Opini
Banjir dan Wajah Awal Ibu Kota Negara
Oleh: Siti Arupah, S.Pi (Pemerhati lingkungan dan Pendidikan)
Manakala banjir terjadi, sudah pasti masyarakat dan pemerintah daerah yang akan menanggung akibatnya. Banjir di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) sejak pekan lalu terus meluas. Banjir tersebut menyebabkan sedikitnya 717 warga di tiga kecamatan mengungsi. Bahkan aliran air juga telah memutus sejumlah jalan maupun jembatan penghubung. Banjir ini sebagian juga merupakan dampak dari daerah tetangga, yaitu Kabupaten Paser.
Baru-baru ini akibat banjir di Kabupaten Paser tersebut, juga dirasakan daerah tetangganya yaitu Kabupaten PPU. Sebanyak dua desa di calon ibu kota negara atau IKN baru ini, tergenang. Yaitu Desa Sumber Sari dan Desa Gunung Mulia di Kecamatan Babulu. Tak cuma rumah warga. Banjir turut menggenangi sawah petani. Sedikitnya 800 hektar sawah milik warga terendam banjir. Kecamatan ini berbatasan langsung dengan Kecamatan Long Kali, Kabupaten Paser.
Banjir yang terjadi saat ini merupakan banjir terparah yang dialami di Kabupaten PPU. Misal Pada tahun sebelumnya Desa Adang Jaya juga pernah terjadi banjir, namun tidak setinggi saat ini. Kalau dulu airnya tidak keruh, hanya coklat biasa, banjir kali ini airnya keruh dan arusnya pun juga deras. Selain itu Jumlah warga yang terdampak banjir di Desa Sumber Sari, Kabupaten PPU, bertambah menjadi 1.545 jiwa. Sebelumnya, tercatat hanya 692 jiwa, selain kerugian materi, ribuan warga korban banjir juga masih berpotensi mendapatkan ancaman.
Dampaknya, Selain dari bencana serupa, juga dari serangan penyakit. Tak kalah mengejutkan BPBD PPU bersama tim gabungan telah menemukan bocah yang terseret arus sungai di Desa Sukaraja Kecamatan Sepaku pada Minggu, (31/10/2021) pukul 06.35 WITA. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah atau BPBD PPU, Marjani melalui Kepala bidang kedaruratan dan logistik BPBD PPU, Nurlaila mengatakan bocah tersebut bernama Hendra (13). Hendra adalah warga RT 22 Desa Sukaraja ditemukan sekitar 100 meter dari tempat terjatuhnya korban dengan kondisi meninggal dunia.
Dengan kondisi bencana yang terus terjadi terlebih dimusim penghujan ini, banjir menjadi masalah serius. Salah satu penyebab tidak pernah dipandangnya hutan alam sebagai bagian penting ekosistem yang dapat mencegah atau mengurangi terjadinya bencana banjir. Kondisi terlihat semakin tampak ketika undang-undang Cipta Kerja, sebagai upaya penyederhanaan aturan hukum (omnibus law) ramah investasi telah disahkan melalui rapat paripurna DPR yang mengesahkan RUU ini jadi Undang-undang. DPR pun mempercepat pengesahan RUU Cipta Kerja, agenda awal, RUU ini berisi penyederhanaan sekitar 79 aturan hukum di negeri ini agar ‘ramah’ investasi, atau biasa disebut omnibus law.
Berbagai kalangan menyoroti isinya, karena banyak hal yang mengkhawatirkan seperti, bakal persulit ruang hidup rakyat, perparah kerusakan lingkungan, termasuk melemahkan penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan. RUU Cipta Kerja, seperti izin lingkungan hilang, berganti perizinan usaha, ada pelemahan beberapa pasal sanksi hukum, sampai unsur strict liability pun dihapus. Hak partisipasi publik melalui jalur peradilan seperti tercantum dalam Pasal 93 UU PPLH untuk mengoreksi atau menguji izin lingkungan dan atau izin usaha melalui peradilan administrasi (PTUN) tak ada lagi.
Dalam RUU Cipta Kerja, seluruh kewenangan perlindungan pengelolaan lingkungan hidup jadi kewenangan pemerintah pusat dan penghapusan kewenangan pemerintah provinsi, kabupaten maupun kota dihilangkan. Kebijakan kapitalisme sekuler biang kerusakan. Kebijakan yang lahir dari hawa nafsu manusia melahirkan malapetaka yang tak berujung. Inilah Penyebab utama datangnya rutinitas banjir kerap terjadi di masyarakat. Faktor cuaca sering kali dijadikan “kambing hitam” penyebab terjadinya banjir. Kebijakan kapitalisme sekuler penguasa menjadi sumber kerusakan, penyerahan pengelolaan hutan kepada pihak swasta dengan alasan investasi penyumbang terbesar bencana banjir.
Alih Fungsi lahan eksploitasi, eksplorasi hutan dan betonisasi yang semua itu tidak ramah lingkungan. UU cipta kerja terbukti tidak mengedepankan lingkungan dan kepentingan rakyat. Ada pola diskriminatif karena sanksi pidana diberikan kepada pelaku yang tak bisa membayar denda administratif. Hal ini bisa jadi berbahaya dalam penegakan hukum untuk korporasi yang menimbulkan banjir.
Sehingga tidak ada harmonisasi ramah lingkungan dalam investasi, seharusnya ekonomi dan lingkungan hidup sangat perlu, agar memberikan manfaat tapi tidak untuk UU cipta kerja. Rawan konflik, tumpang tindih, penyeragaman kebijakan pemerintah pusat dan daerah serta lintas sektor dan memangkas pengurusan izin, RUU ini banyak pengusaha jadi penumpang gelap hingga kepentingan rakyat hilang. Ditengah himpitan ekonomi dan dampak pandemic yang makin berat warga ppu harus terbiasa menghadapi bencan banjir.
Islam Punya Solusi Jitu!
Islam memiliki perangkat aturan yang canggih dan efisien dalam urusan banjir mencakup sebelum, ketika dan pasca banjir. Di masa keemasan islam , bendungan -bendungan berbagai tipe dibangun untuk mencegah banjir maupun untuk keperluan irigasi. Dipropinsi Khuzestan, daerah iran selatan misalnya masih berdiri kukuh bendungan shadravan, kanal darian, bendungan jareh, kanal gargar dan Mizan. Pemerintahan islam juga akan memetakan daerah-daerah rendah yang rawan terkena genangan air (akibat rob, kapasitas serapan yang minim dan lain-lain) selanjutnya membuat kebijakan melarang masyarakat membangun pemukiman di wilayah tersebut.
Jika ada pendanaan cukup negara akan membangun kanal-kanal-kanal baru atau resapan air yang mengalir bisa dialihkan alirannya atau bisa diserap optimal oleh tanah sehingga daerah rendah bisa terhindar dari banjir atau genangan. Negara akan mengevakuasi dan memindahkan warga dengan kompensasi kepada mereka.
Mensosialisasikan kebersihan lingkungan dan pencegahan pencemaran daerah aliran sungai, danau mengawasi secara ketat serta memberikan sanksi bagi pelanggar secara tegas. Tak kalah penting aspek uu dan kebijakan Pembukaan pemukiman atau Kawasan baru harus menyertakan variabel drainase, penyediaan daerah resapan air hingga penggunaan tanah berdasarkan karakteristik tanah dan topografi.
Negara dalam islam tidak menyulitkan rakyat yang hendak membangun sebuah bangunan bahkan menyederhanakan birokrasi dan menggratiskan surat izin baik di lahan pribadi atau lahan umum hanya saja tidak mengantarkan pada bahaya (madrasah). Ketetapan ini merupakan implementasi kaedah ushul fiqih al-dhararu yuzaalu (bahaya itu harus dihilangkan).
Negara membentuk badan khusus bagi siapa saja yang melanggar secara tegas tanpa pandang bulu. Menangani bencana alam yang dilengkapi peralatan berat, evakuasi, pengobatan, dan alat-alat canggih, petugas SAR serta keterampilan cukup, bergerak cepat jika ada musibah. Membangun daerah cagar alam yang harus dilindungi dengan menetapkan Kawasan buffer yang tidak boleh dimanfaatkan tanpa izin. Bagi pelanggar mendapat sanksi berat.
Negara akan segera bertindak cepat dengan melibatkan warga yang dekat dengan bencana. Negara menyediakan tenda, makan, pakaian, pengobatan layak serta negara akan mengerahkan alim ulama untuk memberikan tausiah bagi korban agar mengambil pelajaran dan menguatkan keimanan agar tetap sabar, tabah, dan tawakal sepenuhnya kepada Allah SWT. Inilah kebijakan khilafah yang dilahirkan dari sistem islam. Kebijakan yang tidak saja didasarkan pada pertimbangan rasional tetapi disangga oleh nas syariat. Dengan demikian masalah banjir bisa diatasi dengan tuntas.
Muhasabah di Tengah Banjir
Kondisi banjir yang kerap terjadi semestinya ada koreksi mendasar atas dasar aspek bencana dan paradigma pembangunan yang dilakukan penguasa. Selama pembangunan jauh dari paradigma islam yang menebar kebaikan selama itu pula tidak akan muncul dorongan untuk mencari penyelesaian. Kebijakan penguasa akan menjadi sumber kerusakan.
Inilah kebijakan yang berpijak pada sistem sekuler kapitalistik neoimperalisme Berbeda dengan islam bencana adakalanya memang benar-benar bencana yang harus diterima dengan keimanan keikhlasan dan kesabaran. Namun tak sedikit bencana diakibatkan dosa yang diperbuat manusia. Dengan demikian pentingnya muhasabah bukan saja konteks individu namun lingkup masyarakat hingga negara. Dengan kata lain mencampakkan sekulerlisme kapitalistik dan kembali kepada penerapan islam secara kaffah.
Penerapan sistem islam secara kaffah akan menjadikan penguasa terjaga dari pengurusan untuk kepentingan rakyat mencegah perilaku eksploitasi, eksplorasi secara destruktif sehingga syariat islam turun sebagai rahmat bukan sebagai laknat. Tak heran sejarah peradaban islam menghasilkan para pemimpin yang paham akan amanah tidak sebatas dunia namun berdimensi akhirat. Wal hasil rakyat aman dan terbebas dari bencana termasuk banjir. Rakyat merasakan terlindungi, aman dengan segala pemenuhan kebutuhan yang melebihi kata cukup. Keamanan dan selamat dari bencana banjir dapat terwujud hanya di bawah naungan sistem islam. Wallahu A’lam bish shawab. (*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Related Posts
- AHY Dorong Pengusaha Kadin Berperan dalam Pembangunan IKN
- Banjir Rendam Wilayah Sekitar IKN di Sepaku, Ratusan Rumah dan Jiwa Terkena Dampak
- DKP PPU Pastikan Produk Hortikultura untuk IKN Berstandar Prima Tiga
- Normalisasi Sungai Mangkurawang, Solusi Banjir dan Ketahanan Pangan di Desa Rapak Lambur
- Disdikpora PPU Dorong Pemerintah Pusat Tambah Formasi Guru di Tengah Perkembangan IKN