Opini

HGU 190 Tahun: Pemanis untuk Investor, Racun untuk Masyarakat

Kaltim Today
07 Agustus 2024 11:53
HGU 190 Tahun: Pemanis untuk Investor, Racun untuk Masyarakat
Irma Ismail, Aktivis Muslimah Balikpapan.

Oleh: Irma Ismail (Aktivis Muslimah Balikpapan)

MEGA proyek IKN terus menjadi sorotan dunia, pro dan kontra masih bergulir hingga saat ini. Persoalan lahan sengketa dengan masyarakat turut mewarnai proses pembangunannya. Anggaran yang besar membuat pintu kran investasi asing pun dibuka.

Tentunya masyarakat masih ingat bagaimana di awal masa pembangunan proyek IKN pemerintah mengatakan ada banyak investor asing yang siap bermitra. Namun kenyataan berbeda, Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengakui belum ada investor asing yang masuk ke Ibu Kota Nusantara (IKN). Hal tersebut disampaikan Bahlil ketika rapat kerja dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Selasa (11/6/2024) (infobanknews.com, 13/6/2024).

Keadaan ini membuat Presiden menerbitkan Perpres No. 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) pada Kamis, 11 Juli 2024. Pada pasal 9 beleid tersebut, disebutkan pemerintah mengobral Hak Guna Usaha (HGU) dengan jangka waktu hingga 95 tahun, bisa diperpanjang hingga dua siklus. Artinya, pemodal memiliki hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara di IKN sampai 190 tahun.

Selain HGU, Hak Guna Bangunan (HGB) diberikan untuk jangka waktu paling lama 80 tahun melalui satu siklus pertama. Kemudian, dapat dilakukan perpanjangan melalui satu siklus kedua dengan jangka waktu paling lama 80 tahun berdasarkan kriteria dan tahapan evaluasi. Artinya, HGB diizinkan hingga 160 tahun.

Presiden juga menyatakan bahwa pemberian jangka waktu yang panjang itu semata-mata untuk menarik investasi sebesar-besarnya baik dari dalam maupun luar negeri yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan kawasan selain kawasan inti pemerintahan di IKN.

Keluarnya Perpres HGU 190 tahun jelas kembali menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan masyarakat. Seperti dilansir dari Pajakku.com (17/7/2024), Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menyampaikan bahwa hal ini berpotensi meningkatkan letusan konflik agraria, ketimpangan, dan monopoli tanah oleh badan usaha dengan skala besar yang berpotensi merampas ruang hidup masyarakat adat di sekitar IKN.

Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengatakan bahwa pemberian HGU hingga 190 tahun berarti memberikan beban kepada pemerintah berikutnya. Selain itu, Agus memprediksi bahwa IKN tetap sulit untuk menarik investor walau HGU sampai 190 tahun karena masifnya kasus korupsi dan perijinan yang tidak jelas, bukan karena HGU yang kurang panjang (Kompas.com, 15/7/2024).

Peraturan untuk Rakyat atau Konglomerat? 

Munculnya Perpres pemberian HGU hingga 190 tahun seperti menjadi jalan ninja agar mega proyek IKN dapat berjalan baik. Bagi Pemerintah, ini menjadi solusi yang dapat menarik investasi. Mudahnya Pemerintah memberikan jalan kepada investor, sedangkan di sisi lain penduduk lokal lahannya tergusur atau berpindah tempat. Sungguh sangat memprihatinkan. Satu sisi, sebelumnya masyarakat menuntut kejelasan hak lahan milik mereka, tetapi di sisi lain terlihat penguasa mengutamakan para investor atau kapitalis untuk bisa memanfaatkan lahan yang ada.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyampaikan bahwa sepanjang tahun 2023 setidaknya ada 241 kasus konflik agraria di Indonesia, yang melibatkan area seluas 638,2 ribu hektar, dan di IKN adalah yang paling luas yaitu mencakup 235.751 hektar. Konflik agraria semakin memperlihatkan bagaimana negara menjadi alat kekuasaan demi kepentingan dan berpihak kepada para pemilik modal.

Adanya Perpres membuat masyarakat menjadi pihak yang sangat dirugikan, saat masyarakat menuntut kejelasan status hak lahan milik mereka. Semakin nyata terlihat bagaimana kebijakan pemerintah yang selalu mementingkan dan menomorsatukan para kapitalis atau pemilik modal, baik lokal maupun asing. Bahkan masyarakat adat sama sekali tidak punya bukti penguasaan tanah, karena pada masa lalu kebijakan dan pelayanan masih terbatas.

Ketika pemerintah kembali memastikan secara sepihak bahwa lahan itu milik negara melalui hukum dan peraturan lain, masyarakat adat tidak berdaya. Terjadi tumpang tindih kepemilikan lahan antara perusahaan, transmigran, dan komunitas/masyarakat adat. Masalah tak kunjung usai dan sekarang diperparah dengan adanya Perpres tersebut.

Inilah kebijakan yang lahir dari sistem kehidupan yang mengabaikan agama dalam ranah publik. Agama dibatasi dalam wilayah ibadah ritual saja. Sistem yang memberikan kebebasan pada akal untuk mengatur kehidupannya. Sistem ini lebih dikenal dengan nama sistem kapitalisme, sebuah sistem perekonomian yang menekankan peran kapital (modal), yakni kekayaan dalam segala jenisnya, termasuk barang-barang yang digunakan dalam produksi barang lainnya.

Sistem kapitalisme juga memberikan kebebasan dalam hal kepemilikan kepada individu atau korporasi. Maka hal yang mudah bagi individu atau korporasi dalam sistem ini untuk bisa memiliki apa yang bukan milik mereka melalui kebijakan negara.

Inilah sistem yang menjadikan penguasa sebagai perpanjangan tangan atas kepentingan para pemilik modal. Maka tak heran banyaknya aturan yang menjadi “sirup manis” untuk investor tapi menjadi racun bagi masyarakat, rusaknya sistem yang selalu menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat.

Islam Punya Solusi 

Hal yang sangat berbeda dengan Islam. Islam adalah sebuah ideologi kehidupan yang memiliki cara pandang khas, memberikan solusi atas setiap problematika kehidupan. Islam tidak memisahkan agama dari kehidupan dunia, termasuk dalam permasalahan agraria ini.

Konsep Islam tentang kepemilikan sangat jelas, tidak semua bebas dimiliki. Islam pun mewajibkan negara untuk melindungi kepemilikan rakyatnya, termasuk tanah. Apa yang dimiliki oleh rakyat akan mendapat jaminan keamanan dari negara. Maka ketika negara membutuhkan lahan yang akan dipakai untuk kepentingan rakyat, negara akan berdialog untuk membuat kesepakatan.

Jika terjadi kesepakatan dan mereka ridha, maka dibuat kesepakatan lain termasuk penggantian. Akan tetapi, jika masih ada yang belum sepakat, maka tidak boleh dipaksakan. Penguasa tetap boleh melakukan negosiasi tanpa mengintervensi.

Selain itu, pembangunan dalam sistem pemerintahan Islam adalah untuk kemaslahatan rakyat, bukan untuk kepentingan pihak tertentu. Negara juga akan mengawasi pengelolaan lahan yang dimiliki warga. Penelantaran lahan selama tiga tahun oleh pemiliknya, secara otomatis menjadikan status kepemilikannya batal atas lahan tersebut. Hal ini ditetapkan berdasarkan ijma sahabat pada masa Amirulmukminin Umar bin al-Khaththab ra.

Islam juga memerintahkan negara untuk mencegah praktik imperialisme atau penjajahan oleh asing melalui jalan penguasaan lahan, baik secara perorangan, korporasi, maupun negara. Penguasaan lahan selama hampir dua abad oleh pihak asing yang berpotensi besar menghilangkan kedaulatan negara adalah haram.

Dalam Islam, penguasa akan bertanggung jawab penuh kepada rakyatnya ibarat seorang penggembala yang juga menjadi perisai, sebagaimana terdapat dalam dua hadis berikut.

“Imam itu adalah laksana gembala dan ia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya).” (HR Imam Bukhari dan Imam Ahmad).

“Sesungguhnya imam atau khalifah adalah perisai (junnah). Orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah dan berlaku adil, baginya terdapat pahala. Akan tetapi, jika ia memerintahkan yang lainnya, ia harus bertanggung jawab atasnya.” (HR Muslim).

Oleh karena itu, sudah saatnya bagi seluruh kaum muslim untuk kembali memahami Islam secara utuh karena Islam memang sesuai dengan fitrah manusia. Keberkahan dan rahmah akan terwujud jika semua ini dapat diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan manusia melalui bingkai Daulah Khilafah. Wallahu’alam. (*)


*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co



Berita Lainnya