Daerah

Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim Tolak Pengesahan Revisi UU ITE, Sebut Ada Beberapa Pasal yang Mencederai Demokrasi

Yasmin Medina Anggia Putri — Kaltim Today 14 Juli 2023 18:20
Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim Tolak Pengesahan Revisi UU ITE, Sebut Ada Beberapa Pasal yang Mencederai Demokrasi
Suasana konferensi pers dari KMSK di Kantor YLBHI LBH Samarinda. (Yasmin/Kaltimtoday.co)

Kaltimtoday.co, Samarinda - Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim (KMSK) dengan tegas menolak pengesahan revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) alias UU Nomor 11/2008. 

Ada tiga tuntutan yang dibawa oleh KMSK. Pertama, meminta untuk dihentikannya pengesahan revisi UU ITE yang saat ini sedang berlangsung di DPR RI. Sebab dalam prosesnya, masyarakat tak dilibatkan sampai tuntas. 

Kedua, cabut atau hapus pasal-pasal bermasalah dari UU ITE. Di antaranya pasal 27 ayat (3) dan pasal 28 ayat (2), pasal 45 dan pasal 45A yang rentan mengkriminalkan banyak orang, mencederai alam demokrasi dan kelompok rentan. 

Ketiga, proses revisi UU ITE kedua yang tengah berlangsung di DPR RI ini harus melibatkan masyarakat sipil. Sehingga, ada ruang pembahasan yang bermakna dan partisipatif. 

Perwakilan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda, Rasid Ripamole menjelaskan ada beberapa alasan yang membuat pihaknya menolak proses pengesahan revisi UU ITE tersebut. 

"Pertama, disebabkan proses revisi UU ITE dilakukan secara tidak transparan. Di mana, masyarakat sipil itu tidak dilibatkan secara maksimal dalam proses revisi ini," ungkap Rasid dalam konferensi persnya, Jumat (14/7/2023). 

Kedua, dalam revisi yang masih berlangsung ini, pihaknya menilai masih ada pasal-pasal yang bermasalah dan tidak mendapatkan proses revisi dalam UU ITE. Misalnya, pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 ayat 2 tentang yang berkaitan dengan pencemaran nama dan hasutan kebencian. 

KMSK menilai, pasal-pasal dalam praktiknya selama ini, banyak mengalami masalah. Sebab tidak jarang, pasal-pasal itu sering digunakan sebagai alat untuk membungkam nalar-nalar kritis dari masyarakat yang menyampaikan aspirasinya. Terutama dalam mengkritik kebijakan-kebijakan yang dinilai tidak pro demokrasi dan melanggar hak asasi manusia (HAM). 

"Sayangnya, pasal-pasal itu dalam proses revisinya itu tidak disentuh sama sekali. Bahkan, per 12 Juli lalu, pasal tersebut di dalam pembahasannya pun belum ada revisi sama sekali," sambung Rasid. 

Alasan ketiga, KMSK menolak karena proses revisi UU ITE yang kedua ini tidak melibatkan masyarakat sipil secara maksimal. Kemudian, ada indikasi bahwa pengesahannya akan dilakukan dalam waktu dekat ini. Disebutkan Rasid, pengesahannya paling cepat dilakukan pada minggu depan. 

Selanjutnya, perwakilan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Samarinda, Yuda Almerio menyebutkan bahwa pihaknya juga sepakat dengan langkah penolakan ini. Menurutnya beberapa pasal di UU ITE bisa mencederai ruang-ruang kebebasan berpendapat. 

"Sebagai pers, tentu ini sangat berbahaya. Apalagi kami di kalangan jurnalis. Menulis berita sedikit, nanti dibilang hoaks. Padahal kami sudah menjalankan kerja-kerja kami berdasarkan kode etik," tegas Yuda. 

Sehingga, jika revisi UU ITE ini tidak dilakukan dengan baik, maka dipastikan akan mengganggu kerja-kerja jurnalistik. Ditambahkan Koordinator Pokja 30, Buyung Marajo bahwa DPR RI tidak mendengar apa yang diinginkan masyarakat sipil. 

"DPR RI ini tidak mendengar. Mereka yang terpilih secara demokrasi tapi mereka pelanggar demokrasinya. Sebab UU adalah produk demokrasi," jelas Buyung. 

Langkah KMSK yang menolak atau menghentikan upaya revisi UU ITE ini karena masih mencantumkan sejumlah pasal yang dianggap bermasalah. Pasal tersebut, ujar Buyung, akan membahayakan ruang-ruang demokrasi, khususnya di Kaltim. 

"Revisinya pun tidak melibatkan publik. Kami di Pokja 30 yang mengawal kebijakan dan anggaran, keduanya adalah produk demokrasi. Ada kekhawatiran kami bahwasanya 2 produk itu memberi peluang ke pemerintah atau negara untuk tidak mau diawasi," tegas Buyung. 

Buyung menyebut, DPR RI tidak pernah mendengar usulan dari masyarakat sipil.  Sebab masyarakat hanya dianggap suaranya saja saat pemilu. 

Terakhir, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim, Saiduani Nyuk menyebut UU ITE juga berpotensi mengkriminalisasi masyarakat adat. Menurutnya, saat ini banyak sekali kasus kriminalisasi kepada masyarakat adat. 

"Ada beberapa pasal di UU ini yang misalnya ketika masyarakat adat memprotes atas penggusuran secara paksa. Salah satunya soal IKN. Masyarakat adat bisa dikriminalisasi," ujar Saiduani. 

Menurutnya, masyarakat adat yang termasuk ke dalam kelompok rentan akan sangat terdampao secara langsung. Sehingga, AMAN Kaltim yang tergabung ke dalam KMSK pun sepakat untuk menolak pengesahan revisi UU ITE. 

Dalam hal ini, KMSK dengan tegas menolak pengesahan revisi UU ITE yang tidak melibatkan masyarakat sipil. Kendati demikian, revisi UU ITE merupakan salah satu pintu masuk yang baik untuk KMSK mengambil kesempatan mengintervensi beberapa pasal yang dinilai bermasalah.

[RWT]

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram "Kaltimtoday.co News Update", caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.



Berita Lainnya