Opini

Mengapa Sastrawan? Sebuah Catatan Pendek

Kaltim Today
06 Maret 2024 21:47
Mengapa Sastrawan? Sebuah Catatan Pendek
Ilustrasi.

Oleh: Fitra Wahyuliansyah (Seorang bapak rumah tangga, alumni Sastra Indonesia FIB Universitas Mulawarman)

Setelah bertahun-tahun sejak proyek skandal Denny JA ngebet ingin jadi sastrawan atau biasa diketahui dengan Skandal 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh di mana nama Denny JA --yang dikenal sebagai profesional dalam survei politik-- termasuk di dalam buku skandal itu mendapatkan penolakan yang keras [1]. Setelah bertahun-tahun sejak Denny JA membiayai proyek ambisiusnya untuk mengukuhkan dirinya sebagai seorang sastrawan telah gagal. 

Setelah bertahun-tahun kegaduhan itu berlalu saya mengira orang-orang tidak lagi mudah mengklaim dirinya atau orang lain sebagai sastrawan. Tetapi masih saja ada orang-orang yang begitu entengnya mengklaim seseorang sebagai sastrawan hanya karena orang tersebut menerbitkan buku kumpulan puisi, cerpen, novel, dan sekaligus atau berkecimpung dalam kegiatan-kegiatan berbau sastra. 

Kalau dulu Denny JA menggelontorkan duitnya agar diakui sebagai sastrawan, hari ini kita diperlihatkan orang-orang yang tidak mempunyai kredibilitas di bidang sastra mendaku seseorang sebagai sastrawan. Sebuah realita bahwa persoalan dalam sastra masih belum bergeser dari persoalan semacam ini. Sastra masih dianggap remeh, bahkan masih tidak diakui sebagai ilmu pengetahuan (science) meski Fakultas yang khusus mempelajari Sastra sudah berdiri  sepuluh tahun lebih di Samarinda. Dan itu terlihat baru-baru ini akibat kekerasan seksual yang dilakukan seorang penulis yang biasa dikenal dengan nama pena Dikablek.

Tentunya saya setuju pelaku kejahatan kekerasan seksual tidak cukup disanksi secara hukum, melainkan juga perlu disanksi secara sosial. Pelaku memang layak untuk diolok-olok dan benci. Saya bahkan tidak ambil pusing apabila pelaku hidupnya berakhir seperti dalam tulisan berikut ini.

"Seorang sastrawan cabul di Samarinda, berakhir dengan tubuh yang dibakar, serta bensin yang dilemparkan ke arahnya."[2]

Meski begitu ada satu hal yang membuat saya keheranan, sehingga pertanyaan ini hadir dalam benak saya. Kenapa pelaku bisa diakui sebagai seorang sastrawan? Bahkan setelah membaca tulisan-tulisan pelaku yang bisa saya temukan di internet, saya makin tidak mengerti dan tambah keheranan. 

Jika kita merujuk pada Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI) VI maka "Sastrawan" diartikan sebagai ahli sastra, pujangga; penulis prosa dan puisi, serta (orang) pandai-pandai pandai; cerdik cendekia. Pengertian tersebut memang bisa dijadikan pijakan awal memahami apa yang dimaksud "sastrawan", sayangnya pengertian tersebut tidak bisa menjadi satu-satunya rujukan yang digunakan untuk mengklaim bahwa seorang yang telah menghasilkan karya tulis bisa diakui sebagai sastrawan.

Sebuah klaim seharusnya disertai dengan pertanggungjawaban, paling tidak ada sebuah penjelasan yang bisa diberikan. Sayangnya, tidak ada satupun penjelasan yang bisa menerangkan mengapa pelaku patut diakui sebagai sastrawan. Jelas sekali bahwa ini dilakukan tanpa kehati-hatian. Tapi beginilah membicarakan Sastra di Indonesia, orang-orang merasa bahwa tidak perlu mempertanggung-jawabkan klaimnya karena sastra tidak diakuinya sebagai sains.  Anehnya, ini hanya terjadi dalam Sastra. Tidak pernah ada tuh mahasiswa yang sedang belajar Ilmu Kedokteran tiba-tiba diklaim sebagai seorang dokter oleh orang-orang yang tidak belajar Ilmu Kedokteran. 

Bukan untuk melebih-lebihkan, tetapi orang yang ingin menjadi sastrawan mesti bersiap untuk menempuh jalan sunyi yang cenderung menyakitkan disertai penderitaan[3]. Apalagi di dalam kondisi masyarakat Indonesia yang menganggap sastra sebagai sesuatu yang remeh. Di Indonesia ada banyak penulis yang memiliki "nama" dalam karir kepenulisannya, tetapi kepopuleran tidak serta-merta membuat siapapun bisa menjadi sastrawan seperti dua penulis populer Andrea Hirata dan Tere Liye. Yang artinya, punya karya tulis yang dapat dianggap "bagus" saja tidak cukup untuk mengakui seseorang sebagai sastrawan entah itu dalam bentuk glorifikasi atau olok-olok. (*)

[1] Baca Sastraku Sayang, Sastraku Malang ditulis Saut Situmorang

[2] Sastrawan Cabul ditulis Muhammad Al Fatih

[3] Baca Menanggapi pertanyaan Astika TG: Bagaimana sastrawan tercipta/diciptakan? ditulis Malkan Junaidi


*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co

Simak berita dan artikel Kaltim Today lainnya di Google News, dan ikuti terus berita terhangat kami via Whatsapp 



Berita Lainnya