Opini
Meneguhkan Peran Petani dalam Rantai Pasok MBG
Oleh: Firnadi Ikhsan, S.Pi (Mahasiswa Magister Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Mulawarman)
Keterlibatan petani dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi simpul penting yang menentukan apakah kebijakan ini benar-benar berpihak pada daerah, atau hanya menjadi sistem distribusi pangan yang berjalan tanpa jejak pemberdayaan. Di tengah upaya pemerintah menyediakan makanan bergizi bagi siswa, peran petani justru memegang posisi strategis sebagai penyedia bahan baku utama yang tidak bisa digantikan oleh mekanisme pasar besar.
Sejak awal 2025, tercatat ada 95 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di Kalimantan Timur dan 54 di antaranya telah beroperasi aktif. SPPG menjadi pusat penerimaan, penyimpanan, pengolahan, dan distribusi makanan bergizi yang aman dan sehat untuk siswa. Infrastruktur ini penting, tetapi keberhasilannya tetap bertumpu pada ketersediaan bahan baku yang stabil dan berkualitas.
Di titik inilah sektor pertanian lokal seharusnya mendapatkan perhatian serius. Pemenuhan bahan baku MBG tidak dapat hanya bergantung pada pemasok besar, sebab pola itu berpotensi mengabaikan kontribusi petani dan memperkuat dominasi pasar tertentu. Padahal, program pemerintah pusat memberikan peluang besar bagi petani untuk menjadi pemasok MBG, membuka ruang peningkatan pendapatan dan kesejahteraan.
Agar peluang itu tidak hilang begitu saja. Pemerintah daerah, mulai dari Gubernur hingga Bupati perlu menyediakan dukungan regulatif yang memungkinkan petani terlibat secara setara. Tanpa intervensi daerah, petani berisiko terpental dari rantai pasok karena belum mampu memenuhi standar administrasi dan sertifikasi yang ditetapkan Badan Gizi Nasional (BGN).
Di lapangan, sejumlah perangkat daerah seperti Dinas Pertanian dan Dinas Koperasi UMKM memiliki peran kunci untuk memastikan petani tidak hanya menjadi penonton. Pendampingan menjadi kebutuhan mutlak, mulai dari pembentukan badan usaha seperti koperasi, badan usaha milik desa, usaha mikro kecil dan menengah, atau CV hingga pemenuhan syarat legalitas.
Meliputi nomor induk berusaha (NIB), nomor pokok wajib pajak (NPWP), kartu tanda penduduk (KTP), surat izin usaha perdagangan (SIUP), dan surat keterangan domisili usaha (SKDU) yang masih berlaku. Bentuk usaha yang sah juga menjadi syarat utama untuk memastikan pengadaan dana publik berjalan transparan dan akuntabel.
Selain legalitas usaha, standar keamanan pangan juga harus dipenuhi oleh petani yang ingin masuk ke dalam ekosistem MBG. Produk pangan wajib memiliki Sertifikat Halal, PIRT/BPOM, serta hasil uji gizi atau laboratorium sesuai ketentuan BGN. Tidak hanya itu, penerapan Good Manufacturing Practices (GMP), higienitas penyimpanan, dan standar distribusi menjadi bagian tak terpisahkan untuk menjamin mutu produk yang masuk ke SPPG.
Petani juga dituntut mampu menunjukkan kapasitas operasional yang memadai, mulai dari konsistensi volume suplai, ketersediaan gudang kering atau cold storage, hingga kemampuan distribusi dengan traceability yang jelas. Seluruh proses pendaftaran dilakukan secara daring melalui mitra.bgn.go.id, disertai unggahan dokumen dan verifikasi oleh BGN.
Semua persyaratan tersebut benar secara administratif, tetapi tanpa pendampingan pemerintah daerah, beban itu bisa menjadi penghalang bagi petani kecil. Sementara itu, pelaku usaha besar mudah masuk karena memiliki struktur dan modal yang kuat, sehingga risiko monopoli pengadaan bahan baku MBG menjadi ancaman nyata.
Karena itu, keberpihakan regulatif menjadi kunci. MBG tidak boleh hanya dilihat sebagai upaya memperbaiki gizi siswa, tetapi juga sebagai instrumen pembangunan ekonomi desa. Keterlibatan petani harus menjadi pilar utama, bukan pelengkap yang mudah digantikan.
Untuk memastikan itu, pemerintah daerah perlu menerbitkan regulasi afirmatif yang mewajibkan prioritas penggunaan produk pertanian lokal, memperkuat skema kemitraan petani–SPPG melalui koperasi atau BUMDes. Menyediakan pendampingan legalitas dan sertifikasi pangan secara terpadu, serta mencegah dominasi usaha besar dalam rantai pasok. Dengan langkah tersebut, MBG dapat menjadi program gizi yang berkeadilan sekaligus penggerak ekonomi perdesaan yang berkelanjutan.(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Simak berita dan artikel Kaltim Today lainnya di Google News, dan ikuti terus berita terhangat kami via Whatsaalkpp
Related Posts
- Desa Kahala Siapkan Ekspansi Lahan Pertanian 100 Hektare Lewat BUMDes dan Kemitraan Swasta
- Desa Kota Bangun III Terus Diperkuat sebagai Sentra Pertanian Produktif di Kukar
- Sebulu Modern Andalkan Pertanian Sayur Jadi Penopang Ekonomi Warga
- DTPHP Rutin Salurkan Bantuan Bibit Ternak dan Jagung, DPRD Minta Pengawasan Berkala
- Pemkab Kukar Sinkronkan Data Pertanian, KTNA Minta Pola Proposal Ditinggalkan








