Daerah

Perpanjangan Izin PT Berau Coal Jadi Sorotan, Ini Dampaknya bagi Ekonomi Berau

Kaltim Today
12 Februari 2025 10:59
Perpanjangan Izin PT Berau Coal Jadi Sorotan, Ini Dampaknya bagi Ekonomi Berau
Dosen Ekonomi, Universitas Mulawarman Samarinda, Purwadi Purwoharsojo. (Istimewa)

Kaltimtoday.co, Berau - Pro kontra terkait perpanjangan izin PT. Berau Coal belakangan menjadi buah bibir di kalangan masyarakat, khususnya warga Bumi Batiwakkal, sebutan lain untuk Kabupaten Berau.

Tak sedikit pihak yang menolak perpanjangan izin operasional perusahaan batu bara ini. Di sisi lain, kekhawatiran muncul jika aktivitasnya benar-benar dihentikan, karena berpotensi memicu lonjakan pengangguran yang signifikan. 

Isu ini mencuat setelah Anggota Komisi VII DPR RI, Syafruddin, menyoroti perpanjangan izin PT Berau Coal dalam rapat bersama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, belum lama ini. Menurutnya, perpanjangan izin yang akan jatuh tempo pada 22 April 2025 sebaiknya ditunda, mengingat masih ada sejumlah kewajiban yang belum diselesaikan, terutama terkait reklamasi dan sengketa lahan.

Syafruddin, yang merupakan wakil rakyat dari Kalimantan Timur, mengungkapkan bahwa banyak masyarakat Berau mengadukan berbagai konflik yang melibatkan PT Berau Coal. Isu ini pun semakin mendapat perhatian dan kritik dari berbagai tokoh.

Perspektif Akademisi Ekonomi

Menanggapi polemik ini, Pengamat Ekonomi Universitas Mulawarman (Unmul), Purwadi Purwoharsojo, menegaskan bahwa keberadaan batu bara dan Berau sangat sulit dipisahkan, mengingat sektor ini menjadi tulang punggung ekonomi daerah.

Sejak 2015, berdasarkan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Pemerintahan Makmur HAPK, ketergantungan Berau terhadap sektor pertambangan sangat tinggi. Hingga akhir 2024, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Berau berdasarkan lapangan usaha tahun 2023 mencatat 58,27% kontribusi dari sektor pertambangan dan penggalian.

Sektor lain yang turut berkontribusi adalah pertanian, kehutanan, dan perikanan sebesar 11,26%, jasa keuangan dan administrasi 10,23%, administrasi pemerintahan, pertahanan, dan jaminan sosial 9,41%, konstruksi 9,10%, serta perdagangan besar dan eceran 6,48%. Fakta ini mengindikasikan bahwa batu bara masih menjadi sektor dominan dalam menggerakkan perekonomian daerah.

"Nyaris tidak bisa hidup tanpa pertambangan dan sudah sering saya kaji apabila pemerintah tidak segera mempersiapkan transformasi sektor andalan maka dapat menjadi mimpi buruk bagi generasi selanjutnya," ujar Purwadi.

Dosen ASN ini menambahkan bahwa jika batu bara benar-benar berhenti beroperasi, maka pendapatan daerah akan mengalami penurunan drastis. Sebagai gambaran, dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Kabupaten Berau Tahun Anggaran 2025, besaran APBD Berau mencapai Rp 5,2 triliun. 

Dari jumlah tersebut Rp 4,3 merupakan transfer dari pusat sedang Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya Rp448 miliar. Dengan ratusan miliar tersebut, kata Purwadi, penghasilan daerah dari hasil sendiri harus bisa menyejahterahkan penduduk Berau 288.943 jiwa (data Disdukcapil 2024).

"Ngeri-ngeri sedap menurut saya, kalau begini Berau akan mendapat pukulan telak dua kali," sambungnya.

Dampak Ekonomi bagi Berau

Menurut Purwadi, ada dua dampak besar yang berpotensi terjadi. Pertama, dari segi anggaran, dana Transfer ke Daerah (TKD) mengalami pemangkasan, meskipun tidak signifikan. Dalam Buku Alokasi dan Rangkuman Kebijakan Transfer ke Daerah Tahun Anggaran 2025 yang diterbitkan Kementerian Keuangan, anggaran untuk Berau ditetapkan sebesar Rp 3,4 triliun.

Rinciannya, Dana Alokasi Umum (DAU) dipangkas menjadi Rp 563 miliar dari sebelumnya Rp 603 miliar, sementara Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik hanya mendapat Rp 978 juta dari sebelumnya Rp 38 miliar.

Dampak kedua, jika PT Berau Coal berhenti beroperasi, dampaknya akan sangat besar. Sektor lain di Berau masih belum siap untuk menopang perekonomian daerah.

"Sedangkan untuk perubahan atau transformasi ekonomi dari sektor pariwisata belum siap, termasuk sektor lainnya, kalau menurut saya di Berau sangat belum siap, ibarat perang senjatanya belum mumpuni," tegas Purwadi.

Tak hanya itu, efek lain yang ditimbulkan adalah konsumsi masyarakat ikut lesu. Karena tingkat pengangguran yang tinggi. Belum lagi, warga luar daerah yang bekerja di perusahaan otomatis akan pulang ke wilayah asalnya menyebabkan daya beli di tingkat usaha mikro kecil menengah (UMKM) lokal pun ikut berimbas. Sementara ekonomi nasional 60 persennya ditopang juga oleh konsumsi masyarakat.

"Saya rasa hampir semua daerah di Indonesia, konsumsi rumah tangga itu menjadi penopang ekonomi nasional selama ini. Jadi ketika konsumsi rumah tangga menurun karena daya belinya hilang atau menurun sudah tentu itu berdampak negatif terhadap ekonomi. Hampir 70 persen keuangan daerah bisa anjlok," tuturnya.

PR Berat Bagi Pemerintah Daerah

Efek dominonya memang harus diantisipasi, lantaran mempunyai pengaruh besar karena ketergantungan Berau terhadap sektor batu bara cukup tinggi. Meskipun perusahaan lain juga ada, namun menurut Purwadi, Berau Coal memiliki izin konsesi yang cukup luas sehingga pembayaran bagi hasil ke daerah pun semestinya dapat sesuai.

Menyimak akan hal itu, Purwadi menilai, jika polemik yang merebak di masyarakat seperti halnya reklamasi, sengketa lahan dan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) merupakan pekerjaan rumah yang juga perlu diperhatikan dan ikut dipantau oleh pemerintah daerah.

Menurutnya, soal reklamasi tetap menjadi tanggungjawab perusahaan dalam memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem serta meningkatkan pemanfaatan lahan. Tegas Purwadi, perusahaan pun tidak dibenarkan apabila cuci tangan dengan memanfaatkan lahan tambang menjadi lahan perkebunan. Sementara jauh dari itu, reklamasi perlu memperhatikan pengembalian suasana awal kondisi pasca tambang.

"Kalau menurut saya, kalau memang mau memandirikan sektor pertanian lindungi wilayah pertanian jangan malah dialihfungsi menjadi batu bara dan sawit," katanya.

Sementara terkait transparansi dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) pun yang ikut menjadi sorotan yang ikut menjadi permasalahan klasik di semua daerah. Menurut dosen Unmul itu, memang CSR merupakan hal yang patut diperhatikan jangan hanya sekadar menjadi penggugur kewajiban perusahaan terhadap masyarakat di lingkar tambang.

"CSR itu ibarat cuma sebagian kecil dari perusahaan, jadi pemerintah pun harusnya ikut memantau dan menyiapkan antisipasi efek domino yang ditimbulkan dari sekarang, seperti menyiapkan lapangan kerja karena PHK dalam jumlah besar, termasuk memikirkan strategi imbas dari daya beli masyarakat yang menurun tadi," katanya.

[MGN | RWT]



Berita Lainnya