Nusantara

Sidang Lanjutan Kasus Tanah di Desa Telemow Memanas, Pengacara Sebut Dakwaan Jaksa Tak Jelas

Kaltim Today
26 Maret 2025 16:50
Sidang Lanjutan Kasus Tanah di Desa Telemow Memanas, Pengacara Sebut Dakwaan Jaksa Tak Jelas
Suasana ruang sidang perkara tanah Telemow di PN PPU saat pembacaan eksepsi oleh penasihat hukum. Sidang berlangsung di bawah pengamanan ketat. (Dok Kaltimtoday)

PENAJAM, Kaltimtoday.co - Ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Penajam Paser Utara, Rabu pagi (26/3/2025), kembali ramai. Deretan bangku dipenuhi keluarga para terdakwa dan warga Desa Telemow yang datang dari jauh untuk menyaksikan jalannya persidangan lanjutan perkara sengketa tanah melawan PT International Timber Corporation Indonesia Kartika Utama (ITCI KU). 

Aksi solidaritas pun kembali digelar di halaman pengadilan, kali ini dengan pengamanan yang jauh lebih ketat dibanding sidang perdana.

Dari dalam ruang sidang, Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda, Fathul Huda Wiyashadi, yang bertindak sebagai penasihat hukum para terdakwa, menyampaikan eksepsi atas dua dakwaan yang menjerat kliennya. Dalam pembacaan di depan majelis hakim, Fathul menyebut bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak hanya kabur, tapi juga mengada-ada dan tidak relevan secara hukum.

"Tadi agendanya membacakan eksepsi dengan perkara nomor 52 atas nama terdakwa Saparudin, dan nomor perkara 53 atas nama Saparudin, Hasanuddin, dan Rudiansyah. Ini dua perkara yang berbeda," ujar Fathul.

Fathul menjelaskan, perkara nomor 52 menyangkut dugaan pengancaman yang terjadi saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) di gedung DPRD PPU tahun 2023. Sedangkan perkara 53 menyasar tuduhan penyerobotan lahan terhadap wilayah yang diklaim sebagai milik PT ITCI Kartika Utama. Kedua dakwaan itu, menurut Fathul, tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan cenderung direkayasa.

Fathul menganggap dakwaan pengancaman terhadap Saparudin terlalu dipaksakan. Ia menyebut, dalam dakwaan JPU tidak dijelaskan secara runtut konteks dan rangkaian peristiwa yang terjadi saat RDP.

"Ya, tadi kami menyampaikan bantahan terkait pengancaman itu. Kami menilai jaksa penuntut umum tidak menguraikan secara jelas. Sebenarnya ini ancaman dan peristiwanya bagaimana," kata Fathul.

Bagi Fathul, konteks percakapan dan atmosfer rapat yang memanas adalah hal biasa dalam ruang politik. Bahkan jika ada ucapan bernada keras, ia menilai itu bukan sesuatu yang secara hukum bisa langsung dikategorikan sebagai tindak pidana.

"Rangkaian peristiwanya tidak digambarkan secara jelas dari awal sampai akhir. Jadi mereka hanya menggambarkan sepotong-sepotong pada saat keluar kata-kata tersebut. Menurut kami, ini hal yang biasa. Kalau misal kita kongres kayak gitu, ada perdebatan, terus ribut-ribut, itu hal yang biasa menurut kita kan," tegasnya.

Fathul menganggap ucapan seperti ‘Kubunuh’, ‘Apa? Kumatiin kau?’, ‘Pecahkan kepala kau’ adalah ekspresi emosi dalam debat, bukan ancaman nyata.

"Debat kan biasa. Biasa juga kita kelai begitu. Itu adalah dinamika perdebatan. Bahkan kalau di kongres-kongres mahasiswa itu sampai lempar-lemparan kursi, sampai bakar-bakar gedung segala, enggak ada yang dilaporin. Jadi ini normal," tambahnya.

Ia bahkan menyebut bahwa jaksa seolah mengarang cerita dalam menyusun dakwaan.

"Jadi ada peristiwa yang dikarang oleh jaksa di dalam dakwaannya, begitu," ucapnya.

Dituding “Gaib” dan HGB yang Tak Pernah Diketahui

Puncak kritik Fathul terhadap dakwaan terjadi saat menyoroti dugaan pengancaman dalam bentuk aksi mengeluarkan golok saat demonstrasi. Menurutnya, tidak ada satu pun dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang menyebut bahwa terdakwa membawa senjata tajam saat aksi protes berlangsung.

"Berkaitan dengan saudara atau terdakwa Saparudin mengeluarkan golok ketika demo di wilayah yang diklaim oleh PT ITCI KU itu sebagai area HGB-nya. Kami melihat di BAP, semua BAP saksi maupun pelapor, yang dalam halnya adalah Nicholay Aprilindo, itu tidak ada sama sekali peristiwa itu. Di BAP enggak ada, tapi di dakwaan muncul. Ini gaib. Ini dakwaan gaib dari jaksa. Mungkin halu, atau lagi ngarang, atau mungkin dapat tekanan dari Hasyim atau Prabowo, begitu ya," tudingnya.

Fathul juga menyerang legitimasi keberadaan HGB milik PT ITHCI Kartika Utama yang menjadi dasar penyerobotan lahan. Ia mempertanyakan asal-usul legalitas hak guna bangunan tersebut dan menyebutnya sebagai "barang gaib" yang muncul begitu saja.

"Ujuk-ujuk terbit, turun dari langit. Kayak batunya Ponari waktu itu ya. Turun, langsung jatuh, begitu diambil itu dianggap adalah suatu yang hal yang sakral, begitu. Padahal HGB beda dengan batunya Ponari, gitu kan. Enggak ada sakral-sakralnya HGB-nya PT ITCI KU ini," sindirnya.

Menurut Fathul, tak ada warga Desa Telemow, bahkan aparat desa sekalipun, yang mengetahui proses penerbitan HGB tersebut. Ia menilai bahwa penerbitan HGB itu penuh kejanggalan.

"Kami menduga, HGB ini terbit di ruang gelap dan kemungkinan, bisa jadi dugaan kami bahwa ada keterlibatan dari pihak ATR/BPN ya dalam penerbitan HGB ini," ujarnya.

Ia mengungkapkan informasi terbaru yang diperoleh tim hukum menyebutkan bahwa dokumen HGB milik perusahaan tersebut bukanlah perpanjangan, tetapi pembaruan. Ini menimbulkan pertanyaan baru soal legalitas, sebab dalam dokumen disebutkan tak ada proses pengukuran ulang di lapangan.

"Pengukuran tidak ada. Itu ada di putusan PTUN, tercantum di situ. Aparat desa tidak mengetahui terkait pengukuran. Pengukuran hanya nunjuk patok, habis itu sudah terbit HGB," kata Fathul.
Sengketa Perdata Dibawa ke Pidana

Fathul juga mempertanyakan keputusan JPU yang membawa persoalan lahan ini ke ranah pidana, padahal menurut Komnas HAM, konflik yang terjadi antara warga Telemow dan PT ITCI KU adalah bentuk sengketa tanah.

"Di dalam suratnya Komnas HAM itu jelas, perihalnya itu adalah penyelesaian sengketa tanah antara warga Desa Telemow dengan PT ITCI KU. Sengketa. Kita bicara sengketa. Kalau sengketa, artinya ini perkara perdata, bukan pidana. Terus kenapa dibawa ke ranah pidana oleh JPU?" tuturnya.

Selain itu, ia menyoroti inkonsistensi dakwaan karena ada penggabungan pasal yang menurutnya tidak saling berkaitan.

"Kemudian, ada penggabungan pasal yang tidak saling berkaitan antara penyerobotan lahan dengan penggelapan, yang itu karakternya semua beda, sebagaimana telah kami bacakan tadi," ujarnya.

Dalam penilaiannya, kedua dakwaan yang ditujukan kepada para terdakwa tidak memenuhi syarat formil dalam penyusunan dakwaan.

"Iya, menurut kami kabur. Dua dakwaan ini semuanya kabur, karena tidak menguraikan secara lengkap terkait peristiwanya yang berdasarkan unsur-unsur yang di dalam pasal yang didakwakan," ujar Fathul saat ditemui usai sidang.

Namun demikian, ia menegaskan bahwa eksepsi yang disampaikan tim penasihat hukum bukan untuk menilai terdakwa bersalah atau tidak, melainkan fokus pada kelengkapan dan kejelasan unsur pasal yang dijadikan dasar penuntutan.

"Kita tidak, kita tidak menerima, kita tidak menilai apakah terbukti atau tidak terbukti. Itu nanti di pokok perkara, di pembuktian. Tapi kita menilai bahwa dakwaan ini disusun secara cermat, jelas, dan lengkap atau tidak," tandasnya.

Usai sidang, awak Kaltimtoday.co berupaya mendapatkan tanggapan dari pihak JPU dengan menyambangi kantor Kejaksaan Negeri PPU yang berdampingan dengan PN PPU. Namun hingga berita ini diterbitkan, JPU belum bisa ditemui.

Saat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp, JPU perkara ini, Imam Cahyono menjawab singkat. 

“Kita akan jawab di tanggal 14 April,” tulis Imam merujuk pada jadwal sidang berikutnya untuk mendengar tanggapan JPU atas eksepsi yang telah disampaikan penasihat hukum para terdakwa.

Sidang lanjutan akan digelar pada Mei mendatang. SIdang ini akan menjadi babak penting dalam perkara sengketa antar warga Telemow dengan PT ITCI KU di wilayah sekitar IKN. Apakah majelis hakim akan mempertimbangkan eksepsi dan memeriksa legalitas dakwaan, atau justru langsung melanjutkan ke tahap pembuktian materi pokok perkara.

[FZN | TOS]



Berita Lainnya