan?
Indonesia perlu menyampaikan dengan tegas urgensi strategi perubahan iklim. Hingga saat ini, pertumbuhan ekonomi yang dicapai seringkali tergerus oleh biaya pemulihan pasca bencana. Belum lagi meningkatnya kerugian sosial dan ekologis yang disebabkan oleh dampak iklim.
Aksi adaptasi perubahan iklim harus diposisikan sebagai pilar utama dalam mengatasi risiko bencana dalam jangka panjang, memastikan bahwa wilayah dan masyarakat benar-benar tangguh terhadap dampak perubahan iklim.
Saat ini Indonesia sesungguhnya telah memiliki berbagai alat dan sistem yang canggih untuk merespon bencana iklim, termasuk sistem peringatan dini yang terus dikembangkan. Untuk itu, Pemerintah telah membangun berbagai skema pendanaan baik melalui sumber pembiayaan dalam negeri maupun luar negeri. Tantangannya adalah bagaimana memanfaatkan sumber pendanaan yang tersedia secara efektif untuk mendukung prioritas aksi iklim yang benar-benar dibutuhkan masyarakat.
Narasi ini sangat penting untuk disuarakan agar masyarakat dapat secara langsung merasakan manfaat dari aksi iklim. Pendekatan ini juga berfungsi sebagai koreksi terhadap narasi yang belakangan ini terlalu didominasi oleh perdagangan karbon.
Perdagangan karbon harus dilihat sebagai hasil akhir dari upaya serius untuk melindungi hutan, menerapkan kebijakan efisiensi energi, dan mengembangkan energi terbarukan, bukan semata-mata untuk keuntungan ekonomi belaka. Jika narasi dibalik, masyarakat dan pemangku kepentingan akan memandang isu iklim sebagai sesuatu yang jauh dari kebutuhan dan logika kehidupan sehari-hari.
Masyarakat sipil harus mampu mengembangkan inovasi dan meningkatkan aksi2 iklim melalui pembelajaran, pencapaian yang terukur, dan akuntabilitas yang jelas. Dengan cara seperti ini, persiapan menghadapi bencana iklim di masa depan akan lebih kuat dari sebelumnya.
Jika ekosistem ini terbentuk, pemerintah akan lebih mudah merumuskan kebijakan perubahan iklim dan mengambil tindakan yang lebih tepat, kuat, komprehensif, dan relevan dengan konteks regional serta memenuhi kepentingan adaptasi global.
Namun demikian, perlu dicatat bahwa faktor yang memperburuk keadaan bukan hanya kondisi iklim ekstrem, tetapi terutama tata kelola kelembagaan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. Mereka terus mengabaikan langkah-langkah adaptasi yang telah jelas direkomendasikan oleh PBB, khususnya melalui United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang seharusnya menjadi landasan utama untuk membuat perencanaan aksi adaptasi.
Ada dua landasan dasar dalam membuat perencanaan adaptasi. Pertama adalah Penilaian Lingkungan Strategis, yang disebut KLHS, dan kedua adalah Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL). Yang pertama dilakukan pada tingkat kebijakan, rencana, dan program untuk memastikan pembangunan berkelanjutan; sedangkan yang kedua dilakukan pada tingkat proyek untuk menilai dampak spesifik dari kegiatan bisnis.
Dalam banyak kasus, baik KLHS maupun AMDAL sering diperlakukan hanya sebagai formalitas birokrasi, kurang integritas dan komitmen untuk menjadikannya sebagai instrumen perlindungan lingkungan yang mengikat.
Lebih lanjut, rendahnya kesadaran lembaga-lembaga yang berwenang dengan mandat kebijakan dan kapasitas teknis untuk mengantisipasi dan mengurangi dampak, ditambah dengan kurangnya perhatian terhadap risiko ekologis di kalangan sektor bisnis dan beberapa pemuka masyarakat, menciptakan siklus kerentanan yang berulang. Investasi tetap bersifat jangka pendek, dan pemanfaatan lahan tetap bersifat eksploitatif, serta kapasitas adaptasi tidak pernah benar-benar diperkuat.
Dalam konteks ini, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) harus mengambil peran strategis sebagai lembaga yang tidak hanya memberikan peringatan dini tetapi juga secara aktif, tegas, dan konsisten mengingatkan semua pemangku kepentingan, yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah, komunitas bisnis, dan masyarakat.
Dengan demikian, BMKG perlu diberikan otoritas dan ruang politik yang kuat, sehingga setiap peringatan bencana tidak lagi dianggap hanya sebagai informasi tambahan, tetapi sebagai sinyal ilmiah yang harus segera ditindaklanjuti dengan tindakan yang diperlukan. Dengan melakukan hal tersebut, kita dapat memutus rantai kelalaian kolektif yang telah menyebabkan terulangnya tragedi seperti itu.
Indonesia harus mulai bersiap menghadapi peningkatan risiko iklim tahun depan, termasuk kemungkinan siklus curah hujan akibat siklon yang berulang. Seruan nasional sangat dibutuhkan untuk memutus pola ketidak siapan.
Utusan Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim harus mengambil peran koordinasi yang lebih kuat di seluruh Kementerian dan Lembaga pemerintah untuk mencegah ego sektoral dan silo kelembagaan yang sering muncul selama krisis iklim. Koordinasi yang efektif di tingkat tinggi akan memastikan bahwa peringatan dini, analisa ilmiah, dan langkah-langkah kesiap siagaan segera ditindaklanjuti dengan cepat di semua sektor pembangunan.
[RWT]
Related Posts
- Kemenhaj Tunda Seleksi PPIH di Sumut, Sumbar, dan Aceh akibat Banjir dan Longsor
- Pemprov Kaltim Salurkan Rp 7,5 Miliar untuk Korban Banjir di Aceh, Sumut, dan Sumbar
- Update Korban Banjir Sumatera 2 Desember 2025: 604 Tewas, 464 Hilang
- Gubernur Sumbar Desak Penetapan Banjir dan Longsor sebagai Bencana Nasional
- Akses Darat Terputus, Pemerintah Kirim 4 Ton Bantuan Darurat ke Solok, Agam, dan Pasaman Barat via Udara







