Opini
Heboh Intoleransi di Sekolah, Aroma Liberalisasi Agama?
Oleh: Nindy Nur Rahmawati, S.Pd (Pendidik)
Viral di media sosial, menampilkan kontroversi pemberitaan adanya upaya pemaksaan dalam berpakaian sekolah bagi nonmuslim di SMK Negeri 2 Padang. Dilansir dari news.detik.com, dalam penuturan Kepala SMKN 2 Padang, Rusmadi menyampaikan bahwa, ada 46 siswi nonmuslim yang berada di sekolah tersebut. Rusmadi lantas menegaskan pihak sekolah tak pernah melakukan paksaan apa pun terkait pakaian seragam bagi nonmuslim. Dia mengklaim siswi nonmuslim di SMK tersebut memakai hijab atas keinginan sendiri.
Pun dengan penuturan salah seorang siswi nonmuslim kelas XII di SMKN 2 Padang, EAZ. Ia merasa tidak keberatan menggunakan kerudung ke sekolah. Pihak sekolah tidak ada memaksa dirinya harus menggunakan kerudung ke sekolah, meski ia bisa saja mengusulkan untuk tidak mengenakannya. Adapun yang dilakukannya, sama sekali tidak memengaruhi imannya sebagai seorang pemeluk Protestan. Orangtuanya pun juga tidak merasa keberatan. (republika.co.id)
Menarik ketika menyaksikan berbagai reaksi yang bermunculan. Pro-kontra tak terhindarkan. Seperti dilansir dari laman situs BPIP, Mendikbud menilai aturan yang dibuat SMKN 2 Padang sudah melanggar berbagai peraturan bahkan melanggar nilai-nilai Pancasila. Senada, Wakil Ketua BPIP, Hariyono menyampaikan bahwa aturan kepala sekolah tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan harus segera dicabut.
Lantas, eks Wali Kota (Walkot) Padang, Fauzi Bahar mengatakan aturan yang mewajibkan siswi di sekolah negeri berpakaian muslimah bukan hal baru. Aturan itu semula hanya berupa imbauan. Namun kemudian berubah menjadi instruksi Wali Kota Padang. Aturan ini diatur dalam Instruksi Walikota Padang No 451.442/BINSOS-iii/2005. Instruksi itu dikeluarkan pada 2005. Fauzi mengatakan aturan itu dibuat justru untuk melindungi kaum perempuan. (news.detik.com)
“Peraturan itu sudah sangat bagus dan tak perlu dicabut. Toh itu semangatnya bukan paksaan buat nonmuslim. Kita melindungi gererasi kita sendiri,” kata Fauzi, Sabtu (23/1). (ihram.co.id)
Begitu derasnya pemberitaan masalah ini, tercium adanya sebuah penggiringan opini pada satu hal yang belakangan begitu getol digaungkan. Ya, itulah intoleransi. Perbedaan sikap dari berbagai siswi nonmuslim di SMKN 2 Padang yang ternyata kebanyakan dari mereka realitasnya tidak mempermasalahkan aturan berseragam di sekolah, namun menjadi big question, mengapa ini begitu kuat gong opininya beredar?
Tentu saja peristiwa ini menjadi bahan yang menarik bagi para pembela HAM yang getol membela suatu tindakan atas dasar kebebasan. Namun yang disayangkan, kebebasan dari aturan syariat Islam ini yang begitu kuat batu sandungannya. Kehebohan pihak-pihak yang bereaksi menuntut pencabutan aturan seragam kerudung menegaskan sejatinya ajaran Islam dianggap intoleran, sumber lahirnya diskriminasi dan pelanggaran HAM.
Menelisik rekam jejak kontroversi hijab ini, harusnya tak lupa dalam ingatan beberapa tahun lalu telah terjadi pelarangan siswi berhijab di Bali. Khususnya, di sekolah-sekolah negeri. Berdasarkan pendataan Pengurus Wilayah PII Bali, ada sekitar 40 sekolah yang melarang siswi Muslim memakai hijab. Caranya bermacam-macam. Ada yang terang-terangan dengan mencantumkan larangan tertulis dan ada ancaman yang tersamar sehingga siswi Muslim merasa ketakutan. (republika.co.id)
Jelas bahwa yang sekarang terjadi adalah hipokrit pembelaan atas nama HAM. Saat siswa Muslimah di banyak sekolah secara resmi dilarang berpakaian Muslimah, tidak banyak yang membela. Ini menyesakkan dada. Dimana letak standar kebenaran itu?
Inilah konsekuensi hidup dalam suasana kehidupan yang tidak bersandar pada syariat Islam secara kaffah. Upaya perlindungan bagi generasi namun sayang terbenturkan oleh cara pandang liberal yang mengatasnamakan toleransi dan HAM. Seketika, atas nama 2 hal tersebut, setiap orang bebas untuk melakukan apa yang diinginkan walau menabrak aturan agama yang memang telah mensyariatkan. Ini sangat berbahaya bagi cara pandang hidup kaum muslim.
Tak dapat dipungkiri, kondisi remaja yang kian rusak, dekadensi moral yang terpampang nyata di hadapan, harusnya menjadi cermin yang jelas bagi para pemimpin negeri, bahwa kondisi generasi begitu rapuh dan butuh obat untuk menarik mereka dari jurang kemorosotan moral dan arus kuat liberalisasi.
Aturan mengenakan pakaian yang menutup aurat harusnya diapresiasi sebagai bentuk penyelamatan moral remaja yang makin hari diserang dengan cara berpikir baru yang liberal. Pencabutan atas aturan tersebut sama saja memberikan kebebasan bagi remaja Muslimah untuk meninggalkan ajaran agamaNya. Karena tidak dapat dibendung arus kekuatan penjajahan berkedok fun, food, fashion, film di dunia remaja hari ini,
Dalam sistem Islam, nonmuslim diperlakukan dalam perkara makanan dan pakaian menurut agama mereka dalam cakupan apa yang diperbolehkan oleh hukum-hukum syariah. Diperkenankan untuk mereka berpakaian sesuai agama mereka seperti pakaian agamawan dan agamawati mereka, yakni pakaian rahib dan pendeta. Adapun selain pakaian agama mereka, maka diberlakukan atasnya hukum-hukum syara’ dalam kehidupan umum.
Menurut penuturan Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, fakta sejarah menunjukkan sepanjang masa Khilafah, para wanita baik Muslimah maupun non Muslimah, mereka mengenakan jilbab, yakni pakaian yang luas di atas pakaian dalam dan mereka menutupi kepala mereka. Sebagian kampung yang disitu ada wanita Muslimah dan non Muslimah, pakaian mereka tidak bisa dibedakan. Hingga setelah runtuhnya Khilafah, pengaruh hal itu masih ada sampai pada batas tertentu. Seandainya menanyakan pada wanita yang berusia lanjut di atas tujuh puluh tahun dan delapan puluh, niscaya mereka mengatakan tentang kesaksian mereka untuk sebagian kampung di Palestina bagaimana mereka melihat para wanita Nasrani dan Muslimah dalam pakaian yang serupa di kampung-kampung itu.(tsaqofah.id)
Sejatinya, menutup aurat adalah kewajiban bagi Muslimah. Sistem Islam meniscayakan suasana yang kondusif bagi para Muslimah untuk melakukan ketaatan yang paripurna, terlebih menutup segala pintu liberalisasi agama. Wallahu a'lam bishawab.(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Related Posts
- Perkuat Peran Pemuda, Pemda PPU Gelar Seminar Tangkal Intoleransi dan Radikalisme
- KUA Siap Jadi Tempat Nikah Untuk Semua Agama, Kemenag Sedang Siapkan Programnya
- Targetkan Raih KLA Nindya, Linda Romauli Siregar Sebut Perlu Perbaikan Sistem Sekolah
- Utamakan Kenyamanan Sekolah, Pj Bupati PPU Sebut Pendidikan Tidak Sekadar Kompetensi dan Disiplin
- Diskominfo PPU Gandeng PT Telkom dan PLN untuk Membangun Jaringan Internet di Sekolah