Nasional
RUU Perampasan Aset Masuk Prolegnas 2025, Akademisi Soroti 5 Pasal Kontroversial

Kaltimtoday.co - Pemerintah bersama DPR resmi menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Dengan inisiatif kini berada di DPR, proses pembahasan diprediksi lebih cepat karena naskah sudah siap dan pemerintah mendukung penuh.
Namun, sejumlah kalangan menilai RUU ini masih menyisakan persoalan. Guru Besar Universitas Negeri Makassar, Prof. Dr. Harris Arthur Hedar, mengingatkan adanya lima pasal kontroversial yang berpotensi menimbulkan multitafsir dan merugikan masyarakat jika tidak diperbaiki sebelum disahkan.
“RUU ini punya tujuan mulia, tetapi ada lima pasal yang harus dikritisi. Jika tidak diperbaiki, hukum justru bisa menakutkan rakyat alih-alih melindungi,” ujar Harris, Selasa (16/9/2025).
5 Pasal Bermasalah dalam RUU Perampasan Aset
1. Pasal 2 – Aset bisa dirampas tanpa putusan pidana
Harris menilai aturan ini berpotensi menggeser asas praduga tak bersalah. Pedagang atau pengusaha kecil yang lemah administrasi bisa dicurigai memiliki aset “ilegal”.
2. Pasal 3 – Aset tetap dirampas meski proses pidana berjalan
Hal ini menciptakan dualisme hukum, karena seseorang bisa dirampas asetnya sekaligus tetap diadili, sehingga terasa dihukum dua kali.
3. Pasal 5 ayat (2) huruf a – Aset dianggap tidak seimbang dengan penghasilan
Frasa “tidak seimbang” dinilai subjektif. Contohnya, petani yang mewarisi tanah tanpa dokumen lengkap bisa dicurigai memiliki aset melebihi penghasilan hariannya.
4. Pasal 6 ayat (1) – Ambang batas Rp 100 juta
Aset bernilai minimal Rp 100 juta bisa dirampas. Risiko salah sasaran tinggi, misalnya buruh yang membeli rumah sederhana Rp 150 juta bisa terkena jeratan, sedangkan penjahat bisa mengakalinya dengan memecah aset di bawah Rp 100 juta.
5. Pasal 7 ayat (1) – Aset tetap dirampas meski tersangka meninggal atau bebas
Aturan ini bisa merugikan ahli waris atau pihak ketiga beritikad baik. Anak-anak bisa kehilangan rumah warisan hanya karena orang tua pernah dituduh melakukan tindak pidana.
Selain lima pasal tersebut, Harris juga menyoroti mekanisme perampasan yang membalik beban pembuktian (reverse burden of proof). Artinya, rakyat yang harus membuktikan asetnya sah, bukan aparat penegak hukum.
“Risikonya rakyat kecil bisa kehilangan aset hanya karena tidak paham hukum atau tidak punya dokumen formal lengkap,” jelas Wakil Ketua Umum DPN Peradi itu.
Harris meminta agar DPR memperjelas definisi frasa seperti “tidak seimbang” dengan indikator objektif, misalnya laporan pajak atau standar profesi. Perlindungan bagi ahli waris serta pihak ketiga juga harus ditegaskan agar tidak ikut dirugikan.
Ia menegaskan, perampasan aset harus melalui putusan pengadilan independen, dengan proses transparan, terbuka untuk diawasi publik dan media. Negara juga wajib memberikan bantuan hukum gratis bagi masyarakat kecil.
“RUU ini ibarat pedang bermata dua. Jika tidak hati-hati, rakyat kecil bisa dikriminalisasi hanya karena administrasi lemah, sementara orang kaya bisa melindungi asetnya dengan pengacara,” pungkas Harris.
[RWT]
Related Posts
- Puan Kumpulkan Pimpinan Fraksi, DPR Sepakat Hapus Tunjangan Perumahan hingga Cabut Moratorium Kunker
- DPR Hentikan Gaji dan Tunjangan Anggota Nonaktif, Termasuk Uya Kuya hingga Ahmad Sahroni
- RUU Perampasan Aset Tertunda, Komisi III DPR Sebut Minim Dukungan Fraksi
- Fraksi PAN Ajukan Penghentian Gaji dan Fasilitas Eko Patrio-Uya Kuya di DPR
- Buat Pernyataan Kontroversial, 5 Anggota DPR Ini Dinonaktifkan Partai