Opini
Gender-Washing Kamala Harris di Pilpres Amerika
Oleh: Muhammad Al Fatih, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman
"Amerika Serikat telah dipimpin oleh pria demi pria selama 248 tahun, dan itu akan berlanjut selama setidaknya empat tahun ke depan. Pada Rabu, Wakil Presiden Kamala Harris menjadi perempuan yang lagi-lagi gagal mendobrak tembok gender dalam pencalonan sebagai presiden, sekaligus menjadi calon presiden perempuan kedua yang kalah dengan Donald Trump."
Begitulah Katie Rogers, penulis koresponden The New York Times, memulai tulisannya dalam artikel berjudul “Will a Woman Ever Be President?”. Artikel itu menggambarkan bagaimana identitas Kamala Harris sebagai perempuan justru menghalanginya menang sebagai presiden. Padahal, menurut artikel itu, negara-negara lain seperti Inggris, Jerman, dan Kanada telah memilih perempuan untuk memimpin negara mereka.
Sementara itu, Donald Trump, pesaing Kamala Harris yang memenangkan Pemilihan Presiden Amerika Serikat pada tahun ini, digambarkan sebagai sosok misoginis yang "akan merampas hak-hak perempuan dan diduga melakukan kekerasan seksual."
Artikel itu, tentu saja, bukan satu-satunya. Artikel serupa ditulis oleh Arit John dari CNN dalam artikel berjudul “After Two Presidential Losses, Women Wonder What It Will Take to Shatter the Glass Ceiling”. Moira Warburton dari Reuters juga menulis artikel serupa berjudul “Kamala Harris' Loss Is Another Setback for US Women in Politics”.
Sebuah artikel lain dari The Guardian bahkan membuat saya merasa geli membacanya. Dalam artikel yang ditulis oleh Ramon Antonio Vargas, disebutkan bahwa “Joe Biden mesti mengundurkan diri agar Kamala Harris dapat menjadi Presiden perempuan pertama di AS sebelum Donald Trump menjabat.” Maksa banget, enggak sih?
Tentu saja, pertanyaan sebenarnya adalah, benarkah Kamala Harris kalah karena dia seorang perempuan?
Pemilih Arab-Amerika yang Bimbang
Sayangnya, tulisan-tulisan itu sepertinya gagal menangkap isu sebenarnya, yaitu kegagalan Kamala Harris (dan Joe Biden) dalam merespons kegelisahan pemilihnya terkait genosida Israel di Gaza. Kamala Harris tidak pernah bersikap tegas mengenai isu Israel, bahkan beberapa kali menyebut bahwa "Israel punya hak untuk melindungi dirinya."
Dalam sebuah video yang beredar dan disiarkan berbagai media massa, terlihat Kamala Harris memarahi demonstran pro-Palestina saat berkampanye di Detroit, salah satu kota di negara bagian Michigan. Saat itu, beberapa orang meneriakinya untuk bertanggung jawab atas genosida Israel di Gaza. Bukannya menenangkan mereka, Kamala justru naik pitam dan berteriak, "Jika kalian ingin Donald Trump menang, lanjutkan saja! Jika tidak, biarkan aku berbicara!" Ia bahkan menatap tajam demonstran tersebut selama hampir satu menit.
Michigan merupakan negara bagian dengan populasi Arab-Muslim terbanyak di Amerika, dengan jumlah populasi mencapai 211.225 orang. Meskipun hanya 2,1 persen dari total populasi Michigan, suara Arab-Muslim sering menjadi penentu.
Setelah video itu beredar, Kamala sempat mengklarifikasi sikapnya saat berkampanye di Michigan State University, di mana dia bersumpah akan "mengakhiri perang di Gaza dengan segala kemampuannya." Namun, ia tetap mengulangi pernyataannya bahwa "Israel berhak melindungi dirinya."
Hasilnya, swing voters di Michigan akhirnya berpaling dari Kamala. Dalam pemungutan suara, Kamala kehilangan 22 ribu suara yang sebelumnya mendukung dirinya dan Joe Biden pada 2020. Tren serupa terjadi di negara bagian lainnya.
Politik Gender-Washing
Narasi yang dibangun oleh media Barat serta pendukung Demokrat atas kekalahan Kamala Harris, pada akhirnya, tak lebih dari bentuk gender-washing dalam politik. Menurut Elin Bjarnegard dan Par Zetterberg dalam *Journal of Democracy*, gender-washing dalam politik adalah "upaya memakai isu kesetaraan gender untuk memalingkan perhatian dari praktik-praktik yang tidak demokratis dan melanggar kemanusiaan."
Gender-washing terlihat jelas dari narasi yang mengutamakan identitas Kamala Harris sebagai perempuan dan melupakan kebijakannya yang membiarkan, bahkan mendukung, genosida Israel terhadap Palestina.
Selain identitasnya sebagai perempuan, status Kamala sebagai "orang berkulit hitam" dan "berasal dari Asia Selatan" juga sering diangkat. Sebuah artikel dari The New York Times bahkan memunculkan berita berjudul “For Black Women, America Has Revealed to Us Her True Self” (Bagi Perempuan Berkulit Hitam, Amerika Telah Menunjukkan Jati Dirinya).
Narasi serupa pernah muncul saat Hillary Clinton dipilih oleh Demokrat untuk melawan Donald Trump pada Pilpres 2016. Padahal, saat itu ada calon presiden yang lebih populer, yaitu Bernie Sanders. Didukung oleh organisasi kiri-tengah Democratic Socialist of America, Bernie Sanders mengusung gagasan revolusioner seperti pendidikan dan kesehatan gratis dengan meningkatkan pajak terhadap miliuner di AS.
Survei NBC News bahkan menunjukkan Bernie lebih populer dibanding Hillary. Namun, pada akhirnya, Hillary yang terpilih sebagai kandidat Demokrat. Setelah kalah, Hillary menyebutkan bahwa "perempuan di Amerika menempuh jalan panjang untuk menjadi presiden."
Narasi ini dibangun kembali untuk Kamala Harris, meskipun konyol. Seorang perempuan seharusnya dipilih karena ia kompeten, bukan hanya karena ia perempuan.
Menggunakan isu gender untuk mendongkrak elektabilitas pada akhirnya hanyalah bentuk politik identitas lain, yang tidak ada bedanya dengan politik identitas berbasis ras atau agama. (*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Related Posts
- Apa yang Terjadi Apabila Biden Mundur dari Pemilihan Presiden?
- Ahli Peringatkan Potensi Perang Saudara di Amerika Serikat Setelah Percobaan Pembunuhan Trump
- Maju Pilgub Jakarta, Peneliti BRIN: Strategi Anies Baswedan Menuju Pilpres 2029
- Prabowo Ingin Bentuk "Presidential Club", Ini Artinya
- Novita Bulan Siap Maju Pilkada Mahulu 2024, Siap Dorong Akselerasi Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat