Opini
Membidik Eksploitatif Sumber Daya Alam sebagai Biang Bencana
Oleh: Nursosiana (Aktivis dan Pendidik)
Awal 2021, masyarakat ditimpa bencana bertubi-tubi, salah satunya adalah banjir yang terjadi di Kalimantan Selata. Bagaikan jatuh tertimpa tangga pula, saat sedang menghadapi wabah Covid-19 kini masyarakat juga harus mengahadapi bencana banjir yang hampir semua wilayah Kalsel terkena banjir. Curah hujan yang tinggi disebut-sebut sebagai penyebab banjir di Kalimantan Selatan. Presiden Jokowi saat meninjau lokasi bencana juga menegaskan demikian.
“Curah Hujan sangat tinggi hampir 10 hari berturut. Daya tampung sungai Barito yang biasanya 230 juta meter kubik sekarang ini masuk air sebesar 2,1 miliar kubik sehingga memang meluap," katanya.
Namun, Wahana Lingkungan Hidup (Wahli) menegaskan bahwa, banjir besar di Kalimantan Selatan yang terjadi bukan sekedar cuaca extreme, usut punya usut ternyata banjir tersebut akibat dari rusaknya hutan di tanah Borneo. Banjir kali ini juga menjadi banjir terparah sepanjang sejarah.
Berdasarkan laporan tahun 2020 saja sudah terdapat 814 lubang tambang milik 157 perusahaan batu bara yang masih aktif bahkan ditinggal tanpa reklamasi, belum lagi perkebunan kelapa sawit yang mengurangi daya serap tanah. Dari total luas wilayah 3,7 juta hektar, hampir 50 persen sudah diberi izin pertambangan dan perkebunan kelapa sawit.
Ini menunjukkan lingkungan ekosistem memang dirusak dengan exploitasi Sumber Daya Alam (SDA) oleh perizinan tambang dan sawit. Kawasan-kawasan gambut, badan sungai dan kawasan karst yang harusnya jadi fungsi ekologi terganggu. Akibatnya hutan yang harusnya jadi tempat resapan air pun hilang sehingga keseimbangan lingkungan terganggu.
Hujan turun tidak akan menjadi masalah jika resapan air tidak terganggu. Curah hujan yang tinggi harusnya menjadi potensi yang bisa dimanfaatkan, hujan turun baik di lautan, di hutan hingga di kota bisa menjadi kebutuhan, seperti petani yang ingin mengaliri sawah.
Mestinya exploitasi SDA memperhitungkan kerusakan lingkungan, maka pembukaan lahan sawit maupun tambang di kelolah dengan pertimbangan lingkungan dan perubahan iklim, tidak dengan mudah dan bebas membuka hutan untuk kepentingan ekonomi. Namun negara ini berdasarkan kapitalisme, dimana membolehkan siapapun bisa memanfaatkan hutan, bisa eksploitasi dengan mudah dan bebas menebang hutan untuk membuka lahan asal memiliki modal. Kapitalisme ini juga secara kepemilikan SDA juga tidak bisa diatur, tidak ada batas kepemilikan Sumber Daya Alam (SDA), individu maupun swasta bebas dalam kepemilikan SDA, maka ini lah berpotensi merusak lingkungan yang berdampak pada rakyat.
Harusnya ada batasan kepemilikan dalam pengelolaan Sumber Daya Alam seperti halnya yang diatur dalam Islam. Islam mengatur kepemilikan negara, kepemilikan umum dan kepemilikan individu. Tidak bisa bebas dalam kepemilikan, sebab tidak bisa semua harta dimiliki individu atau dikelola individu maupun swasta, karena ada harta yang harusnya dikelola oleh negara. Sumber Daya Alam termasuk dalam harta milik umum tidak boleh dikuasai atau dikelola oleh individu ataupun swasta. Negaralah yang mestinya menjadi pengelolah dan hasilnya akan dikembalikan kepada rakyat.(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Related Posts
- Margahayu Ubah Air Bekas Tambang Jadi Sumber PADes dan Raih Penghargaan
- Sangasanga Bakal Ubah Lahan Eks Tambang Jadi Pusat Pertanian dan Peternakan
- Banjir Rendam Wilayah Sekitar IKN di Sepaku, Ratusan Rumah dan Jiwa Terkena Dampak
- Pj Gubernur Kaltim Bahas Potensi dan Tantangan Tambang di Bumi Etam Lewat Podcast
- Normalisasi Sungai Mangkurawang, Solusi Banjir dan Ketahanan Pangan di Desa Rapak Lambur