Opini
Merenungkan Makna Kata “Gratis” dalam Program MBG
Oleh: Syamsul Rijal (Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman)
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sejatinya dimaksudkan untuk menyehatkan anak bangsa. Namun, pilihan kata “gratis” justru menyimpan persoalan makna. Kata itu memengaruhi cara masyarakat memandang tanggung jawab, kualitas, bahkan martabat dalam kebijakan publik.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digulirkan pemerintah belakangan ini menjadi sorotan publik. Alih-alih memberi kabar baik, beberapa kasus keracunan massal justru menimbulkan keresahan. Banyak pihak kemudian mengkritisi kualitas makanan, sistem distribusi, hingga lemahnya pengawasan. Namun, ada satu sisi yang jarang dibicarakan, yakni bahasa.
Kata yang dipilih pemerintah untuk menamai program ini bukan sekadar label administratif. Ia adalah jendela budaya, pembentuk makna, sekaligus penentu perilaku. Di sinilah diksi gratis menyimpan persoalan serius, baik secara linguistik, budaya, maupun psikologis.
Bahasa Tidak Netral
Dalam keseharian, masyarakat Indonesia sering menggunakan ungkapan “namanya juga gratis” untuk menjelaskan sesuatu yang seadanya, kualitas rendah, atau tidak perlu dituntut kesempurnaannya. Kata gratis memang memberi kesan menyenangkan, tetapi pada saat yang sama menurunkan ekspektasi. Barang atau layanan gratis dianggap tidak terlalu penting, karena tidak ada akad, tidak ada transaksi, dan tidak ada pertanggungjawaban yang kuat.
Ketika kata ini ditempelkan pada makanan untuk anak sekolah, efek psikologisnya ganda. Bagi siswa, makanan itu terasa seperti bonus, bukan bagian serius dari proses belajar. Bagi penyedia katering atau kantin, kata gratis bisa melemahkan rasa tanggung jawab. Jika kualitas buruk, mereka dapat berkilah: “ya, namanya juga gratis.” Dengan demikian, kata itu bukan sekadar hiasan retoris, tetapi ikut menyuburkan mentalitas abai.
Warisan Politik Bahasa
Mengapa pemerintah tetap menggunakan kata gratis, meski konotasinya problematis? Jawabannya ada pada politik bahasa. Kata gratis adalah bagian dari branding politik sejak masa kampanye. Ia mudah dijual, cepat dipahami, dan punya daya tarik elektoral. Dengan mempertahankan kata itu, pemerintah seperti mengirim pesan bahwa janji kampanye sedang ditunaikan.
Namun, di sinilah paradoksnya. Janji politik dan nilai pendidikan tidak selalu sejalan. Di ranah pendidikan, bahasa mestinya menumbuhkan keseriusan, tanggung jawab, dan martabat. Sementara dalam politik, bahasa sering direduksi menjadi alat pencitraan. Akibatnya, sebuah program yang sejatinya penting demi perbaikan gizi justru terjebak dalam jebakan semantik kata gratis.
Dalam budaya Indonesia, makan bukan sekadar mengisi perut. Ia adalah simbol kehormatan, kebersamaan, bahkan status sosial. Memberi makan anak bangsa seharusnya dilihat sebagai tugas negara yang mulia, bukan sebagai pemberian cuma-cuma.
Penggunaan kata gratis justru bertentangan dengan nilai budaya itu. Alih-alih menegaskan hak anak untuk sehat, kata ini seolah menempatkan mereka sebagai penerima belas kasih negara. Padahal, konstitusi jelas menyatakan bahwa pendidikan dan kesehatan adalah hak, bukan hadiah.
Tanggung Jawab yang Tumpul
Kata gratis juga berimplikasi pada lemahnya rantai akuntabilitas. Dalam transaksi normal, pembeli bisa menuntut kualitas kepada penjual. Ada kontrak, ada harga, ada standar. Dalam program gratis, siapa yang dianggap sebagai “pembeli”? Anak sekolah? Tentu tidak. Orang tua? Juga tidak. Negara? Ya, tapi melalui mekanisme yang sering kabur.
Akhirnya, tanggung jawab mudah tereduksi. Bila ada makanan basi, siapa yang diminta pertanggungjawaban? Vendor bisa menyalahkan dana yang terbatas, sekolah bisa menyalahkan distribusi, pemerintah bisa menyalahkan teknis lapangan. Sementara di ujung rantai, anak-anaklah yang menanggung akibat.
Alternatif Diksi
Mungkin sudah saatnya pemerintah melakukan reframing. Kata gratis dapat diganti dengan diksi yang lebih mendidik dan bermartabat. Beberapa alternatif misalnya: “Jaminan Gizi Sehat Sekolah”, yang menekankan tanggung jawab negara. Atau, “Program Gizi Cerdas Anak Bangsa”, yang menautkan makanan dengan prestasi belajar. Bisa juga “Gerakan Makan Sehat untuk Siswa”, yang menumbuhkan kesan partisipatif.
Ketiga contoh ini menggeser fokus dari “pemberian cuma-cuma” menjadi “hak, tanggung jawab, dan upaya bersama.” Kata-kata semacam ini bukan hanya kosmetik, melainkan bisa membentuk cara masyarakat mempersepsi program dan cara pengelola menjalankan kewajiban.
Menyambungkan Bahasa, Budaya, dan Kebijakan
Kritik terhadap kata gratis bukan sekadar permainan istilah. Ia adalah kritik terhadap cara negara membingkai warganya. Bahasa yang salah dapat membentuk budaya yang salah, dan budaya yang salah bisa melahirkan praktik yang merugikan.
Program MBG adalah kebijakan penting yang menyentuh masa depan bangsa. Karena itu, ia layak diberi nama dan diksi yang mencerminkan nilai pendidikan, tanggung jawab, dan martabat. Dengan begitu, anak-anak sekolah tidak hanya menerima makanan bergizi, tetapi juga pesan budaya yang sehat: bahwa gizi adalah hak, bukan hadiah.(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Related Posts
- Cegah Penumpukan Pasien, Seno Aji Minta Warga Manfaatkan Tiga Rumah Sakit Lain di Samarinda
- Biaya Haji 2026 Resmi Turun Jadi Rp87,49 Juta, Turun Rp2 Juta dari Sebelumnya
- 4.100 ASN dari 16 Kementerian Siap Pindah dan Berkantor di IKN Mulai November 2025
- Pertumbuhan Ekonomi Kaltim Awal 2025 Melambat, Sektor Tambang dan Konstruksi Jadi Penyebab Utama
- Hetifah Dorong Guru Kuasai Teknologi AI untuk Wujudkan Transformasi Pendidikan








