Opini

Calon Pemimpin yang Abaikan Keadilan Sosial dan Ekologis Tak Layak Memimpin

Kaltim Today
13 November 2024 12:55
Calon Pemimpin yang Abaikan Keadilan Sosial dan Ekologis Tak Layak Memimpin

Oleh: Mohammad Taufik, S.H (Founder Rumah Kajian & Advokasi Balikpapan, Green Leadership Indonesia) Head of the Regional Community GLI 4

Kalimantan Timur saat ini menghadapi tantangan serius terkait keadilan sosial dan ekologis, terutama menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Dengan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), isu lingkungan hidup semakin mendesak untuk diperhatikan.

Degradasi lingkungan yang terjadi, seperti pencemaran air, udara, dan tanah, serta penggusuran masyarakat adat, menunjukkan perlunya pemimpin yang memiliki komitmen kuat terhadap keadilan sosial dan ekologis.

Lebih dari 13,83 juta hektar lahan di Kalimantan Timur (Kaltim) telah dialokasikan untuk industri ekstraktif, yang dapat berpotensi merusak ekosistem lokal. Penggunaan lahan yang besar ini didorong oleh kegiatan seperti pertambangan dan perkebunan, yang berkontribusi pada peningkatan emisi karbon dan kerusakan lingkungan. Menurut data, mayoritas emisi di Kaltim berasal dari konversi hutan dan penggunaan lahan lainnya, yang dipicu oleh pembangunan perkebunan kelapa sawit dan aktivitas penambangan.

Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), yang diharapkan menjadi kota masa depan yang ramah lingkungan, ternyata malah memperburuk kondisi lingkungan. Aktivitas konstruksi yang masif telah menyebabkan peningkatan polusi udara, yang berdampak langsung pada kesehatan masyarakat.

Misalnya, banyak warga di sekitar proyek IKN melaporkan mengalami masalah pernapasan akibat debu yang dihasilkan dari kegiatan konstruksi. Di Puskesmas Sepaku 1, tercatat sebanyak 478 kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dari Januari hingga Oktober 2023, dengan sekitar 80% pasien mengeluhkan gejala yang berkaitan dengan debu proyek tersebut.

Di sisi lain, masyarakat adat yang terancam kehilangan tempat tinggal akibat pembangunan IKN berada di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Beberapa masyarakat yang terdampak termasuk masyarakat adat Balik Sepaku, Balik Pemaluan, Maridan, dan Mentawir. Sekitar 7.000 jiwa masyarakat adat tinggal di wilayah ini secara turun-temurun, tetapi kini mereka menghadapi risiko penggusuran dari tanah yang telah menjadi rumah mereka selama bertahun-tahun.

Sebagai contoh, suku Balik yang telah lama mendiami daerah tersebut menolak tawaran ganti rugi dan skema relokasi dari pemerintah karena merasa tidak ada pilihan lain untuk pindah. Penggusuran ini tidak hanya mengancam keberadaan mereka tetapi juga merusak situs-situs budaya dan sejarah penting bagi mereka, seperti makam tua dan tempat ritual yang telah ada sejak lama.

Kekhawatiran akan penggusuran semakin nyata ketika pemerintah memberikan surat kepada warga untuk meninggalkan tempat tinggal mereka, menciptakan ketidakpastian dan ketakutan di kalangan masyarakat adat. Dalam konteks ini, penggusuran masyarakat adat untuk memberi ruang bagi pembangunan infrastruktur sering kali mengabaikan hak-hak mereka dan memaksa mereka meninggalkan tempat tinggal yang selama ini mereka andalkan dari hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Penting untuk memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan memastikan bahwa pembangunan dilakukan dengan cara yang adil dan berkelanjutan. Contoh nyata lainnya dapat dilihat di Palu, Sulawesi Tengah, di mana aktivitas penambangan pasir dan batu untuk proyek IKN telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan penurunan tangkapan ikan nelayan setempat.

Ketidakadilan sosial ini muncul ketika hak-hak masyarakat terabaikan demi kepentingan pembangunan yang tidak berkelanjutan, menimbulkan pertanyaan serius tentang keberlanjutan proyek ini dan dampaknya terhadap masyarakat lokal.

Dalam konteks ini, penting untuk dicatat bahwa kedua pasangan calon (paslon) gubernur Kalimantan Timur dalam Pilkada 2024 tampaknya belum menunjukkan kepekaan dan pemahaman yang memadai terkait pentingnya keadilan sosial dan ekologis.

Meskipun debat perdana membahas tema "penguatan fondasi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat," ketidakmunculan isu keadilan sosial dan ekologis menunjukkan bahwa para calon mungkin lebih fokus pada aspek pembangunan ekonomi tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan. Hal ini menciptakan kesenjangan antara kebutuhan masyarakat yang mendesak dan agenda politik yang diusung oleh calon.

Menurut survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI), 70% responden menginginkan calon pemimpin yang memperhatikan isu lingkungan dan keadilan sosial, namun tidak ada calon yang secara eksplisit mengangkat isu tersebut dalam debat publik. Jika isu keadilan sosial dan ekologis terus diabaikan, hal ini dapat menyebabkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat yang merasa hak-haknya terabaikan. Ketidakpuasan ini berpotensi memicu konflik sosial, yang dapat menghambat proses pembangunan itu sendiri.

Sebuah studi oleh Universitas Mulawarman menunjukkan bahwa 65% masyarakat adat di Kalimantan Timur merasa tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan terkait proyek-proyek pembangunan yang berdampak pada kehidupan mereka. Penting bagi para calon gubernur untuk lebih peka terhadap isu-isu ini agar mereka dapat merumuskan kebijakan yang adil dan berkelanjutan.

Kesadaran akan keadilan sosial dan ekologis harus menjadi bagian integral dari visi pembangunan mereka. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 40% penduduk Kalimantan Timur hidup di bawah garis kemiskinan, menunjukkan perlunya pendekatan pembangunan yang lebih inklusif.

Kalimantan Timur menghadapi berbagai tantangan keadilan sosial dan ekologis yang serius, termasuk lebih dari 13,83 juta hektar lahan yang telah dikapling untuk industri ekstraktif, yang berpotensi merusak ekosistem lokal. Sejak tahun 2011, terdapat 47 korban jiwa akibat lubang tambang, menunjukkan risiko tinggi yang dihadapi masyarakat akibat aktivitas pertambangan yang tidak terkelola dengan baik. Selain itu, pencemaran minyak berulang di perairan dan masalah kesehatan yang dihadapi oleh warga sekitar proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) semakin memperburuk situasi.

Misalnya, aktivitas penambangan untuk proyek IKN di Palu menyebabkan polusi udara yang signifikan, dengan warga melaporkan masalah pernapasan akibat debu dari kegiatan tersebut.

Di sisi sosial, banyak masyarakat kehilangan mata pencaharian mereka akibat alih fungsi lahan untuk kepentingan industri. Banyak masyarakat adat yang terpaksa meninggalkan tanah dan rumah mereka tanpa adanya kompensasi yang adil atau alternatif kehidupan yang memadai. Ketidakpastian ini menciptakan ketidakadilan sosial yang mendalam dan memperburuk kondisi ekonomi masyarakat yang sudah rentan.

Ketidakpekaan pasangan calon gubernur terhadap isu-isu ini mencerminkan kurangnya komitmen terhadap keadilan sosial dan ekologis yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan berkelanjutan di Kalimantan Timur. Menurut laporan dari Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Timur, perlunya strategi pengelolaan lingkungan yang lebih baik dan perhatian terhadap dampak sosial dari pembangunan sangat mendesak.

Dengan adanya tantangan-tantangan ini, penting bagi calon pemimpin daerah untuk menunjukkan komitmen nyata dalam menangani masalah lingkungan dan keadilan sosial agar pembangunan di Kalimantan Timur dapat berlangsung secara berkelanjutan dan inklusif.

Pemilih di Kalimantan Timur perlu mempertimbangkan dengan serius pentingnya memilih pemimpin yang memahami keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Pemimpin yang tidak memiliki pemahaman ini berpotensi memperburuk kondisi ekologis dan kesejahteraan masyarakat di masa depan. Dalam menghadapi pemilu ini, sangat penting bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang tidak hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga peduli terhadap keadilan sosial dan kelestarian lingkungan.

Keadilan sosial mencakup hak-hak masyarakat, terutama masyarakat adat yang sering kali terabaikan dalam proses pembangunan. Penggusuran mereka dari tanah yang telah menjadi sumber kehidupan tanpa kompensasi yang adil adalah contoh nyata ketidakadilan yang harus diperjuangkan. Selain itu, pencemaran lingkungan akibat aktivitas industri ekstraktif juga menambah beban sosial bagi masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam untuk mata pencaharian mereka. Oleh karena itu, penekanan pada keadilan sosial dan ekologis harus menjadi bagian integral dari visi calon pemimpin.

Masyarakat harus aktif dalam menuntut komitmen calon pemimpin terhadap isu-isu ini selama kampanye. Salah satu mekanisme yang dapat digunakan adalah dengan mengadakan forum diskusi publik, di mana calon pemimpin dapat dihadapkan langsung dengan pertanyaan dan kekhawatiran masyarakat terkait isu lingkungan dan keadilan sosial. Ini juga bisa melibatkan organisasi masyarakat sipil untuk memastikan bahwa suara rakyat didengar dan diperhitungkan.

Ada persoalan struktural yang menentukan kondisi dan pembangunan di Kalimantan Timur, seperti kebijakan pemerintah pusat yang sering kali tidak sejalan dengan kebutuhan lokal. Dalam konteks ini, gubernur ideal adalah sosok yang mampu menjembatani antara kepentingan pemerintah pusat dan kebutuhan masyarakat lokal.

Gubernur dan wakil gubernur yang ideal harus memiliki visi holistik yang mencakup keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan sosial, serta kemampuan untuk berkomunikasi dan bernegosiasi dengan pemerintah pusat demi kepentingan daerah.

Dengan demikian, saatnya bagi kita sebagai masyarakat untuk bersatu dalam memilih pemimpin yang tidak hanya berbicara tentang pembangunan tetapi juga berkomitmen pada keadilan sosial dan perlindungan lingkungan hidup. Hanya dengan pemimpin yang benar-benar peduli terhadap masa depan lingkungan dan kesejahteraan sosial, Kalimantan. (*)

*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co

Simak berita dan artikel Kaltim Today lainnya di Google News, dan ikuti terus berita terhangat kami via Whatsapp 



Berita Lainnya