Samarinda

LBH PC PMII Samarinda Desak DPR RI Perbaiki KUHP dan Cabut Pasal Multitafsir yang Ancam Demokrasi

Kaltim Today
10 Desember 2022 18:00
LBH PC PMII Samarinda Desak DPR RI Perbaiki KUHP dan Cabut Pasal Multitafsir yang Ancam Demokrasi
LBH PC PMII Samarinda dengan tegas tolak pasal-pasal bermasalah di KUHP. (IST)

Kaltimtoday.co, Samarinda - Pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia menimbulkan pro kontra. Pembaruan tersebut sebenarnya sudah jadi rencana sejak lamaa. Sebab hukum pidana Indonesia dilakukan reformulasi sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat.

Dalam hal ini, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) PC Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Samarinda menegaskan, sudah seharusnya pemerintah menghadirkan rancangan KUHP yang berkualitas dan pro demokrasi. Namun justru ada pasal-pasal di KUHP yang menimbulkan kontroversi, perdebatan, dan polemik di tengah masyarakat.

Menurut LBH PC PMII Samarinda, ada pasal- pasal kontroversi dan berpotensi merugikan masyarakat, anti-demokrasi, membungkam kebebasan pers, hingga mengatur ruang privat publik. Hal ini menandakan bahwa sejak awal tidak adanya itikad baik dari pemerintah dan DPR dalam mendengarkan aspirasi rakyat. Penolakan terhadap pasal-pasal bermasalah telah dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat sipil. Namun pemerintah abai terhadap kritik dan saran yang dilayangkan.

Pemerintah seakan-akan tutup mata dan telinga terhadap suara rakyat. Penyusunan RKUHP yang dibuat tanpa adanya transparasi dan partisipasi publik sudah menjadi awal pembungkaman demokrasi dan membatasi ruang gerak masyarakat.

Ketua LBH PC PMII Kota Samarinda, Rahman Danan Nugroho menegaskan, KUHP ini adalah produk undang-undang dari DPR bersama pemerintah, namun mengapa selalu mengundang polemik-polemik yang bertentangan dengan kebutuhan masyarakat.

"Tentu akan lebih baik pasal-pasal yang sifatnya untuk kepentingan masyarakat luas harus ada keterlibatan dari para pemangku kepentingan secara menyeluruh, bukan hanya para akademisi dan ahli pidana yang ikut merancang," beber Rahman melalui rilis pers resminya.

Menurutnya, pemerintah juga harus melibatkan pemangku kepentingan lain seperti praktisi, LBH, dan masyarakat srcara luas. Tidak hanya terbatas pada akademisi atau ahli. Sebab penyusunan KUHP juga perlu perspektif lain. Terkhusus untuk menjunjung tinggi nilai-nilai HAM.

LBH PC PMII Samarinda menyoroti 3 pasal yang berpotensi besar terjadi kriminalisasi dan pembungkaman ruang publik dan menurunkan kualitas demokrasi yang dijamin konstitusi.

"Pertama, pada Pasal 218 tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Pasal ini selain sangatlah multitafsir yang tentunya akan mungkin dipahami berbeda terutama bagi aparat penegak hukum, juga kekhawatiran digunakan sebagai alat mengontrol serta membatasi suara kelompok-kelompok kritis yang dianggap ancaman terhadap pemerintah terkhususnya kepada presiden dan wakil presiden," jelas Rahman.

Kedua, yakni Pasal 240 tentang penghinaan terhadap lembaga negara. Pada pasal ini dijelaskan bahwa setiap penghinaan yang ditujukan kepada lembaga negara dan pemerintah yang sah dapat diancam pidana tiga (3) tahun jika mengakibatkan kerusuhan di masyarakat. Hal ini tentu menimbulkan kebingungan di masyarakat karena yang dilindungi seharusnya adalah individu, bukan lembaga.

"Lembaga tidak punya martabat untuk dilindungi, meskipun deliknya aduan, serta penghinaan berbeda

dengan kritik. Tidak menutup kemungkinan pasal ini bisa menjadi pasal karet yang akan digunakan untuk membungkam kritik-kritik terhadap lembaga pemerintahan yang keliru dalam menjalankan tugas dan fungsinya," lanjutnya.

Sedangkan yang ketiga, pasal 256 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum yang menjelaskan bahwa tanpa pemberitahuan kepada pihak berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau

demonstrasi di jalan umum atau tempat umum, dapat dipidana paling lama enam (6) bulan.

Pihaknya menilai, ketentuan ini bermasalah karena pada prinsipnya menyampaikan pendapat adalah hak setiap orang yang dilindungi konstitusi. Sehingga, aksi unjuk rasa hanya perlu pemberitahuan, bukan izin. Dan terganggunya kepentingan umum adalah hal yang tidak bisa terhindarkan.

"Pada akhirnya pemerintah dan DPR semakin menunjukkan sikap anti-kritiknya dengan adanya pasal tersebut di dalam KUHP yang baru disahkan," tambahnya.

Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh LBH PC PMII Samarinda, pihaknya menyatakan sikap tegas mendesak DPR RI untuk memperbaiki kembali KUHP yang baru saja disahkan serta mencabut pasal-pasal yang multitafsir dan mengancam demokrasi.

[YMD | RWT]

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram "Kaltimtoday.co News Update", caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.



Berita Lainnya