Opini

Sindrom-Sindrom Kekuasaan

Kaltim Today
27 November 2023 11:15
Sindrom-Sindrom Kekuasaan

Oleh: Nasrullah Mappatang (Dosen FIB Unmul dan Mahasiswa Doktoral University of Malaya)

Ada pemikir yang bilang kekuasaan seperti opium. Dia adalah candu yang membius dan bikin ketagihan. Sekali menyentuhnya, tak ingin berhenti. Ingin lagi, dan lagi.

Abraham Lincoln, presiden ke-16 Amerika itu bahkan bilang, “setiap orang mampu menghadapi kesengsaraan, tapi kalau ingin mengujinya, beri dia kekuasaan”. Dahsyat sekali.

Artinya apa? Kekuasaan adalah batu alas penguji seseorang. Jika agama - agama banyak mengajarkan ujian seorang umat datang ketika kesulitan hidup mendera, dunia politik beda. Seperti apa ditegaskan Lincoln di atas, dalam politik dan kekuasaan, seseorang diuji justru ketika diberi kesempatan berkuasa.

Bagi Lincoln, penderitaan, kemiskinan, duka, nestapa, kehinaan belumlah menjadi ujian apa-apa. Semua orang akan mengalami itu, dan kebanyakan telah melewati itu. Tapi, tak semua orang berkesempatan berkuasa dan berada di puncak kekuasaan. Barangkali, itu kenapa ujiannya juga terbilang langka. 

***

Minggu-minggu dan bulan-bulan terakhir jelang pemilihan penguasa di Indonesia, calon-calon bertebaran di dinding-dinding media sosial hingga pinggir-pinggir jalan. Bahkan, di tiang listrik, tepi got yang berbau busuk sekalipun, di mana sang calon penguasa pun pasti jijik terhadapnya, dipasangi juga gambar - gambar mereka. Luar biasa sekali. Ramai betul.

Menjadi pertanyaan bahwa kenapa bisa orang - orang begitu ingin sekali berkuasa? Apa bagusnya? Bukankah mengurus diri sendiri dan keluarga saja jauh lebih mudah daripada mengurusi orang banyak?

Berusaha menjawab pertanyaan - pertanyaan di atas, saya teringat akan obrolan para guru kami di Universitas mengenai sindrom - sindrom kekuasaan. Mengelaborasinya sepertinya sangat relevan untuk membantu kita membaca gelagat - gelagat “aneh” orang - orang di sekitar kita belakangan ini. Setidaknya, dengan mengkajinya, kita punya “alat analisis” menghadapi tiki taka laku politisi hari - hari belakangan dan beberapa bulan ke depan.

Pada dasarnya, ada tiga sindrom yang sering “menjangkiti” orang - orang yang berada di pusaran kekuasaan. Pertama, Sindrom ketika pertama berkuasa (first power syndrome). Kedua, sindrom ketika sedang berkuasa dan akan berakhir, dikenal dengan Sindrom Cinderella (Cynderella syndrome). Dan, ketiga, Sindrom setelah berkuasa (post-power syndrome). Ketiga sindrom tersebut menandai sikap dan perilaku orang - orang yang belum berkuasa tapi ingin sekali merasakan kursi empuk kekuasaan, mereka yang sedang dan akan habis masa berkuasanya, dan mereka yang tak lagi sedang berkuasa.

Sindrom pertama berkuasa atau yang dikenal dengan first power syndrome mudah dipahami. Gejalanya ada dua, yaitu, pertama, ketika seseorang melihat nikmatnya orang lain berkuasa dan ingin juga berada di posisi itu. Bahasa gaulnya “ngiler kekuasaan”, pengen sekali.  Maklum, belum pernah merasakan. Kedua, ketika pertama kali berkuasa, seseorang bisa kaget dan lupa diri. Biasanya gejala kedua ini ditandai dengan sikap gila hormat, lupa teman, hingga kalap bergaya hidup mewah dan selalu ingin dipuji. Perilaku ini mirip dengan gejala OKB (Orang Kaya Baru) yang segalanya ingin dibeli, dan segalanya yang baru dimilikinya juga dipamerkan untuk mendapatkan “pengakuan” (recognition).

 Sindrom Cinderella (Cynderella syndrome) ialah sindrom kedua. Gejala ini dialami oleh seseorang yang tengah berkuasa, tapi sebentar lagi masa aktif kuota kekuasaannya akan berakhir. Ada semacam perasaan “insecure” (tidak aman) dan anxiety (cemas) kalau - kalau ketika tak lagi berkuasa, orang - orang yang selama ini dekat apalagi yang rajin menjilat, tak lagi peduli dengannya. Ketakutan yang diikuti kecemasan dan kekhawatiran berlebih ini seperti “sihir” pada kisah Putri Cinderella  yang akan habis masa aktifnya pada waktu tengah malam jelang pesta dengan sang pangeran akan berakhir.

Pada masa akan habisnya masa aktif sihirnya, kereta emas dan segala pernak perniknya yang selama ini menemani, akan berubah seperti sedia kala dan tak lagi memberikan keistimewaan untuk sang Putri. Masa berlaku habis, keistimewaan pun habis, kenikmatan yang telah dijalani juga akan berakhir. Puteri Cinderella tak sanggup hadapi kenyataan itu karena terlanjur keenakan. Rupanya, seperti kisah Cinderella, begitu juga orang - orang yang kekuasaannya akan berakhir: cemas, khawatir, dan takut ditinggalkan.

 Lain penguasa baru, lain pula penguasa yang akan berakhir. Sayangnya, begitu pula layaknya penguasa yang telah berakhir. Sindrom yang dialami adalah “ingin berkuasa lagi” atau minimal “ingin tetap punya pengaruh” lagi. Ketagihan betul. Barangkali, itu kenapa para filsuf politik bersepakat menegaskan bahwa “Hati - hati dengan kekuasaan, karena bisa bikin ketagihan”. Jika begitu, benar bahwa “Kekuasaan adalah candu”. Itulah sindrom ketiga, post-power syndrome. Sindrom yang dialami oleh para bekas penguasa.

 Pengidap sindrom ketiga ini pengennya adalah berkuasa lagi. Atau, minimal anak, menantu, ponakan, atau istrinya sekalian yang berkuasa setelahnya. Agar, tak lain dan tak buka supaya dia tetap “dianggap” dan “tidak dilupakan” begitu cepat.

***

Rupanya, dilupakan, atau minimal diabaikan setelah tak lagi berkuasa adalah “rasa sakit” tersendiri bagi seorang bekas penguasa. Sampai - sampai, banyak yang mencemaskannya dan tak ingin berhenti serta jauh - jauh dari tembok kekuasaan. 

Tak banyak yang mampu “lolos” dari “penyakit” itu. Di Republik ini, nyaris hanya Professor Habibie barangkali yang keluarganya tak “cawe - cawe” ingin berkuasa lagi setelah dirinya tak lagi “di puncak kekuasaan”. Yang lain, silahkan dinilai sendiri. Termasuk yang sekarang, dan yang akan datang.

Pada akhirnya, kekuasaan boleh memberi banyak manfaat. Tapi, tak sedikit yang “terjebak” dalam “kenikmatan” candu-nya. Lolos dari ketiga sindrom di atas adalah “legasi” (legacy) tersendiri bagi seorang pemimpin. Selebihnya, benar - benar termakan ujian dari “candu kekuasaan”, seperti Abraham Lincolin sabdakan, ratusan tahun lalu, di Amerika. 

Bahwa, kekuasaan adalah ujian “kesejatian” dari seseorang. Terutama bagi yang telah melewati banyak penderitaan. Sanggupkah melulusi ujian terakhir seorang pemimpin itu?(*)

*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram "Kaltimtoday.co News Update", caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.



Berita Lainnya

Karmin dan Bagus
Karmin dan Bagus
Andi Harun Terjepit?
Andi Harun Terjepit?